Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bertemu Dhyast setelah mengetahui siapa sebenarnya laki-laki itu rasanya sedikit berbeda. Anjani dipanggil menghadap Pak Purnomo setelah kunjungan Dhyast ke kantor bosnya itu.

"Kamu nggak pernah bilang kalau kamu berteman dengan Pak Dhyastama," kata Pak Purnomo waktu itu.

Anjani diam saja karena tidak mengerti apa yang dibicarakan bosnya. Dia tidak kenal bosnya secara pribadi, jadi mengapa dia harus bercerita tentang teman-temannya, terutama Dhyastama.

"Grup Purbaya itu adalah salah satu klien kita yang paling penting," lanjut Pak Purnomo. "Dan Pak Dhyastama bukan hanya direktur marketing di sana, tapi dia juga anak Pak Adinata Purbaya."

Anjani menahan bibirnya supaya tidak bergerak dan melongo seperti orang bodoh di depan bosnya. Sejak awal sejak melihat penampilan Dhyastama dia sudah menduga kalau laki-laki itu memang kaya, tetapi dia tidak menduga kalau dia sekaya itu. Adinata Purbaya terkenal sebagai pengusaha di bidang telekomunikasi yang sangat sukses.

Saya sudah di lobi.

Pesan itu membuat Anjani mengangkat ransel. Dia belum memutuskan akan mengajak Dhyastama makan di mana, tetapi sebaiknya tidak di gedung ini. Sekarang baru terasa konyol mentraktir Dhyastama dengan makanan seadanya. Pantas saja laki-laki itu hanya memesan soto. Rumah makan yang sesuai dengan kantong Anjani pasti tidak cocok dengan lehernya. Entah apa yang membuatnya masih kukuh minta ditraktir makan.

Anjani tidak ingin besar kepala dan memikirkan kemungkinan Dhyastama tertarik kepadanya. Memang tidak mustahil kalau anak seorang Adinata Purbawa punya perasaan itu kepadanya, karena rasa tertarik itu sangat manusiawi dan bisa dialami oleh siapa saja. Pertanyaannya adalah, berapa lama Dhyastama akan mengikuti kata hatinya itu? Karena pada akhirnya, orang-orang seperti Dhyastama akan memilih perempuan dari kalangannya sendiri sebagai pasangan. Kisah Cinderella hanya ada dalam roman yang diciptakan oleh penulis seperti Alita untuk membuai pembacanya, tetapi dalam kehidupan nyata, golongan orang seperti Dhyastama tidak memilih jodoh secara impulsif. Semua ada hitung-hitungannya, bukan semata atas dasar cinta. Itulah mengapa orang kaya di negara ini menjadi semakin kaya. Pernikahan bagi mereka sama dengan menggabungkan harta dan usaha. Jadi, peraturan pertama untuk menghadapi orang seperti Dhyastama adalah : tidak boleh baper. Hati taruhannya. Dan patah hati tidak pernah mudah diatasi. Anjani sudah pernah melalui fase itu. Masih ada rasa jeri yang membayangi.

"Mau makan apa?" tanya Anjani setelah bertemu Dhyastama di lobi.

"Terserah yang traktir sih." Dhyastama tersenyum. "Saya ngikut aja."

Jangan menatap terlalu lama! Anjani menghardik diri sendiri. Semua rasa baper itu berawal dari durasi tatapan mengagumi. Dia menarik napas panjang sambil sekali lagi merapal mantra. "Nggak jauh dari sini ada restoran Sunda. Kita makan di sana saja. Harganya bisa nutup harga soto beberapa porsi, jadi saya nggak punya utang banyak lagi." Kenapa guyonannya tidak terdengar selucu yang diharapkannya?

"Dengar kamu ngomong kayak gitu, kok kesannya saya seperti pemeras ya?" Senyum Dhyastama semakin lebar. "Tapi, kalau boleh milih, saya lebih suka makan soto sih, biar tetap punya alasan untuk nagih. Ternyata saya sangat menikmati jadi debt collector kayak gini."

"Tapi dikejar-kejar untuk utang yang nggak pernah saya bikin itu lumayan nyesek lho." Anjani ikut tersenyum. Dia lantas menunjuk keluar lobi. "Restorannya nggak sampai setengah kilometer dari sini. Keluar dari gedung langsung belok kanan. Mas bisa ke sana duluan, nanti saya nyusul pakai motor."

Dhyast mengernyit. "Kita pergi sama-sama aja. Nanti saya antar balik ke sini lagi."

"Tapi itu nggak praktis, Mas," Anjani buru-buru menolak. "Kantor Mas kan nggak searah ke sini. Repot kalau mutar lagi."

"Nggak repot," desak Dhyast. "Dekat banget kok."

Anjani belum bergerak. Dia tidak menyukai ide itu. Pergi sendiri-sendiri lebih cocok untuk skenario menjaga hati. Dia akan tetap menyadari betapa besarnya perbedaan antara dirinya dan Dhyastama.

"Kalau harus pergi pakai kendaraan masing-masing, lebih baik kita makan di sini sih," lanjut Dhyast saat Anjani belum merespons. "Nggak perlu buru-buru juga. Asal bos kamu nggak menelepon lagi sih."

"Di luar saja," Anjani akhirnya mengambil keputusan. Bagaimanapun, rantai pertemanan ajaib ini harus segera berakhir sebelum dia benar-benar berharap lebih. Perasaan tidak bisa diprediksi dan dikendalikan. Seperti kata orang-orang, lebih baik mencegah daripada mengobati.

Anjani nyaris tertawa saat melihat mobil Dhyastama. Kiera tidak salah. Mercedes.

"Ada apa?" Dhyast rupayanya melihat sudut bibir Anjani yang mencuat.

Anjani buru-buru menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Pasti ada apa-apanya. Senyum kamu aneh begitu." Dhyast meneleng menatap Anjani dengan sorot tidak percaya.

Anjani akhirnya benar-benar tertawa. "Seandainya punya mobil kayak gini, saya juga pasti akan berpikir kalau naik motor itu memang nggak aman."

"Bisa tolong lupain aja kalau saya pernah mengatakan hal bodoh seperti itu, kan?" gerutu Dhyast, meskipun dia ikut tersenyum.

Waktu makan siang membuat restoran yang mereka kunjungi cukup ramai, tetapi masih ada meja kosong. Mereka makan sambil bercakap-cakap ringan.

"Kayaknya kamu sibuk banget tiap weekend ya?" tanya Dhyastama. "Ponsel kamu online, tapi pesan-pesannya nggak ada yang langsung dibaca."

Anjani mengangkat kepala sejenak, lalu buru-buru menunduk dan pura-pura sibuk dengan makanannya saat pandangannya bertemu dengan Dhyast. "Kalau di rumah saya memang nggak terlalu sering pegang ponsel sih."

"Kenapa?" Dhyast mengerutkan dahi mendengar jawaban Anjani yang tidak biasa itu. Selama ini dia berpikir kalau gawai adalah sahabat terbaik perempuan. "Zaman sekarang orang malah hampir nggak pernah lepas dari ponsel kalau belum tidur."

Anjani menimbang-nimbang sejenak. Dia tidak akan menceritakan kondisi ibunya kepada Dhyastama. Pertemanan mereka belum mencapai level itu. "Weekend itu lebih ke quality time dengan keluarga sih. Jadi memang nggak terlalu fokus ke ponsel."

"Kirain quality time dengan pacar," sambut Dhyastama.

Jangan terpancing! Anjani berhasil mengulas senyum tanpa menjawab sebelum melanjutkan suapannya.

"Kamu belum punya pacar, kan?" kejar Dhyast. "Nggak enak aja kalau tiba-tiba kena labrak gara-gara jalan dengan pacar orang."

Anjani meringis. "Itu drama banget sih. Saya nggak terlalu suka drama di dunia nyata."

"Kalimat kamu kalau diterjemahkan dalam jawaban artinya kamu belum punya pacar. Benar gitu, kan?"

Anjani hanya mengedik. Mengabaikan kalimat-kalimat Dhyastama yang menjurus ternyata tidak semudah yang semula dia pikir. Tantangan menjadi perempuan itu adalah terlalu gampang menyinkronkan mata dan hati. Tampang Dhyastama yang sedap dipandang, sikapnya yang sopan, dan pembawaannya yang tenang benar-benar membuat mata dan hati terkoneksi maksimal.

"Mas tadi pasti nggak sempat brunch ya?" Anjani mengalihkan topik percakapan dengan sengaja. Dia menunjuk piring Dhyast yang hampir kosong.

"Iya, sengaja nggak makan apa-apa setelah sarapan biar nggak dituduh diet setiap kali makan sama kamu."

Mereka tertawa bersama.

Selesai makan, Anjani berdiri hendak menuju kasir, tetapi Dhyast lebih sigap. "Kali ini saya yang bayar dong," katanya cepat.

"Dan ini dihitung utang lagi?" Niat awal Anjani adalah memutus kontak, sebelum hatinya telanjur mengkhianati kalau terlalu sering bersama Dhyastama. Seperti yang dia bilang tadi, dia tahu ke mana muaranya kalau dia memaksakan diri menjalin hubungan dengan Dhyastama, seandainya laki-laki itu memang mengatakan tertarik kepadanya. Bagi Dhyastama, dirinya pasti hanyalah tantangan sesaat. Pada akhirnya, laki-laki itu akan kembali ke habitatnya.

"Hei..., saya nggak serius soal utang itu. Saya bilang begitu supaya kamu mau ketemu saya lagi. Jujur saja, kamu sepertinya nggak terlalu gampang didekati, jadi ya, saya memanfaatkan kesempatan yang ada."

Anjani mendesah. Ini benar-benar buruk untuk hati.

**

"Nggak ada perempuan yang lebih pantas daripada Gracie untuk kamu," nada antusias ibunya malah membuat Dhyast sedikit menyesali keputusannya pulang ke rumah malam ini.

"Pantas atau enggaknya itu aku yang memutuskan, bukan Ibu." Entah sudah berapa kali Dhyast memberitahu supaya ibunya tidak mencampuri urusan asmaranya, tetapi ibunya seperti sengaja abai. "Yang menjalani hubungan itu kan aku, bukan Ibu. Jadi orangnya harus cocok dengan aku, bukan Ibu."

"Ibu nggak mau kamu salah pilih, Yas. Mencari pasangan untuk orang seperti kita itu kelihatannya memang gampang banget, tapi sebenarnya nggak semudah itu. Kalau nggak hati-hati dan waspada beneran bisa salah pilih. Kita kan nggak tahu apakah orang mendekati kita memang tulus atau karena mau sesuatu dan memanfaatkan kita. Ibu nggak mau kamu bersama perempuan yang melihat kamu sebagai tambang emasnya. Gracie nggak akan seperti itu karena latar belakangnya sama dengan kita. Dan dia terang-terangan billang kalau dia tertarik sama kamu. Pernikahan kamu dengan dia juga bagus untuk bisnis keluarga. Ba—"

"Kita nggak akan membahas Gracie Kusuma lagi, Bu," Dhyast memotong bosan. "Kecuali kalau aku memang tertarik sama dia. Tapi untuk sekarang, tidak."

"Kamu sudah 30, Yas!" ibunya tidak mau kalah. "Waktu papa kamu umur segitu, kamu sudah 2 tahun. Sepupu-sepupu kamu yang sepantaran juga sudah menikah dan punya anak."

"Menikah itu bukan perlombaan, Bu." Dhyast memutuskan mengakhiri percakapan tentang pernikahan itu. "Shiva sama Shera di mana?" lebih baik menggoda kedua adiknya.

"Tadi keluar sama Pak Uus. Katanya mau beli kado untuk temannya yang ulang tahun besok. Kalau kamu memang nggak tertarik sama Gracie, Ibu nggak tahu lagi seperti apa perempuan yang bisa bikin kamu mau memikirkan kemungkinan menikah."

Dhyast nyaris berdecak sebal mendengar ibunya kembali ke topik itu. "Kalau aku sudah bertemu perempuan yang beneran bisa bikin aku memikirkan kemungkinan menikah, aku akan kenalin dia sama Ibu. Jadi, sampai saat itu tiba, aku harap kita nggak akan bicara soal ini lagi."

"Ibu mau cepat-cepat dapat cucu seperti tante-tante kamu yang lain," keluh ibunya cemberut. "Keinginan Ibu nggak berlebihan, kan? Umur kamu udah matang banget."

Dhyast hanya bisa mengembuskan napas panjang. Harapan ibunya sangat wajar, sama sekali tidak berlebihan. Namun, pernikahan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Dia tidak mau mengalami nasib seperti Yudis yang mengikuti keinginan ibunya, dan pernikahan temannya itu sekarang bermasalah.

"Kamu masih tertarik sama perempuan, kan?" sambung ibunya lagi. "Terakhir kamu pacaran sama Shirley itu kan udah beberapa tahun lalu. Sekarang kamu malah nongkrong bareng Risyad melulu. Ibu juga nggak pernah lihat dia gandeng perempuan. Kalian nggak punya hubungan yang aneh-aneh gitu, kan?"

"Astaga, Ibu!" Dhyast menatap ibunya tidak percaya. Risyad akan tertawa sampai kaku kalau mendengar apa yang baru saja dikatakan ibunya.

"Jangan pura-pura kaget gitu!" ibunya balas memelotot. "Ibu hanya ngomongin apa yang Ibu lihat. Sekarang kan zaman edan. Yang berkumis sukanya sama yang brewok. Kalau itu kejadian sama kamu, harapan Ibu menimang cucu dalam waktu dekat akan hilang. Ibu harus nunggu Shiva dan Shiera dewasa dulu. Dan itu masih lama banget!"

"Jodoh itu sudah ditentuin sama Tuhan, Bu. Kalau belum waktunya, mau dipaksain juga nggak akan kejadian."

"Yang sudah ditentuin juga tetap harus diusahain, Yas," jawab ibunya tidak mau kalah. "Ibu yakin nggak akan ada perempuan yang nolak kamu, dan itu malah bikin Ibu khawatir. Seperti yang Ibu bilang tadi, motivasi mereka menerima kamu bisa saja karena uang. Bersama perempuan seperti Gracie yang selevel dengan kita pasti akan lebih mudah karena lingkaran pergaulan kalian juga sama."

Kembali ke situ lagi. Dhyast hanya bisa menggeleng-geleng.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro