Sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dhyast baru saja masuk apartemen saat ponselnya berdering. Dia menggeleng-geleng saat melihat nama Shera muncul di layar. Si kembar benar-benar tidak berniat melepasnya.

Dia mengempaskan tubuh di sofa sebelum mengangkat panggilan video itu. Ini pasti lanjutan dari protes si kembar di sekolah tadi.

"Hai, anak-anak," sapa Dhyast sambil tersenyum lebar ke layar ponselnya. Dia selalu menggoda adiknya dengan sebutan itu.

"Mas Dhyast nggak usah senyum-senyum gitu," omel Shiva mencebik. "Jelek tahu!"

"Iya, jelek banget," sambut Shera setuju.

"Kalau kakaknya jelek, adiknya juga jelek dong. Kan cetakannya sama."

"Nggak usah bercanda deh. Kami lagi sebel banget sama Mas Dhyast," Shiva tidak terpancing oleh guyonan Dhyast. "Kita kan udah sepakat supaya Mas Dhyast nolak kalau Rayan ganti HP-nya. Gimana sih?"

"Iya, nggak tepat janji. Dasar!" Shera ikut menggerutu. "Emang Nyebelin."

"Hei... hei... kita nggak pernah sepakat. Mas nggak pernah bilang "iya" lho," Dhyast mengingatkan adiknya. "Mas bilang kita lihat saja nanti. Dan nyatanya teman kamu itu kan udah beli ponsel buat ganti ponsel kamu yang dia rusak. Jadi masalahnya di mana?"

"Masalahnya Rayan nggak punya duit buat beli HP baru, Mas. Kasihan dia."

"Iya, kasihan banget. HP Rayan kan android zaman jebot gitu. Di sekolah kayaknya HP dia jelek sendiri deh. Eh, sekalinya beli HP bagus, malah buat ganti HP Shiva yang rusak. Ngenes banget nasibnya."

Dhyast teringat percakapannya dengan Anjani --kakak si Rayan-Rayan yang sedang diperjuangkan kedua adiknya ini— tadi siang. "Kakaknya nggak masalah kok mengganti ponsel kamu. Katanya itu malah bagus supaya jadi pelajaran biar teman kalian itu nggak lagi merusak barang orang lain seenaknya."

"Tapi kan yang duluan bikin masalah itu bukan Rayan, Mas. Katrin sendiri udah ngaku kok."

"Iya, Katrin yang mulai. Semua orang yang lihat juga tahu," imbuh Shera. "Kalau dia nggak mancing-mancing Rayan dan bilang dia parasit dan numpang hidup sama Michael, Rayan nggak mungkin marah. Iya kan, Shiv?"

"Iya, cara carper si Katrin keterlaluan sih. Dia yang naksir, eh si Rayan yang ditaksir malah ketiban sialnya harus ganti ponsel."

"Jadi tujuan kalian menghubungi Mas itu apa sih?" Dhyast mencoba mengembalikan fokus adiknya yang sekarang malah ngobrol berdua.

"Mas balikin ponselnya ke kakak Rayan," kata Shiva. "Lumayan kan bisa dijual lagi. Mungkin aja kan kakaknya beliin HP itu pakai kredit. Kasihan."

"Iya, kasihan banget."

"Dari tadi kasihan melulu," gerutu Dhyast. "Lagian, kenapa bukan kalian aja yang balikin ponselnya ke Rayan sih? Lebih praktis, kan? Bukannya kalian sekelas?"

"Tadi udah aku coba, Mas. Tapi Rayannya nolak. Nggak enak mau maksa-maksa. Dia kan pendiam dan cuek gitu anaknya. Kalau Mas Dhyast yang ngomong sama kakaknya, mungkin aja kakaknya mau terima."

Dhyast sebenarnya tidak keberatan bertemu dengan kakak Rayan lagi, masalahnya, bagaimana cara bertemu dengan perempuan itu? Mereka memang berkenalan, tetapi Dhyast tidak mau terlihat agresif dengan meminta nomor teleponnya. Perempuan zaman sekarang itu baperan. Meminta nomor telepon bisa saja diartikan tertarik. Dan Dhyast tidak mungkin tertarik dengan perempuan yang baru dikenalnya, meskipun sudah pernah melihatnya beberapa kali. Dia bukan tipe laki-laki seromantis itu. Dhyast bahkan tidak ingat pernah memberi bunga atau cokelat kepada mantan-mantan pacarnya. Konyol sekali kalau berpikir dia tertarik kepada Anjani yang baru dikenalnya. Dia bukan Risyad atau Rakha yang sering menindaklanjuti perkenalan dengan perempuan yang mereka temui saat nongkrong di kelab atau kafe.

"Mau ya, Mas? Mau dong!" Shera mengembalikan fokus Dhyast ke layar ponsel.

"Mas kan nggak tahu bisa ketemu kakak teman kamu itu di mana."

Shiva terkikik. "Aku tahu kok caranya. Tadi aku udah minta nomornya kakak Rayan sama Bu Guru BK. Aku bilang Mas Dhyast yang minta karena ada yang mau diomongin sama kakak Rayan. Aku nggak bohong, kan?"

"Nggak kok. Itu bukan bohong." Shera ikut terkikik. "Kan Mas Dhyast mau ngomong beneran sama kakak Rayan pas nanti nelepon."

Dhyast berdecak menatap adik kembarnya yang cengengesan. "Kenapa sih kalian perhatian banget sama si Rayan itu? Siapa di antara kalian yang naksir dia? Bukannya Mas sudah pernah bilang kalau kalian nggak dikasih izin pacaran sampai umur 30?"

Shiva dan Shera kompak menjulurkan lidah. "Enak aja. Ketuaan dong. Oh ya, Pak Uus nanti aku suruh ke apartemen Mas Dhyast buat nganterin HP yang dibeli Rayan ya. Terus HP baru aku sudah harus ada besok. Udah ya, Mas. Nomor kakaknya Rayan akan Shera WA setelah ini."

Nomor telepon Anjani dikirim tidak lama setelah si kembar mengakhiri panggilan video. Dhyast mengamatinya sejenak sebelum akhirnya menyimpan nomor itu di kontaknya. Dia akan menghubungi perempuan itu besok. Tidak perlu terburu-buru. Ini hanya pertemuan antara dua orang kakak yang berusaha menyelesaikan masalah adik-adik mereka.

**

Anjani memasuki kafe itu dengan perasaan ragu. Ini sebenarnya bukan tempat yang ingin dia datangi kalau ingin bersantai. Kondisi keuangannya sedang tidak bersahabat, dan masuk ke tempat ini paling tidak akan mengorbankan selembar Soekarno-Hatta. Pemborosan. Namun, dia tidak punya pilihan.

Tadi pagi, kakak si kembar yang ponselnya dirusak Rayan menghubunginya dan meminta bertemu di tempat ini setelah jam kerja. Anjani tidak bertanya soal apa karena lantas sibuk berdoa semoga kali ini Rayan tidak melakukan kesalahan yang lebih besar. Baru kemarin mereka semua berkumpul di ruang BK.

Anjani melirik jam di pergelangan tangannya setelah duduk di salah satu meja dekat pintu masuk. Dia lebih cepat 15 menit daripada waktu yang disepakati dengan Julian. Oh ya, bukan Julian lagi. Benar, Dhyastama. Setelah terbiasa menganggapnya sebagai Julian, nama Dhyastama malah terdengar aneh.

"Boleh ikut duduk di sini?" suara itu membuat Anjani mengangkat kepala dari ponsel yang ditekurinya. Seorang laki-laki tersenyum kepadanya. Anjani mengernyit. Wajah itu seperti tidak asing, tetapi dia tidak tahu siapa. Mungkin dia pernah melihatnya di suatu tempat, entah di mana.

"Saya janjian sama teman di sini, tapi datangnya malah kecepetan. Soalnya kebetulan memang ada di dekat sini waktu dia menelepon," laki-laki itu melanjutkan saat melihat Anjani hanya menatapnya, tidak merespons. "Kalau nggak boleh ya nggak apa-apa kok."

"Boleh kok," jawab Anjani akhirnya. Senyum laki-laki itu tampak bersahabat, tidak terkesan genit. Lagi pula, Anjani tidak bisa melarangnya duduk di mana pun. Sama seperti laki-laki itu, dia hanya pengunjung di sini. Dia toh tidak akan lama. Setelah pembicaraan dengan Dhyastama selesai, dia akan segera pulang.

"Makasih." Laki-laki itu duduk di depan Anjani. "Kamu sering nongkrong di sini ya?"

Nongkrong di sini butuh biaya mahal. "Tidak." Ini yang kedua kalinya. Pertama karena ditraktir Alita, dan sekarang karena Dhyastama mengusulkan tempat ini untuk bertemu.

"Oh ya? Kalau nggak salah, saya pernah lihat kamu di sini deh."

Anjani meringis. Baru saja dia berpikir kalau laki-laki ini tidak tampak seperti penggoda. Ternyata dia bukan penilai karakter yang bagus. Senyum laki-laki yang tampak tulus itu menipunya. "Mas pasti salah lihat."

"Kemungkinan salahnya kecil sih. Saya nggak gampang lupa wajah orang. Waktu itu kamu bersama dua teman kamu. Tapi kamu pulang duluan. Sebulan lalu kayaknya."

Anjani membelalak. Ternyata laki-laki itu memang melihatnya. Perkataannya tadi bukan basa-basi dan modus sok kenal yang Anjani pikir. Dia lantas mengamatinya lebih lekat, dan kemudian teringat. Laki-laki ini teman Dhyastama. Salah seorang di antara Paijo, Suleman, dan Tarjo. Apakah dia ke sini karena mau bertemu Dhyastama juga?

"Nggak usah dipelototin gitu, saya yakin kamu juga nggak bakalan ingat saya. Waktu itu kayaknya kamu nikmatin banget kopinya sampai nggak sempat lihat sekeliling."

Anjani tersenyum risih dan mengalihkan pandangan ke pintu masuk. Belum ada tanda-tanda kedatangan Dhyastama.

"Oh ya, nama saya Risyad." Laki-laki itu mengulurkan tangan. "Kata orang-orang, kalau terus-terusan ketemu secara kebetulan itu bisa jadi cikal bakal jodoh lho. Kekuatan semesta menyeret dan mendekatkan. Jadi kalau kita beneran bisa ketemu lagi secara kebetulan, saya sudah tahu siapa nama orang yang ditakdirkan untuk jadi pendamping hidup saya."

Candaan itu seharusnya terdengar norak dan garing, tetapi cara laki-laki itu menyampaikannya tidak terdengar murahan. Pasti playboy ini sudah mematahkan hati banyak perempuan. Tipikal laki-laki tampan, kaya, dan percaya diri yang sangat menyadari pesonanya. "Anjani." Dia menerima uluran tangan itu.

"Semoga orangtua kamu nggak terinspirasi dari nama anak Resi Gotama dan Dewi Indradi. Karena Anjani yang itu punya fase hidup nggak menyenangkan ketika dia dan kedua adiknya berubah menjadi makhluk berbulu ketika terkena air telaga Sumala. Tapi kamu nggak punya adik yang bernama Subali dan Sugriwa, kan?"

Anjani tidak bisa menahan tawa. "Saya nggak menyangka kalau zaman sekarang masih ada yang hafal cerita pewayangan."

"Saya cucu yang baik. Saya dapat banyak uang jajan dari kakek saya waktu kecil karena betah duduk berjam-jam nemenin dia nonton wayang, atau dengerin dia bacain ensiklopedia Wayang Purwa. Kakek saya nggak terlalu suka Peter Pan, Pinokio, atau superhero Marvel dan DC, jadi ya, saya lumayan hafal dengan tokoh-tokoh pewayangan."

Bayangan dari pintu yang didorong dari luar membuat Anjani mengalihkan pandangan dari Risyad. Akhirnya Dhyastama datang juga. Mereka bisa bicara supaya dia segera pulang. Ibunya selalu khawatir kalau Anjani terlambat pulang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro