Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat kembali dari toilet, perempuan yang sejak tadi menjadi perhatian Dhyastama sudah tidak ada di tempatnya. Tinggal dua orang perempuan lain yang tadi bersamanya yang masih duduk menghadapi cangkir kopi dan kue-kue.

Dhyast memperhatikannya bukan karena perempuan itu terlihat menakjubkan. Dia sudah terbiasa melihat perempuan cantik, jadi penampilan seseorang tidak lagi bisa serta-merta membuatnya terkesima.

Perempuan itu menarik perhatiannya karena Dhyast merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Dia sedang mengingat-ingat di mana mereka pernah bertemu saat ke toilet tadi. Tidak mungkin di kantornya karena penampilan superkasual seperti itu bukan sesuatu yang familier di sana. Jelas bukan salah seorang karyawannya. Dhyast juga tidak bisa membayangkan salah seorang kenalannya memakai jin tua yang warna birunya bahkan sudah pudar karena keseringan dicuci dengan atasan kaus putih dan outer tipis bermotif abstrak. Dan astaga, sneaker itu jelas perlu dicuci. Atau dibuang di tempat sampah. Bisa-bisanya ada orang yang merasa nyaman memakai benda seperti itu.

Penilaian itu tentu saja hanya dalam benaknya karena Dhyast sudah terlatih untuk tidak menghakimi orang secara verbal. Dia punya kontrol diri yang kuat. Selain kepada sahabat-sahabatnya, dia tidak pernah bicara sembarangan. Dia bukan orang yang kaku dan superserius, tetapi juga bukan yang banyak bicara.

"Seharusnya kita duduk di luar aja." Dhyast mengalihkan perhatian dari meja yang tadi beberapa kali dipandanginya. Tidak ada yang harus dilihat lagi di sana. "Gue nggak bisa merokok di sini."

"Sudah gue bilang supaya lo berhenti," jawab Risyad, salah seorang dari empat temannya yang ikut berkumpul Jumat sore menjelang malam ini. "Merokok itu sama saja dengan bunuh diri pelan-pelan secara sadar. Satu-satunya alasan gue punya asbak di apartemen gue karena lo sering di sana. Dan itu artinya gue ngasih izin lo untuk bunuh gue juga. Gara-gara lo, gue jadi perokok pasif."

Dhyast mengedik. "Gue akan berhenti kalau udah punya motivasi yang kuat."

"Jadi kesehatan bukan motivasi yang cukup kuat untuk lo?" Tanto menggeleng-geleng. "Kadang-kadang gue nggak ngerti cara berpikir lo deh, Yas. Lo lihat dan baca peringatan di kemasan rokok itu, kan? Isinya mengerikan semua."

"Terutama di bagian impotensinya, kan?" Rakha tertawa. "Gue sih jelas nggak mau impoten. Apa gunanya hidup kalau barang gue gagal fungsi? Surga dunia gue bisa hilang dong."

"Gue bakal diusir istri gue kalau berani coba-coba merokok," Yudistira ikut nimbrung, "dan ngomong-ngomong soal istri gue, sekarang gue harus cabut. Dia akan segera sampai di Halim. Gue nggak mau terlambat jemput." Dia berdiri dan meraih ponselnya di atas meja.

"Dasar suami takut istri," ejek Rakha. "Gue nggak mau nikah kalau ujung-ujungnya berakhir ngenesin kayak lo."

Alih-alih tersinggung, Yudistira malah tertawa. "Gue nggak takut istri, Man. Gue kangen istri. Kay sama Ibu ke Makassar seminggu penuh. Sudah tujuh hari ini gue tidur ngelonin guling. Nggak enak banget."

"Bucin ya bucin aja, nggak usah ngeles!"

Yudistira hanya melambai dan buru-buru keluar dari kafe tempat mereka nongkrong.

"Gue yang ke-GR-an atau perempuan yang duduk di meja dekat kasir sana lagi ngomongin kita ya?" ucapan Rakha membuat Dhyast kembali melihat meja yang tadi sempat diperhatikannya.

"Lo yang ge-er," jawab Tanto cepat. "Lo selalu merasa semua perempuan di dunia terpesona sama kulit licin lo. Lo yakin nggak punya Narcissistic Personality Disorder?"

"Mereka manis," Risyad ikut nimbung. "Tapi yang duluan cabut tadi lebih cantik sih menurut gue. Hari gini lihat cewek yang alisnya masih asli itu kayak nyari harta karun di segitiga Bermuda. Sulit banget."

"Ya, itu karena lo nyarinya di Jakarta, di mal dan kafe-kafe kayak gini lagi. Coba lo ke pelosok Wakatobi sana, di kampung Bajo yang orang-orangnya tinggal di atas laut, nemu yang ngurus alis sama sulitnya dengan nyari salmon di kali Ciliwung," Tanto mendebat Risyad.

Dhyast tidak menyangka kalau Risyad juga mengamati perempuan yang menarik perhatiannya tadi. Menarik perhatian bukan karena dia tertarik, tentu saja. Dhyast hanya mengalami déjà vu karena merasa pernah bertemu dengannya.

"Ya beda situasi dong, To. Di pelosok orang masih berpikir soal kebutuhan yang basic banget. Ngurus alis nggak se-urgen cari nafkah buat makan." Risyad tertawa mendengar tanggapan Tanto. "Eh, tapi harusnya cewek tadi gue ajak kenalan deh."

Dhyast langsung memutar bola mata. "Lo tahu kenapa sampai sekarang lo belum pernah punya hubungan yang beneran serius dengan perempuan?"

"Kata siapa gue nggak pernah punya hubungan dengan perempuan?" Risyad langsung defensif. "Di antara kita semua, gue yang paling sering punya hubungan."

"Dhyast bilang hubungan serius, Syad," Tanto mengingatkan. "Dan kita semua tahu hubungan lo nggak ada yang beneran serius. Rekor lo pacaran dengan satu orang perempuan itu nggak pernah ada yang nyampe setahun."

"Boro-boro setahun," sambung Rakha. "Enam bulan juga nggak nyampe. Lo kan pacaran supaya nggak kelihatan ngenes aja sama kita-kita."

"Sialan!" maki Risyad.

"Guys, kayaknya gue juga harus cabut duluan deh." Tanto menekuri ponselnya. "Gue baru ingat kalau malam ini gue harus ke rumah si Bayu. Wedding anniversary dia yang ke-2. Gue bakal diomelin nyokap gue sebulan penuh kalau sampai nggak datang. Yang ulang tahun pernikahan siapa, yang sewot siapa. Nyokap gue itu keajaiban dunia nomor 8. Tinggal nunggu paten dari UNESCO doang peresmiannya."

"Kayaknya mitos yang bilang kalau telanjur dilangkahin adik maka jodoh lo bakalan sulit itu ada benernya juga sih," ujar Rakha. "Lo contoh kasusnya. Adik lo udah punya anak, lo nemu calon ibu anak-anak lo aja belum."

Tanto hanya nyengir dan menyusul Yudistira yang sudah pergi beberapa menit yang lalu.

"Lo berdua nggak ada acara yang kelupaan kayak si Tanto?" tanya Dhyast kepada Risyad dan Rakha yang masih bersandar santai di kursi masing-masing.

"Gue sedang dalam mode sedekah sih. Jadi gue nggak akan ke mana-mana sebelum perempuan-perempuan di sini puas ngelihatin gue. Baik hati banget gue hari ini."

"Tolong ingetin kenapa gue masih temenan sama dia?" Dhyast menggeleng-geleng menatap Risyad yang tertawa.

"Kalau lo bingung, apalagi gue. Gue nggak pernah ketemu orang yang lebih narsis daripada dia."

"Akui aja kalau lo semua berteman dengan gue untuk numpang keren. Contohnya sekarang. Menurut lo kenapa sebagian besar perempuan yang ada di kafe ini melirik ke sini? Ya karena gue-lah. Lo semua hanya pelengkap kesempurnaan gue aja."

"Gue berharap lo beneran dikasih umur panjang biar sempat bertobat untuk semua kesombongan lo yang nggak kira-kira itu." Dhyast menyambut decak sebal Risyad.

"Hei, perempuan yang di meja depan sana udah mau pulang tuh!" Rakha mengalihkan perhatian Dhyast dan Risyad. "Mereka akan lewat sini, dan gue yakin mereka pasti melirik dan tersenyum pada kita."

"Sekarang gue tahu mengapa semua perbuatan dan tingkah laku kita diatur oleh hukum," kata Dhyast setelah menghela napas panjang.

"Untuk mencegah kita membunuhi orang-orang seperti dia?" Risyad menunjuk Rakha seolah laki-laki itu bukan bagian dari mereka.

"Iya. Untuk bikin kita belajar kalau toleransi itu kadang-kadang bikin gondok saking sebelnya."

Kedua perempuan yang dimaksud Rakha perlahan mendekat ke meja mereka. Namun, berbeda dari perkiraan Rakha, keduanya sama sekali tidak melirik apalagi tersenyum kepada mereka. Langkah mereka mantap menuju pintu. Tidak menoleh sekalipun sampai akhirnya menghilang dari pandangan.

"Gue turut berduka untuk ego lo yang sekarang pasti terluka banget." Dhyast menepuk punggung Rakha yang tampak tidak percaya ada orang yang bisa melewatinya tanpa melirik dan tersenyum.

"Itu yang gue bilang luka tapi nggak berdarah," timpal Risyad. "Tapi sayang banget sih mereka nggak menoleh. Kalau mereka beneran tersenyum pada kita, gue pasti minta nomor telepon teman mereka yang udah cabut duluan tadi."

Entah mengapa, Dhyast mensyukuri pilihan kedua perempuan tadi yang mengabaikan dirinya dan teman-temannya. Dia masih terus berusaha mengingat-ingat di mana pernah bertemu perempuan yang rambutnya dikucir asal-asalan dan sneaker yang benar-benar sudah tidak layak pakai itu.

Dhyast yakin dirinya punya daya ingat yang kuat, jadi rasanya menyebalkan saat tidak berhasil menggali memori tentang di mana dia pernah bertemu perempuan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro