Dua Puluh Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dering ponsel membuat Anjani meletakkan piring makaroni kejunya dan merogoh ransel. Dia mengerutkan dahi menatap layar ponselnya. Tidak biasanya Rayan menghubunginya secara langsung di jam kerja seperti ini.

Hubungan mereka memang sudah sangat baik, tetapi Rayan adalah tipe anak yang lebih suka mengirim pesan teks daripada menelepon. Apakah dia terlibat masalah lagi di sekolah? 

"Ada apa, Yan?" tanya Anjani waswas.

"Mama, Mbak...!" teriakan Rayan terdengar panik. "Mamaa...."

"Mama kenapa?" Anjani ikut panik mendengar suara Rayan yang bercampur tangis. "Kamu di mana?" Seharusnya Rayan masih di sekolah.

"Aku pulang ngambil hard disk di rumah... tapi Mama... Mama...." Suara Rayan tiba-tiba menghilang.

"Yan... Rayan...." Anjani spontan berdiri. Apa yang sebenarnya terjadi?

Ibunya memang tinggal sendiri di rumah karena si Mbak yang menjaganya diminta ke rumah Om Ramdan untuk membantu Tante Puri memasak yang menjadi tuan rumah acara arisan dasawisma.

Keadaan ibunya baik-baik saja, sehingga Anjani sama sekali tidak khawatir meninggalkan ibunya sendirian.

"Ada apa?" Dhyast ikut meletakkan piring dan berdiri. Raut kecemasan Anjani membuatnya ikut khawatir.

Anjani menggeleng. Dia masih fokus pada gawainya. Hubungan dengan Rayan masih tersambung, tetapi alih-alih menjawab, tangis adiknya terdengar semakin kuat. Sesuatu dalam dada Anjani terasa mencelus. Rayan bukan tipe anak yang emosional. Keadaan ibunya pasti mengkhawatirkan.

"Mbak...Mbak Anjani? Ini Michael, Mbak," suara di sambungan telepon kini berganti. "Tadi aku dan Rayan pulang untuk ngambil hard disk, Mbak. Saat masuk rumah, kami lihat Tante terbaring di lantai ruang tamu. Kepalanya berdarah, kayaknya terbentur deh. Tante nggak sadar, Mbak."

Anjani mengeratkan genggamannya supaya gawai yang menempel di telinganya tidak terlepas. "Beneran hanya pingsan?" Dia memejamkan mata. Jujur saja, kondisi ibunya dengan komplikasi penyakit yang dideritanya membuat Anjani terkadang memikirkan berbagai kemungkinan terburuk yang akan membuatnya kehilangan. Namun, pikiran itu akhir-akhir ini tidak sesering dulu lagi karena kondisi ibunya jauh lebih stabil. Ibunya juga terlihat lebih bersemangat. "Rayan... mana Rayan?" Anjani kembali bertanya sebelum Michael menjawab karena tidak mendengar suara tangis adiknya lagi.

"Iya, Mbak. Kayaknya pingsan aja. Rayan keluar nyari tetangga buat bantu ngangkat Tante sampai ke jalan raya."

"Kamu bawa mobil?"

"Iya, Mbak. Ada sopir juga kok."

Anjani merasa sedikit lebih lega. "Tolong bawa Mama ke rumah sakit yang paling dekat dari rumah ya."

"Iya, ini memang mau dibawa ke rumah sakit kok, Mbak."

"Makasih ya, Michael. Mbak...."

"Mbak, Rayan sudah datang nih. Teleponnya saya tutup dulu ya. Mau bantu ngangkat Tante dulu. Nanti Rayan telepon Mbak lagi kalau kami sudah di mobil." Hubungan diputuskan sebelum Anjani sempat merespons.

Anjani mengusap pipinya yang basah. Dia menggenggam gawainya erat supaya tidak terlepas dari tangannya yang gemetar.

"Ibu kamu kenapa?" Dhyast mengusap bahu Anjani.

"Katanya Mama terjatuh dan kepalanya terbentur."

"Dibawa ke rumah sakit mana?" Meskipun hanya mendengar percakapan Anjani satu arah, tetapi Dhyast tahu ibu Anjani akan dibawa ke rumah sakit.

Anjani menggeleng. "Belum tahu. Tunggu Rayan menelepon dulu."

Dhyast memeluk Anjani. "Ibu kamu akan baik-baik saja."

Alih-alih merasa tenang, tangis Anjani malah meledak. "Aku takut kalau Mama...." Dia tidak bisa meneruskan kalimatnya.

Dhyast mengusap kepala Anjani sebelum melepaskan pelukannya. "Biar aku lihat rumah sakit bagus yang jaraknya nggak terlalu jauh dari rumah kamu. Kalau Rayan menelepon, nanti suruh dia antar Ibu ke sana." Dia meraih gawainya di atas meja untuk memeriksa lokasi rumah sakit yang letaknya dekat dari tempat tinggal Anjani. "Aku sharelokasinya ke kamu, nanti kamu yang terusin ke Rayan. Aku nggak ada nomornya." Dia menggamit lengan Anjani. "Sambil jalan, Jan. Kita nyusul ke sana sekarang."

**

Anjani terjaga ketika tangan ibunya yang berada dalam genggamannya bergerak. Dia mengerjap sebelum menegakkan tubuh. Punggungnya terasa pegal karena tidur dalam posisi duduk, dengan kepala bertumpu pada ranjang ibunya.

Ibunya dipindahkan ke ruang perawatan setelah luka di kepalanya dijahit. Hasil CT scan-nya bagus. Dokter mengatakan kalau proses penyembuhan lukanya akan lebih cepat kalau gula darah ibunya terkontrol dalam rentang normal.

"Mama mau minum?" tanya Anjani. Dia menutup mulut dengan sebelah tangan untuk menahan kuap.

"Kamu kok tidur sambil duduk gini sih?" Ibunya mengabaikan tawaran Anjani.

Anjani mengusap punggung tangan ibunya. "Sengaja, biar dekat Mama."

"Rayan mana?"

Anjani menoleh ke arah sofa tempat adiknya tidur dengan tubuh tertekuk. Dia tadi menyuruh Rayan tidur di ranjang yang diperuntukkan untuk keluarga pasien, tetapi anak itu hanya mengedik dan berbaring di sofa. "Tuh, tidur di sofa."

Ibunya mendesah. "Kasihan. Mama lagi-lagi nyusahin kalian. Mama beneran nggak berguna. Terpeleset dan akhirnya masuk rumah sakit gara-gara air yang Mama tumpahkan sendiri."

Anjani memilih tidak menanggapi supaya ibunya tidak memperpanjang topik yang menjadi kegemarannya itu. Membuat dirinya terlihat seperti parasit di mata anak-anaknya.

"Mama beneran nggak haus?" Anjani sengaja mengalihkan percakapan.

"Mama nggak haus. Kok kamu ngambil kamar VIP sih, Jan?" Ibunya mengamati ruang perawatan yang ditempatinya. Hal yang luput dari perhatiannya sebelumnya. "Ini nggak dikover BPJS, kan? Harusnya biar di kelas 3 kayak biasa aja."

Kamar VIP ini tentu saja bukan ide Anjani. Dia mencintai ibunya lebih daripada apa pun, tetapi tetap realistis soal keuangan. Pasien kelas 3 seperti ibunya tidak diperkenankan naik kelas. Kalau memaksa, dia akan diperlakukan sebagai pasien umum.

"Dhyast yang memaksa supaya Mama dirawat di kamar ini." Anjani tentu saja sudah menolak usulan itu. Dia sudah terbiasa menemani ibunya di bangsal perawatan yang minim privasi, tetapi Dhyast mengabaikan penolakan Anjani. Laki-laki itu bahkan langsung membayar deposit. Anjani memilih mengalah. Akan terlihat konyol berdebat soal itu di depan kasir rumah sakit.

"Dhyast baik banget." Wajah ibunya semakin muram. "Kamu sudah ngasih tahu soal kedatangan ibunya ke rumah kita?"

Anjani menggeleng. "Apa aku harus ngasih tahu dia?" dia balik bertanya.

Ibunya mendesah. "Itu keputusan kamu, Jan. Tapi cepat atau lambat, Dhyast akan tahu juga. Kalau ibunya berpikir bahwa dia gagal meyakinkankan Mama untuk membujuk kamu putus, dia mungkin akan mendatangi kamu. Dan kalau kamu juga nggak bisa diajak kerja sama, dia pasti akan bicara dengan Dhyast."

"Menurut Mama, kenapa ibunya nggak bicara dengan Dhyast langsung?" Anjani beberapa kali memikirkan hal itu. Ya, mengapa ibu Dhyast memilih bersusah payah menggali masa lalu keluarganya, padahal akan lebih mudah kalau bicara dengan Dhyast dari hati ke hati?

"Mungkin dia sudah melakukannya dan nggak berhasil. Atau dia memilih menghindari konfrontasi langsung dengan Dhyast. Hubungan mereka nggak akan tegang kalau kamu yang memutuskan Dhyast."

Anjani ikut mendesah. Dia mencoba menyembunyikan ekspresi galau dari wajahnya dengan memperbaiki posisi selimut ibunya yang tersibak. "Mama tidur lagi deh." Sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas urusan asmaranya. Mereka sedang di rumah sakit dan percakapan ini bisa membuat ibunya semakin stres. Tidak baik untuk tekanan darahnya.

"Mama sudah kebanyakan tidur dan merem. Tadi saking pusingnya, Mama bahkan nggak tahu kalau ini kamar VIP. Kamu juga harus istirahat. Di ranjang, jangan tidur sambil duduk gini. Punggung kamu bakal pegal banget besok."

"Iya, Ma." Anjani mengusap lengan ibunya sebelum berdiri. Memang lebih baik pindah ke ranjang untuk memutus percakapan.

"Jan...." panggil ibunya.

Anjani menghentikan langkah, tetapi tidak menoleh. Suara ibunya lagi-lagi terdengar seperti keluhan yang menggambarkan keputusasaan. Anjani tidak ingin melihat ekspresi memelas itu sekarang.

Dia sangat bersyukur kondisi ibunya baik-baik saja, setelah membayangkan skenario terburuk karena telepon Rayan yang mendadak, tetapi kejadian hari ini sudah cukup menguras emosi. Mendengarkan ibunya menyalahkan diri sendiri untuk semua hal sama sekali tidak membantu untuk memompa semangat.

"Ayah kamu sudah nggak ada untuk minta maaf sendiri karena kesalahannya di masa lalu ternyata memengaruhi kehidupan kamu sekarang, jadi Mama mewakili dia untuk minta maaf sama kamu. Dia bukan orang yang sempurna, tapi dia sayang banget sama kamu.

Dia pasti nggak menduga akan menjadi penyebab kamu kehilangan kebahagiaan kalau hubungan kamu dengan Dhyast beneran gagal karena masa lalunya. Saat melakukan sesuatu yang kita pikir keliru, kita selalu cenderung mengabaikan logika karena memilih mengikuti perasaan. Pasti itu yang terjadi dengan ayah kamu dulu.

Dan jangan pernah menyalahkan Rayan juga. Bukan dia yang minta dilahirkan karena kesalahan orangtuanya."

Anjani tidak menjawab. Dia memilih melanjutkan langkah menuju kamar mandi. Dia bisa menangis sebentar di sana sebelum kembali ke ranjang untuk berbaring, karena mustahil tertidur dengan perasaan seperti sekarang meskipun dia benar-benar merasa lelah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro