Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kadang-kadang Mama merasa hidup Mama nggak berguna. Untuk apa dikasih umur panjang kalau hanya nyusahin kamu saja?"

Anjani menghentikan gerakannya merapikan seprai ibunya yang baru dia ganti. Dia menatap ibunya dalam-dalam. "Nggak ada anak yang merasa ibu mereka nggak berguna. Mama terlalu banyak berpikir. Ingat apa yang dokter bilang, Ma. Mama nggak boleh stres. Psikis Mama juga berpengaruh pada kondisi tubuh."

"Tapi Mama sekarang beneran nyusahin kamu, kan? Karena Mama sakit gini, semua uang kita habis. Sebelum Mama sakit, hidup kita sangat layak. Papa kamu tetap ngirim uang setiap bulan, meskipun kami sudah bercerai. Kamu nggak perlu naik motor dan kehujanan saat ke mana-mana. Sekarang, setelah dia meninggal dan Mama sakit kayak gini, kita beneran nggak punya apa-apa lagi selain rumah ini."

Rumah ini juga akan dijual setelah Om Ramdan menemukan pembeli. Anjani hanya tidak tega memberi tahu hal itu sekarang. Nanti saja, setelah pasti dan kondisi ibunya lebih baik. "Mama punya aku, om dan bibi, juga Rayan."

"Rayan nggak suka sama Mama. Dia pasti sebel harus terikat sama kita. Apalagi Mama sakit-sakitan gini, jadi nggak bisa ngurus dia. Mama beneran nggak berguna," ibu Anjani melanjutkan keluhannya.

"Rayan hanya butuh waktu untuk menerima kita, Ma." Meskipun Anjani tidak terlalu yakin. Rayan selalu menolak saat diajak makan bersama. Dia makan setelah Anjani dan ibunya makan. Lalu mencuci semua peralatan makannya sendiri. Seperti berusaha menegaskan bahwa dia tidak ingin keberadaannya di rumah ini diketahui.

Anjani baru benar-benar merasakan keberadaan dan interaksi dengan Rayan saat harus datang ke sekolah adiknya itu untuk menyelesaikan masalah yang dia buat.

Biasanya masalah itu tidak dimulai Rayan, tetapi sikap emosionalnya tidak bisa membuatnya mengabaikan olokan dan ejekan orang lain.

Anjani sebenarnya mengerti situasi Rayan di sekolah. Tempat itu pasti tidak nyaman untuk Rayan dengan kondisi ekonomi seperti sekarang. Rayan juga pernah mengutarakan keinginannya untuk pindah sekolah, tetapi Anjani tidak mengizinkan.

Satu-satunya hal terbaik yang diberikan bibi Rayan adalah menyekolahkan Rayan di tempat terbaik. Anjani menduga itu permintaan ayahnya sebagai syarat untuk mengirimkan biaya hidup Rayan. Anjani tidak tega memindahkan Rayan ke sekolah negeri sampai dia memang benar-benar tidak bisa membiayainya.

Saat menerima pesangon sebagai ahli waris resmi ayahnya, Anjani langsung membayar uang sekolah Rayan untuk satu tahun ke depan. Dan mendepositokan pembayaran sekolah Rayan berikutnya sampai tamat SMA. Uang itu tidak diutak-atik sampai sekarang karena Om Ramdan memang menanggung semua jenis perawatan dan obat yang tidak masuk dalam plafon BPJS. Termasuk saat mereka harus membayar banyak tahun lalu karena rumah sakit yang merawat ibunya bermasalah dengan akreditasi yang terlambat sehingga sempat mengalami pemutusan kerja sama dengan BPJS. Kondisi ibu Anjani saat itu sangat memprihatinkan, sehingga Om Ramdan tidak mengizinkan dia dipindah ke rumah sakit lain, dan sebagai konsekuensi, dia diperlakukan sebagai pasien umum.

Iya, Rayan memang tidak terdaftar sebagai anak sah dari ayahnya, tetapi dia tetap saja darah daging ayahnya, dan Anjani merasa berkewajiban menjaganya. Seandainya saja hubungan mereka bisa bisa lebih dekat, Anjani pasti senang sekali. Dia sudah terbiasa tumbuh sebagai anak tunggal yang terkadang kesepian. Ayahnya hanya libur beberapa kali setahun, dan ketika ibunya sedang keluar, Anjani hanya menghabiskan waktu sendiri di kamar.

Namun, Rayan benar-benar berbeda dengan yang Anjani harapkan. Jangankan menemaninya ngobrol, tersenyum saja jarang. Rayan meminimalisir pertemuan meskipun mereka tinggal satu rumah. Anak itu nyaris tidak pernah keluar kamar setelah pulang sekolah.

"Mama ngerti perasaan Rayan sih. Kalau jadi dia, Mama juga akan mengumpat takdir. Mama yakin hubungannya dengan papa kalian nggak terlalu dekat. Dia juga ditinggalkan ibu kandungnya. Eh, pas datang ke sini juga disambut orang sakit-sakitan yang jangankan ngurus dia, ngurus diri sendiri aja nggak bisa. Wajar kalau dia tertutup."

Anjani duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan ibunya yang duduk di kursi. "Mama nggak marah papa selingkuh dan akhirnya Rayan malah tinggal sama kita?" Dia belum pernah benar-benar membicarakan persoalan itu dari hati ke hati dengan ibunya. Anjani menyebutkannya sekarang karena ibunya yang lebih dulu memulai, jadi dia tidak perlu takut menyinggung perasaannya.

"Waktu papa kamu dulu minta cerai, Mama sudah curiga dia punya hubungan dengan orang lain. Mama hanya nggak bertanya karena nggak mau memperpanjang masalah. Pekerjaan papa kamu membuat hubungan kami memang sulit. Awalnya LDR bukan masalah karena kami pikir cinta bisa jadi jembatan, tapi ternyata praktiknya ternyata jauh lebih sulit daripada teori. Perasaan orang bisa berubah. Cinta itu perlahan jadi tawar. Itu alasan mengapa Mama akhirnya bersedia bercerai baik-baik. Sebagai suami, papa kamu punya kelemahan. Tapi dia ayah yang bertanggung jawab meskipun secara fisik nggak bisa selalu ada. Uang kirimannya nggak pernah berkurang satu sen pun setelah kami berpisah."

Anjani menggenggam tangan ibunya. "Aku senang Mama mengerti posisi Rayan."

"Rayan nggak minta dilahirkan dengan kondisi kayak gini. Kalau saja dia mau memberi kita kesempatan untuk masuk dalam hati dia, keadaan pasti akan lebih mudah untuk kita semua."

"Semua ada waktunya, Ma," ulang Anjani. Seandainya saja dia sendiri bisa percaya itu. Setelah dua tahun berlalu tanpa kemajuan, bagaimana meyakinkan Rayan kalau mereka benar-benar peduli? Setelah tamat SMA nanti, Anjani yakin Rayan tidak akan ragu-ragu keluar dari rumah untuk memulai hidupnya sendiri. Hubungan mereka akan semakin renggang. "Sekarang Mama istirahat deh."

Setelah ibunya naik ke ranjang dan memejamkan mata, Anjani keluar kamar. Di akhir pekan seperti ini dia bisa menemani ibunya secara penuh. Di hari-hari kerja, ibunya hanya bersama asisten rumah tangga bibinya yang sudah hampir setahun pindah ke sini atas perintah Tante Puri, bibinya.

Tante Puri memperlakukan ibu Anjani lebih seperti saudara kandung ketimbang ipar, dan Anjani bersyukur karenanya. Entah bagaimana kehidupan mereka kalau istri Om Ramdan tidak sebaik itu. Sulit mencari bibi yang tidak keberatan uang tabungannya dipakai untuk membiayai pengobatan iparnya.

Anjani sedang memasukkan adonan brownies ke dalam oven saat mendengar ribut-ribut dari teras. Dia mengelap tangan dan melepas celemek sebelum keluar. Tawa Kiera dan Alita menyambutnya begitu membuka pintu.

"Nyokap gue lagi tidur." Anjani meletakkan telunjuk di bibir. "Langsung ke dapur aja. Gue lagi manggang brownies. Kalau ditinggal ntar kelupaan dan malah gosong."

Alita mengulurkan kantong plastik yang dibawanya. "Nyokap lo boleh makan buah, kan?"

"Makasih ya."

"Astaga, sopan amat. Itu buah, bukan emas batangan. Nggak usah bilang terima kasih," sambut Kiera.

"Gue bakal bagi-bagi emas batangan kalau berhasil menyeret anak Sultan Brunei ke penghulu," ujar Alita percaya diri.

"Emang ada anak Sultan yang tertarik sama orang biasa kayak kita?" tanya Kiera.

"Ya kali aja kehidupan kita menarik untuk mereka yang kalau mau makan es krim dibeli dengan pabriknya sekalian."

Anjani tertawa mendengar percakapan absurd itu. Dia kemudian berjalan ke dapur diikuti kedua temannya. Mereka duduk berdampingan di depan meja tinggi. Di antara semua ruangan di rumahnya, Anjani paling suka dapur ini karena dia suka memasak dan membuat kue. Ibunya memang sengaja membuat dapur yang lumayan modern dan nyaman karena banyak menghabiskan waktu di situ. Anjani belajar memasak dari ibunya.

"Ngapain bikin brownies kalau nyokap lo nggak makan?" tanya Alita. "Bikin makanan yang dia pantang sama saja menggoda terang-terangan, kan?"

"Nyokap gue nggak akan tergoda kok," Anjani yakin itu. "Dia udah melewati tahap itu sejak lama. Rayan suka brownies." Hanya Cake itu yang bisa membuat Rayan mengosongkan piring kue yang Anjani letakkan di meja makan. Anak itu sangat pemilih, jadi kalau dia makan camilan lebih dari satu atau dua potong, itu artinya dia sangat menyukainya.

"Rayan di mana?"

"Biasa, di kamar." Anjani tidak ingin membicarakan adiknya di rumahnya sendiri, takut Rayan kebetulan keluar dan mendengar. "Sori ya, gue nggak bisa ikutan nongkrong minggu lalu," dia sengaja mengalihkan percakapan. "Kalian jadinya nongkrong di mana?"

"Teman kantor yang gue ceritain proyek Julian ngajakin ke kelab pacarnya yang tajir melintir buat survei," jawab Alita. "Gretongan. Buset, harga minuman dan camilan di sana mahal banget. Nggak ikhlas banget kalau harus bayar sendiri."

"Survei di kelab?" Anjani mengernyit.

Alita menyeringai. "Julian bukan tipe yang introver sih, jadi ya, dia harusnya nongkrong di kelab yang lagi happening, bukan yang duduk diam di perpustakaan pribadinya untuk ngabisin waktu. Pembaca nggak akan suka karakter kayak gitu. Di kehidupan nyata, semua perempuan pengin punya pasangan sesetia penguin, tapi untuk bacaan hiburan, karakter bad boy tobat yang berproses menjadi bucin sangat disukai. Jaminan best seller kalau dikemas bagus. Gue mulai hafal pola ini setelah sekian lama nulis."

"Gue memang bisa bayangin Julian dan teman-temannya nongkrong di tempat kayak gitu," sambung Kiera. "Kaum hedonis yang punya kartu debit sekoper. Jenis orang yang pasti nggak download aplikasi Go pay dan Ovo buat ngejar diskonan kayak kita rakyat jelata gini."

"Juga nggak ngafalin jam-jam tertentu buat nangkap koin." Alita terkekeh. "Dan mecahin telur buat dapetin voucher 70% dengan nilai maksimal 20 ribu. Kenapa nggak dibilang 20 ribu aja langsung, nggak usah pakai embel-embel 70%? Beneran bikin pelanggan melambung dan langsung nyungsep setelah sadar arti kalimatnya. Digituin sakit banget tahu!"

"Penderitaan yang hanya bisa dimengerti pengabdi diskon kayak kita." Kiera ikut tertawa. "Julian dan teman-temannya pasti menjauh dari bagian yang ada tulisan sale-nya pas ke mal. Mereka nggak ngerti seni rebutan barang diskonan."

Anjani ikut tertawa bersama teman-temannya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro