Dua Puluh Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Si kembar Shiva dan Shera sedang duduk di ruang keluarga sambil mengudap keripik saat Dhyast masuk. Tadi ibunya menelepon sehingga dia langsung ke rumah orangtuanya setelah mengantar Anjani pulang dari acara ibu Risyad.

Memang jauh lebih baik seperti itu ketimbang membuat drama di acara orang lain. Meskipun tahu ibunya tidak akan melakukan hal-hal konyol seperti itu, tetapi Dhyast lebih suka menghindarkan pertemuan antara Anjani dan ibunya sebelum waktu yang tepat tiba.

Melihat kedekatan ibunya dan Gracie sekarang, jelas belum waktunya untuk bicara tentang Anjani dan meminta pengertian ibunya untuk menerima pacarnya. Dhyast yakin ibunya tidak akan menerima Anjani dengan ikhlas saat masih terobsesi punya menantu Gracie Kusuma.

Hanya saja, Dhyast belum punya ide bagaimana cara membuat ibunya berjarak dengan Gracie. Rakha punya daftar kekurangan Gracie, tetapi Dhyast tidak akan menyebutkan daftar itu kepada ibunya. Rakha bisa saja salah. Dan yang penting, dia tidak pernah menggunakan penilaian orang lain untuk menghakimi seseorang.

"Mas beneran sudah punya pacar ya?" tembak Shiva tanpa basa-basi saat Dhyast mengambil tempat di sisinya.

"Kok nggak bilang-bilang kita sih?" sambung Shera. "Kita kan pengin kenalan juga."

"Anak kecil dilarang ngomongin pacar-pacaran!" Dhyast ikut menyusupkan tangan ke dalam stoples yang dipeluk Shiva.

"Kita udah gede lho!" Shiva langsung cemberut. Dahinya berkerut menggemaskan. "Teman-teman kita udah banyak yang pacaran. Ada yang pacaran sejak SMP malah. Iya kan, Sher?"

"Iya, ada temen kita yang udah pacaran sejak SMP kok," seperti biasa, Shera langsung mengonfirmasi pernyataan Shiva.

"Mas pacaran sama siapa sih, kok Ibu ngomel-ngomel gitu?" tanya Shiva lagi.

"Ibu ngomongin pacar Mas sama kalian?" Dhyast menatap si kembar bergantian.

Shiva menggeleng. "Tadi kami dengar Ibu ngedumel soal Mas Dyast dan pacar Mas. Jadi tahu deh kalau Mas udah punya pacar."

"Iya, Ibu ngomel sendiri. Mas Dhyast yang punya pacar kok Ibu yang ngomel sih?"

"Ibu di mana?" Dhyast berdiri. Dia tidak mau membicarakan urusan asmaranya dengan si kembar yang masih di bawah umur ini.

"Tadi kayaknya sih ke kamar."

"Iya, habis ngomel langsung ke kamar."

Dhyast menuju kamar ibunya. Dia mengetuk dan menguak pintu setelah mendengar ibunya menyuruhnya masuk.

"Ibu pikir kamu nggak datang," gerutu Danita begitu melihat Dhyast. Dia meletakkan gawai yang dipegangnya dan duduk di tepi ranjang.

"Ibu minta aku pulang ke sini, ya aku datang dong." Dhyast memilih duduk di kursi rias ibunya sehingga mereka bisa berhadapan.

"Ibu menyuruh kamu putus dengan perempuan itu dan kamu nggak ngikutin permintaan Ibu. Gimana Ibu yakin kamu masih mendengarkan kata-kata Ibu? Ibu pikir kamu akan menghabiskan weekend bareng dia."

"Minta aku datang ke sini dan menyuruh putus dengan Anjani itu jauh berbeda, Bu." Meskipun sudah bisa menduga apa yang akan dibicarakan ibunya, tak urung Dhyast sebal juga saat menjalani percakapan ini secara langsung. "Aku anak Ibu, tapi aku juga laki-laki dewasa yang sudah bisa dan berhak membuat keputusan sendiri untuk hidupku. Ibu minta aku datang, jadi aku datang karena itu kewajibanku sebagai anak. Tapi aku berhak bilang "tidak" kalau Ibu ikut-ikutan dalam urusan menentukan siapa perempuan yang harus menjadi pasanganku karena yang harus hidup dengan dia setelah menikah adalah aku, bukan Ibu."

"Ibu nggak enak sama Gracie saat dia lihat kamu bersama perempuan itu tadi. Apalagi ada Ibu Kusuma di sana! Kalau tahu kamu datang sama dia, Ibu nggak akan janjian dengan Gracie dan ibunya. Bikin malu saja!"

"Kenapa Ibu harus merasa nggak enak? Kenapa harus malu?" Dhyast benar-benar tidak mengerti jalan pikiran ibunya yang rumit. "Toh aku dan Gracie nggak punya hubungan apa-apa. Ibu tuh yang aneh. Masa sih kita harus ngulang pembicaraan ini lagi sih?"

"Tapi Ibu sudah bilang sama Gracie kalau hubungan kamu dengan perempuan itu nggak serius. Dia nggak keberatan menunggu kok."

Dhyast mendesah sebal. "Perempuan itu punya nama, Bu. Namanya Anjani. Dan dari mana Ibu tahu kalau hubungan kami nggak serius? Yang menjalaninya kami berdua, bukan Ibu. Ibu nggak berhak menjanjikan apa pun kepada Gracie. Aku bukan koleksi lukisan yang Ibu bisa kasih ke siapa pun yang Ibu mau. Aku bukan benda mati."

"Ibu melakukan ini karena Ibu sayang sama kamu," Danita berkeras. "Ibu nggak mau kamu salah memilih pasangan."

"Kalau Ibu sayang sama aku, Ibu nggak akan memaksakan kehendak. Ibu akan menghormati pilihanku." Dhyast berdiri. "Aku nggak mau bicara soal ini lagi."

"Cinta itu hanya permainan hormon, Yas. Menggebu-gebu di awal kemudian padam dan hilang. Semua orang bisa hidup baik-baik saja tanpa cinta! Ibu tahu semua hal yang belum kamu tahu karena pengalaman hidup Ibu jauh lebih banyak."

Dhyast menggeleng-geleng dan berjalan menuju pintu.

"Kamu pikir Ibu dan Ayah menikah karena cinta?"

Kalimat itu menghentikan langkah Dhyast. Dia lantas berbalik dan menatap ibunya tidak percaya. "Ibu nggak perlu berbohong kayak gini untuk membujukku putus dengan Anjani." Kedua orangtuanya sangat harmonis. Ayahnya pasti sangat mencintai ibunya sehingga bisa menoleransi semua dramanya. "Ibu beneran berlebihan!"

"Kamu bisa tanya ayahmu kalau nggak percaya." Danita mendekati Dhyast. "Ini sebenarnya rahasia yang nggak mau Ibu bilang sama kamu, Yas. Tapi kamu bikin Ibu nggak punya pilihan. Pernikahan Ibu dan Ayah awalnya murni bisnis. Perusahaan keluarga ayahmu terancam pailit karena pamannya yang menjalankan usaha itu setelah kakekmu meninggal membuat banyak keputusan yang salah. Kakekmu, ayah Ibu, kemudian membelinya. Ayahmu tetap bekerja di situ dan Kakek yang terkesan dengan dedikasi dan kepintarannya lantas menjodohkan kami. Kakek tahu Ibu nggak tertarik dan nggak punya kemampuan cukup untuk mengelola perusahaan."

"Nggak ada salahnya dijodohkan kalau sama-sama mau. Kasus Ayah dan Ibu berbeda dengan aku."

"Ayahmu waktu itu sudah punya pacar. Dia meninggalkan pacarnya dan memilih Ibu karena tahu dia bisa kehilangan cinta, tetapi nggak bisa kehilangan perusahaan yang dibangun ayahnya. Dia tahu kalau dia nggak menikah dengan Ibu, dia nggak akan menjadi pemimpin perusahaan. Dan lihat ayahmu sekarang! Apa dia nggak bahagia? Apa dia nggak sayang Ibu dan kalian?" Danita berdiri tepat di hadapan Dhyast. Sorotnya tampak penuh tekad. "Yas, cinta itu datang dan pergi. Jangan membuat keputusan yang salah. Seperti Ayah yang bisa sayang pada Ibu, kamu juga akhirnya akan melupakan perempuan itu dan mencintai Gracie. Nggak akan sulit. Kalau ayahmu bisa, kamu juga pasti bisa!"

Dhyast masih syok dengan apa yang baru saja didengarnya. "Ibu merusak hubungan Ayah dengan orang lain supaya bisa mendapatkan dia?"

"Ibu nggak melakukan apa-apa. Ayahmu yang membuat keputusan. Dan jangan menyalahkan Ayah. Kalian nggak akan ada kalau dia nggak memilih Ibu. Ibu yakin dia nggak menyesal melakukannya."

"Aku nggak mau dengar apa-apa lagi!" Dhyast buru-buru keluar dari kamar ibunya. Dia harus memproses apa yang baru diketahuinya. Selama ini dia sangat mengidolakan ayahnya. Rasanya sulit dipercaya kalau orang sebaik dan sebijak ayahnya takluk pada uang dan kekuasaan. Ayahnya tidak terlihat terobsesi pada kedua hal itu, karena Dhyast pernah kenal dan melihat orang yang menempatkan bisnis di atas segalanya. Mendiang kakeknya. Ayah dari ibunya.

**

Rayan sedang mencuci motor saat Anjani ke teras. Anak itu tampak serius membersihkan semua bagian motor. Anjani tahu kalau motornya memang kotor, dia hanya belum sempat mencucinya saja. Rupanya Rayan lebih dulu mengambil alih pekerjaan itu tanpa disuruh.

"Nggak usah dibikin mengilap, Yan." Anjani menghampiri adiknya. "Ntar juga kotor lagi. Musim hujan gini, baru di gang aja udah kotor lagi."

"Kalau nggak sampai bersih, ngapain dicuci?" sambut Rayan datar.

Anjani tertawa mendengar jawaban ala Rayan itu. Dia kemudian mengamati wajah adiknya yang terus berjibaku dengan kanebo.

"Mbak boleh tanya sesuatu?" tanyanya.

"Soal apa?" Rayan tidak mengangkat kepala.

"Ayah." Anjani selalu ingin bicara tentang hal itu dengan Rayan, tetapi takut menyinggung perasaan adiknya. Sekarang hubungan mereka sudah sangat baik, jadi ini mungkin saat yang tepat untuk melakukannya.

Tangan Rayan berhenti bergerak beberapa detik sebelum lanjut mengelap motor. "Memangnya kenapa dengan dia?" Rayan tidak mengulang kata "ayah" yang disebut Anjani.

"Kamu dekat dengan Ayah?"

"Nggak." Rayan mengedik. "Dulu aku pikir Tante dan Om adalah orangtua kandungku. Aku percaya itu sampai kelas 1 SD. Aku baru tahu kalau aku bukan anak mereka pas aku nggak sengaja ngejatuhin HP Tante. Dia ngamuk lihat HP-nya rusak. Aku dipukul, terus dia bilang kalau aku bukan anak mereka. Aku anak Om Tara yang biasa datang ke rumah kalau dia lagi libur."

"Ibu kamu?" tanya Anjani pelan-pelan.

Rayan lagi-lagi mengedik. "Nggak kenal. Cuman tahu dari foto yang ada di rumah Tante aja sih. Kata Tante, aku ditinggal saat masih kecil banget. Mungkin pas masih bayi. Aku nggak pernah nanya kapan tepatnya. Nggak ada gunanya juga, kan?"

Anjani merasa matanya hangat. Dia ingin memeluk adiknya, tetapi dia juga tahu Rayan tidak suka diperlakukan sentimental seperti itu di depan rumah, tempat orang lalu lalang di gang.

"Tapi Ayah sering mengunjungi dan menghubungi kamu setelah hubungan kalian ketahuan, kan?"

"Dia ngajak jalan kalau pas libur dari kapal. Kadang-kadang juga telepon. Tapi kami nggak pernah dekat sih. Rasanya dia tetap saja orang asing." Rayan memeras kanebo di tangannya, membilasnya dengan air bersih, dan memasukkan benda itu ke tempatnya. "Motornya udah bersih, Mbak. Aku mandi dulu, ntar Michael mau jemput."

Anjani tahu Rayan menghindari percakapan selanjutnya, jadi dia tidak memaksa. Dia lantas meraih tangan Rayan dan menggenggamnya. "Aku dan Mama sayang banget sama kamu. Jangan anggap kami orang asing."

"Aku tahu kok siapa yang tulus sayang sama aku." Rayan melepaskan tangan Anjani. "Mbak jangan cengeng gitu. Aku nggak suka lihat Mbak dan Mama nangis."

Anjani menyusut matanya. "Isshh... siapa yang nangis? Hidup Mbak tuh lengkap banget karena punya kamu sama Mama. Mbak bahagia bisa ketemu kamu. Jadi anak tunggal itu nggak enak."

"Awas aja kalau ada yang berani bikin Mbak nangis!"

"Kalau lihat badan sama ekspresi kamu yang kayak gitu, Mbak yakin nggak akan ada yang berani bikin masalah sama kamu. Itu sama aja cari mati." Anjani terenyum sambil mengejar Rayan yang buru-buru masuk ke dalam rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro