Dua Puluh Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mas Gagah!" Anjani bergegas menghampiri dan memeluk sepupunya yang tertawa lebar melihatnya. "Cuti ya?"

"Iya dong, masa di-PHK? Perusahaan rugi besar kalau berani melepas manajer kayak aku." Gagah menepuk dada bergaya pongah. "Naik Grab?"

"Iya. Sengaja nggak bawa motor karena mau langsung ke sini." Hari ini ibu Anjani cuci darah, dan dia tadi pagi sudah mengatakan akan langsung ke rumah Om Ramdan, jadi Anjani disuruh menyusul ke sana setelah pulang kantor. "Mas Gagah kapan datang?"

"Tadi malam. Masuk yuk, Mama masak besar tuh menyambut anak kesayangannya pulang. Rayan juga ada di dalam. Aku kaget saat lihat dia tadi. Tinggi banget. Padahal baru setahunan nggak ketemu."

Semua orang kecuali ibunya, sudah berkumpul di meja makan saat Anjani yang diiringi Gagah masuk.

"Langsung cuci tangan, Jan!" seru Tante Puri. "Kita tinggal nungguin kamu aja nih. Mama kamu sudah makan duluan. Sekarang lagi istirahat di kamar. Kasihan juga kalau ikut makan sama-sama kita karena banyak yang nggak bisa dia makan."

Anjani meletakkan ranselnya di sofa ruang tengah dan mencuci tangan di wastafel sebelum menyusul ke meja makan.

"Wah, beneran makan besar nih!" Meja makan penuh dengan aneka hidangan. Kedatangan Mas Gagah benar-benar disambut dengan makanan.

"Mas kamu kurusan tuh, Jan. Digemukin dulu sebelum dia balik ke Kalimantan."

"Ini proporsional, Ma, bukan kurus," Gagah membela diri. "Mama udah biasa sih dengan versi aku yang dulu gendut banget. Jadi pas atletis gini malah dibilang kurus."

"Di mata Mama, kamu dan Rayan tuh beneran harus makan lebih banyak," Puri tidak mau kalah. Dia beralih kepada Rayan. "Makan jangan irit-irit gitu."

"Iya, Tante," jawab Rayan patuh.

Gagah menepuk pundak Rayan. "Jangan diikutin semua perintah Mama. Dulu Mas beneran gendut karena dikasih makanan melulu."

Anjani merasa senang melihat penerimaan semua anggota keluarganya kepada Rayan.

"Kalimantan bagus banget ya, Mas? Betah banget di sana." Anjani mengisi piringnya dengan sayur yang disodorkan Tante Puri.

"Namanya pekerjaan, Jan. Suka nggak suka ya dibetah-betahin. Tapi beberapa bulan lagi Mas mau pindah ke kantor baru di Sorong. Sebenarnya Mas mau nawarin kamu ikut ke sana sih, tapi karena Tante lagi sakit ya nggak mungkin. Padahal banyak posisi bagus yang dibuka. Masa kerja kamu kan udah lumayan tuh. Nggak perlu nepotisme pakai bantuan Mas juga pasti bisa keterima."

"Jani kan perempuan," sambut Tante Puri sebelum Anjani merespons. "Ikatan batin anak perempuan dengan ibunya biasanya kuat banget. Jani nggak mungkin tenang jauh dari mamanya. Apalagi kondisi mamanya yang kayak sekarang."

"Aku saja yang ikut Mas Gagah kalau sudah lulus," sela Rayan.

"Kamu nggak bisa ke mana-mana setelah lulus," jawab Anjani cepat. "Kuliah dulu yang bener. Setelah selesai kuliah, baru boleh ikut Mas Gagah ke mana saja."

"Sekarang skill lebih penting daripada pendidikan formal," bantah Rayan.

"Memangnya skill yang bisa kamu tawarkan apa?" kejar Anjani dengan nada bercanda supaya adiknya tidak tersinggung.

"Aku bisa coding kok. Kemaren aku menang lomba coding yang diadain Pustekkom Kemendikbud."

"Kok kamu ikut lomba dan menang nggak bilang-bilang sama Mbak sih?" protes Anjani.

"Masa ikut lomba harus bilang-bilang," gerutu Rayan. "Kayak anak SD aja."

"Wah hebat dong!" Gagah sekali lagi menepuk pundak Rayan. "Kamu bikin aplikasi apa?"

"Aku ngambil kategori Cyber Security Awareness sih, Mas. Jadi bikin game simulasi gitu."

"Keren. Mas malah nggak ngerti coding. Bisanya ngurusin manajemen aja. Nanti kamu pasti nggak sulit cari kerjaan. Zaman sekarang hampir semua pekerjaan berhubungan dengan teknologi informatika."

"Rayan baru akan kerja setelah kuliahnya selesai, Mas. Kalau hanya freelance yang nggak ganggu kuliah sih terserah dia aja."

"Kuliah itu biayanya mahal, Mbak." Kali ini Rayan berkeras karena mendapat dukungan dari Gagah yang terkesan kagum pada kemampuannya.

"Biayanya sudah Mbak siapkan. Karena itu kita pindah di rumah yang sekarang."

"Tapi aku nggak mau merepotkan Mbak dan Mama." Raut Rayan berubah masam. "Seharusnya rumahnya nggak usah dijual."

"Mbak sama mamamu nggak merasa repot," sela Om Ramdan "Mereka malah senang ngurusin kamu. Tante sama Om juga gitu. Kami senang banget kalau kamu rajin main ke sini. Tante kamu jadi merasa punya pengganti Mas Gagah yang bisa dipaksa makan apa aja yang dia masak."

"Rayan jangan dipaksa makan, Ma," kata Gagah sambil tertawa. "Badannya udah bagus segitu. Dulu aku sering banget di-bully karena gendut. Nembak cewek juga ditolak melulu. Katanya nggak ada yang pacaran sama tandon air."

Bukannya prihatin dengan masa lalu Gagah, semua yang ada di meja makan malah tertawa.

Berkumpul seperti ini akan menjadi momen yang membahagiakan seandainya ibunya tidak sakit, pikir Anjani. Memang tidak ada yang sempurna di dunia.

**

Gagah mengejutkan Anjani saat sepupunya itu menelepon dan mengatakan dia berada di lobi. Kantor pusat Gagah memang berada di dekat gedung perkantoran tempat Anjani bekerja, tetapi karena Gagah pulang dalam rangka liburan, Anjani pikir sepupunya menghindari segala sesuatu yang ada hubungannya dengan pekerjaan, termasuk datang ke kantor pusat.

Dulu, sebelum Gagah pindah ke Kalimantan, mereka sering makan siang bersama, baik di gedung Anjani, ataupun kantor Gagah, tergantung siapa yang punya waktu untuk menyeberang.

"Ada rapat dengan bos di kantor pusat," jelas Gagah saat Anjani bertanya. "Persiapan untuk pembukaan kantor baru di Sorong yang akan aku pegang. Makan yuk, Jan. Aku lapar banget."

"Asyik, makan siang gratis!" Anjani mengacungkan sebelah kepalan tangannya ke atas sambil tertawa. "Ini yang paling bikin aku kangen sama Mas Gagah."

"Mau ditraktir makan aja senangnya kayak dibeliin apartemen." Gagah mengamit lengan Anjani. Mereka melangkah bersisian. "Mama bilang kamu sudah punya pacar. Memangnya kamu nggak pernah ditraktir sama dia?"

"Ditraktir sama Mas Gagah kan beda."

"Apanya yang beda?"

"Kalau sama mas sendiri kan nggak sungkan. Mau dibikin bangkrut juga nggak apa-apa. Paling-paling juga dicap adek matre. Kalau sama orang yang hubungannya belum resmi dan masih sebatas pcaran doang, rasanya nggak enak aja. Ntar dia pikir aku mau sama dia karena uangnya aja."

"Nggak ada yang salah sih kalau kemapanan jadi salah satu kriteria perempuan untuk cari pasangan. Konyol kalau standar hidup jadi lebih rendah saat punya pasangan. Enakan jomlo dong kalau gitu."

"Iya sih, tapi ...." Anjani hanya mengedik, tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Jadi kita makan di mana?" Gagah mengalihkan percakapan.

"Di PI dong." Anjani menyeringai kocak sambil bergayut di lengan Gagah. "Masa calon bos cuman traktir makan ayam goreng lalapan di gedung ini aja."

"Nggak usah sok imut gitu!" Gagah menepuk punggung tangan Anjani. "Aku beneran pengin ngajak kamu ke Sorong. Bagus untuk karir kamu. Sayangnya kondisi Tante nggak memungkinkan."

Anjani menghela napas dalam. "Mungkin sudah takdirku sebatas jadi kacung korporat sih, Mas. Nggak apa-apa kok. Nggak mungkin ninggalin Mama dan Rayan juga, kan?"

"Keluarga memang yang paling penting. Ya sudah, nggak usah diomongin lagi." Gagah merangkul Anjani. "Semoga Tante cepat sehat lagi."

"Seandainya ginjalku cocok, pasti Mama bisa cepat sehat," keluh Anjani. "Keadaan Mama nggak akan membaik kalau belum melakukan transplantasi. Dan Mas tahu sendiri kalau mndapatkan donor itu sulit banget."

"Jangan putus asa gitu. Kita nggak pernah tahu rencana Tuhan." Gagah melirik Anjani jail. "Kamu bikin aku kedengaran jadi religius banget. Kalau dengar aku ngomong gini, Mama pasti nangis saking terharu. Waktu kecil dulu kan aku suka banget ngeles kalau disuruh ngaji."

Anjani tersenyum. Dia mengayun kaki lebih cepat untuk mengimbangi langkah Gagah yang panjang.

Saat melihat ke arah pintu masuk lobi, tatapannya bersirobok dengan Dhyast yang baru masuk. Baru juga dibicarakan dengan Gagah, orangnya sudah muncul.

"Mas Gagah bercandanya jangan kelewatan ya," Anjani spontan memperingatkan sepupunya.

"Apa?" Gagah menatap Anjani kebingungan. Langkahnya tertahan karena Anjani sudah berhenti lebih dulu.

"Mau keluar?" Dhyastama sudah berdiri di depan mereka sehingga Anjani tidak sempat menjelaskan maksudnya kepada Gagah.

"Iya, mau makan. Mas Dhyast tadi kirim pesan?" Anjani tidak mendengar nada notifikasi gawainya setelah memasukkan benda itu ke ransel begitu selesai menerima telepon dari Gagah.

"Aku nggak kirim pesan kok." Dhyast melihat ke arah tangan Gagah yang masih bertengger di bahu Anjani. "Langsung ke sini aja buat jemput kamu makan siang."

"Dia pacar kamu yang tadi kita omongin?" Gagah yang bisa membaca situasi langsung tersenyum menggoda.

Anjani hanya bisa meringis. "Mas, kenalin, ini Mas Dhyast."

Gagah melepaskan rangkulan di bahu Anjani dan mengulurkan tangan kepada Dhyast. "Beneran pacar Jani, kan? Aku Gagah, kakak Jani."

"Dhyastama." Dhyast menyambut uluran tangan itu, lalu menatap Anjani. Perempuan itu tidak pernah mengatakan kalau dia punya kakak. Setelah beberapa bulan bersama dan lumayan sering ke rumah Anjani, Dhyast yakin kalau satu-satunya saudara Anjani hanyalah Rayan.

"Kakak sepupu aku," Anjani buru-buru menjelaskan. "Anak Om Ramdan yang kerja di Kalimantan. Kayaknya aku pernah cerita tentang Mas Gagah deh."

"Oohh...." Dhyast mengangguk. Anjani memang pernah bercerita tentang keluarga pamannya. Dhyast tidak ingat nama Gagah karena Anjani hanya membahasnya sekilas.

"Jadi," Gagah menatap Anjani jail, "tetap mau makan sama aku, atau ikut sama pacar kamu?"

"Kita makan sama-sama saja, Mas," Dhyast yang menjawab. "Senang bisa ketemu Mas Gagah yang bisa tersenyum ketemu saya. Soalnya sulit banget dapat senyum dari Rayan."

Gagah tertawa. "Jangan diambil hati, Rayan memang gitu anaknya. Tapi kalau sudah akrab, dia asyik kok."

Anjani lega melihat interaksi Gagah dan Dhyast. Sama sekali tidak ada kecanggungan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro