Aku Ingin Membunuhmu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

CERITA PENDEK
ditulis oleh
GulaBiru

❣️❣️❣️

Musim semi membentang di hadapan, wangi dan warna-warni. Alex sibuk di dapur dengan cetakan kue dan adonan cokelat cair. Sesekali dia bersenandung lirik lagu dari penyanyi favoritnya saat menuang cokelat dalam cetakan, lalu dibiarkan mengeras di dalam kulkas.

Selagi menunggu, Alex menerka-nerka ekspresi seperti apa yang akan didapat setelah dia memberikan cokelat buatannya. Ini White Day, saatnya para laki-laki memberikan cokelat.

Tujuh menit berlalu, cokelat-cokelat itu sudah keras sempurna. Alex menatanya dalam kotak merah muda yang dia beli di toko Serba Ada di ujung gang, dengan sekat-sekat dari kertas kaku sebanyak dua belas dan pita pink yang disemat rapi di ujung kanan tutupnya.

“Alex, kenapa kau masih di sini?” seru seorang wanita paruh baya dari depan pintu dapur, rambutnya yang sebagian banyak berwarna kelabu tampak mencuat sana sini.

“Sebentar lagi selesai kok,” sahut Alex. “Menurut ibu, apa dia akan suka dengan cokelat buatanku?”

“Aku tidak tahu,” jawab sang ibu.
 
Alex cemberut, sementara ibunya hanya menatapnya sebentar sebelum berlalu.

Setelah memastikan penampilan di depan pintu kulkas yang memantulkan bayangannya samar-samar, Alex bergegas keluar rumah, menuju ladang jagung di pekarangan belakang. Di tengah ladang ada gudang kecil yang biasa digunakan ayahnya untuk menyimpan alat-alat berkebun dan juga pupuk.

Setelah masuk ke dalam gudang, Alex berjalan sampai ke ujung lalu menarik besi bulat tepat di dekat kakinya. Ruang bawah tanah terlihat, dia turun ke bawah dengan tangga lamat-lamat. Alex menekan saklar, cahaya lampu redup yang menjuntai dari langit-langit menerangi ruangan itu.

Dia melangkah pelan-pelan, mendekati kotak besar yang ditutup kain putih. Alex maju selangkah, dia mendengarkan deru napas teratur dari dalam kotak. Sepertinya dia sedang tidur, pikir Alex, lalu menarik kain penutupnya.

Begitu kain itu tersingkap dan kotak berjeruji besi itu terlihat jelas, Alex bersitatap dengan sosok di dalam jeruji. Keduanya saling pandang, Alex mengabaikan hawa dingin yang menyusup ke sekujur tubuh ketika sosok itu mendekat.

Happy White Day,” kata Alex, mendorong kotak cokelat yang dia bawa dengan ujung kaki sampai berhenti di depan jeruji besi.

“Aku membuatnya sendiri,” katanya, sembari duduk di lantai. “Cobalah, itu enak.”

Cahaya remang-remang di ruangan itu masih bisa menangkap gerakan pelan dari dalam jeruji, merayap mendekat, mencengkram jeruji besi dengan jari-jarinya yang kurus dan kotor. Ada banyak lebam dan luka di lengannya yang terbuka, sementara dress bunga-bunga model tali yang membungkus tubuh cekingnya terlihat lusuh.

Sosok itu tersenyum, masih terlihat cantik meski pandangannya begitu kosong. Dia meraih kotak cokelat dan membukanya pelan-pelan. Dalam gerakan slow-mo dia mengambil satu cokelat, matanya yang bengkak dan sayu menatap Alex yang duduk santai dengan bertumpu pada lengan.

“Kau mau makan sama-sama?” tanya Alex, merujuk uluran tangan gadis itu kepadanya.

Gadis itu mengangguk singkat.

Kemudian saat Alex mendekat, gadis itu buru-buru meraih tangan Alex, mencengkramnya dengan sikap tidak sabaran. Dia tersenyum lagi, mendekatkan wajahnya pada Alex yang tengah menguyah cokelat dengan santai.

“Alex Armanto!” bisiknya di telinga Alex, “Aku ingin membunuhmu!”

Seketika itu juga Alex menghempaskan cengkraman gadis itu, dia mundur selangkah, menatap gadis dalam jeruji dengan senyum tipis.

“Coba saja! Aku ingin lihat apa yang bisa kau lakukan.”

Gadis itu merubah posisi jadi berjongkok, menyeringai, jari-jarinya mencengkram jeruji kuat-kuat. Lalu tanpa pernah diduga dia menghantamkan kepalanya pada jeruji-jeruji itu, berkali-kali, bunyi benturannya menggema, memantul-mantul ke segala arah.

“Hei! Apa yang kau lakukan, hentikan, kau bisa mati!” Alex mulai panik, dia berdiri takut-takut karena gadis itu terus menghantamkan kepalanya di jeruji.

“Kau bisa mati, Elena!”

Elena berhenti, cekikikan, darah kental mengalir lamban dari hidung dan pelipisnya. Dia masih jongkok, tertawa sumbang, memamerkan giginya yang penuh darah.

“Kau takut aku mati, Alex?” Elena bergerak lamban, seperti hewan melata yang tengah memerhatikan mangsanya. “Keluarkan aku dari sini, aku janji akan melakukan apa pun untukmu.”

Alex mundur selangkah, sementara Elena masih mengawasinya.

“Aku akan menghentikan teman-teman yang hobi mengolok-olokmu, mereka tidak akan lagi menjahilimu di sekolah. Dan juga ibumu,” Elena menyeringai. “Akan kubuat dia bersikap baik padamu.”

Alex memandangi Elena, sementara kepalanya terasa penuh dengan kejadian-kejadian tidak menyenangkan di sekolah. Betapa terganggunya dia dengan olokan yang menyakiti perasaannya. Kejahilan lebih mirip kejahatan; dia hampir tenggelam di kolam teratai, mimisan karena lemparan bola basket dan harus menelan air kloset.

Elena sudah sering menawarkan hal itu namun selalu dia tolak, tapi entah kenapa hari ini tawaran itu terdengar lebih mengiurkan dari sebelum-sebelumnya.

Pelan tapi pasti Alex mengambil kunci dari dalam lemari kayu di sudut ruang dan mendekat lagi pada Elena.

“Kau janji akan melakukannya untukku?” tanya Alex, kunci di genggamannya agak gemetar.

“Aku janji!”

Pada akhirnya Alex membuka pintu jeruji, tertatih Elena keluar dari jeruji yang membelenggunya entah sejak kapan.

“Aku harus bilang apa pada ibu?”

“Bilang saja aku saudarimu. Kau lupa kalau aku ini kakakmu, Alex?”

Sudut mata Elena yang lancip tertarik ke atas, kemudian dalam satu gerakan cepat yang tidak disangka-sangka dia sudah mendorong Alex jatuh ke lantai bersamanya. Dia menyerang dengan pukulan cepat, berkali-kali, membabi buta, sampai Alex tak sempat membalas dan sekarang Alex tidak lagi bergerak dengan banyak darah.

Terengah-engah, Elena menarik tubuh Alex tepat di bawah lampu. Dia mengamati wajah pemuda itu seksama, memerhatikan garis wajah yang begitu mirip dengannya. Elena menunduk untuk dapat melihat Alex lebih jelas, tetapi dia terkejut luar biasa.

Dengan rasa gemetar yang lamat-lamat menguasai tubuh, Elena mematikan lampu dan buru-buru menaiki anak tangga, keluar dari ruang bawah tanah. Dia berlari menyeberangi gudang itu dan muncul di halaman luas yang tandus, napasnya masih terengah-engah tapi dia memutuskan untuk terus berlari ke arah rumah.

Seorang wanita menyeruak dari arah pintu dan Elena nyaris menabraknya.

“Ibu!” Elena berteriak. “Alex—dia—dia ingin membunuhku!”

Wanita itu menatap Elena tidak paham, kemudian satu nama yang keluar dari mulutnya yang kering membuat Elena terpana.

“Alex, apa yang kau bicarakan?” wanita itu mendekat. “Astaga… kau dari mana, kenapa bajumu penuh lumpur seperti ini? Apa teman-temanmu mengganggumu lagi?”

Keadaan mati rasa menjalari tubuh pemuda yang kini tengah memandangi dirinya sendiri, sementara kepalanya pening dan banyak pikiran yang membingungkan. Dia menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya dia karena tidak ada gudang kecil di sana, tidak ada ladang jagung, yang ada hanya kubangan lumpur dari galian selokan yang belum selesai.

Dia memang Alex dan dia baru saja membunuh dirinya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro