Aura

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

CERITA PENDEK
ditulis oleh
MitzyLavenntia

❣️❣️❣️

Aku manusia, tapi takdir bilang aku menjadi tangan kanan malaikat pencabut nyawa. Aku, Eliza Septriyasa, bisa melihat warna aura manusia.

Sederhananya, aku tahu apa yang kalian rasakan dan kapan kalian mati.

***

"Pandemi, Za. Jangan banyak kepengen," ujar suara dari seberang sambungan telepon.

Seorang gadis berambut panjang yang tengah bergelung di tempat tidurnya hanya mendecakkan lidah. Ia lalu berguling sekali, berganti sandaran tidur ke arah berlawanan demi tangannya yang hampir kebas.

"Bawel lo, Ul. Lo kan udah ada cowok." Suara Eliza semakin lama semakin mengecil, menyadari nadanya benar-benar menampakkan iri hatinya pada Uli, sahabatnya sejak SMA.

"Ya emang lo kira Hansen bakal kasih apa sama gue? Tau aja nggak kali," gerutu Uli.

"Hah? Hansen yang super romantis nggak tau White Day itu apaan?" Eliza mendengus.

Uli, adalah gadis sederhana. Manis dan eksotis, kalem dan santun. Tidak mungkin ada yang tidak suka pada Uli pada pandangan pertama. Antara dibuat terpana melihat rambutnya yang ikal, matanya yang belo, serta lesung pipi yang manis setiap kali gadis itu tersenyum atau luluh dengan tutur lembut Uli dan perhatiannya pada mereka.

Itu kesan pertama, setelah mengenal Uli yang sebenarnya, gadis itu tidak jauh-jauh dari cewek bobrok nan puitis. Makanya, hidup Uli sudah hampir bisa dibilang hidup ideal yang diinginkan semua gadis-gadis seumuran Eliza—yang sedang merampungkan skripsi, yaitu: nikah dengan pasangan mapan yang bisa membuat mereka membakar ijazah bersama toga, lalu leha-leha di rumah mewah.

"Nggak tau dia yang begituan. Lagian gue juga nggak berharap ngerayain, Za." Uli menghela napas. "Cukup lah, pergi bareng setiap akhir minggu, staycation singkat, jalan-jalan."

Kali ini giliran Eliza yang menghela napas.

Usia Hansen dan Uli terpaut tujuh tahun, tetapi untuk Uli tidak ada masalah selama Hansen bisa berkomitmen. Padahal Uli gadis yang hati-hati, masa lalunya cukup kelam untuknya bisa sembarangan memilih pasangan. Namun kali ini berbeda, Uli bisa yakin pada Hansen karena Uli punya Eliza.

"BTW, lo yakin si Hansen sehat? Gue kok khawatir, ya?" bisik Uli, lebih pada dirinya sendiri.

"Sehat, Ul. Kalau nggak sehat gue pasti bilang auranya item," jawab Eliza agak bergumam.

***

Namaku Eliza Septriyasa. Aku punya kemampuan untuk melihat warna aura segala makhluk yang hidup di bumi ini.

Kemampuan ini tidak menempel denganku semenjak aku lahir. Dulu aku hanya punya kemampuan untuk melihat makhluk halus—yang lalu aku hilangkan karena aku ingin hidup damai. Kuabaikan seluruh kehadiran makhluk-makhluk itu, lalu mata batinku berangsur-angsur menutup.

Kukira setelah kemampuan melihat makhluk halus ini hilang, aku bisa hidup damai. Hanya saja, segalanya kembali jungkir balik ketika Darren, cinta pertamaku, bunuh diri di tahun 2015.

Karena tekanan keluarga yang perfeksionis, Darren dipaksa untuk mengikuti kemauan orangtuanya belajar di salah satu SMA International Jakarta. Nama sekolahnya bahkan aku sudah tidak ingat, intinya sekolah itu terkenal elit, tidak semua orang bisa masuk ke sana.

Darren pintar, rajiin, tulus tapi bodoh. Kusebut bodoh karena Darren lebih sering mengutamakan kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaan dirinya sendiri. Hanya kepadaku, Eliza yang sudah menjadi sahabatnya sejak Taman Kanak-Kanak, dia berani menceritakan bahwa sudah sejak lama Darren ingin belajar fotografi. Ia ingin jadi graphic designer.

Entah kapan, tapi aku menyadari ada perubahan dari Darren. Untuk suatu alasan aku bisa melihat pendar hitam di sekeliling tubuhnya, seperti sinar lampu jalanan yang dilihat dari balik jendela buram. Samar dan ternyata hanya aku yang bisa melihatnya.

Awalnya aku mengira aku mengkhawatirkan kondisi Darren setelah gagal masuk SMA yang diinginkan orangtuanya itu. Ia jadi murung, sering bolos, jarang memerhatikan sekitar, dan acuh pada orang-orang terdekatnya, aku entah kenapa jadi sering menangis di malam hari.

Aku tidak spesifik memikirkan Darren, tapi hatiku pedih saja, seperti lazimnya orang yang sedang bersedih pada umumnya. Normal aku sedih saat Darren tidak membaca chat yang aku kirimkan dalam tujuh hari berturut-turut, tetapi aku bukan tipe cewek yang akan menangis hanya karena hal itu sampai meraung-raung.

Beberapa hari kemudian aku tahu alasannya.

Setelah dua puluh empat jam berdiam diri di depan pintu ruangan operasi Darren yang melompat dari jendela kamarnya setelah menenggak pil pereda nyeri dalam jumlah banyak, aku baru sadar.

Aku akan menangis setiap kali ada seseorang yang hendak menemui ajalnya di dekatku.

Setiap kali melihat orang dengan aura hitam, tidak lama sebuah kesialan akan menimpanya. Lalu nyawanya melayang begitu saja. Intinya semua orang yang kukenal dan mengeluarkan aura itu, akan membuatku menangis tidak jauh sebelum hari kematiannya.

"Za!"

Aku terperanjat, lalu menoleh. Mataku langsung bersibobok dengan mata Uli yang tengah memerhatikanku cemas.

"Lo kenapa sih? Gue panggil sampe empat kali, lho!" Uli mencubit pundakku. Aku meringis dan langsung mengibaskan pundakku, menepis tangannya yang kejam.

"Pake masker lo, Ul. Nggak jelas, gue lagi bacain ini," kataku ketus sambil menunjuk tuna kalengan di rak depanku, "gue mau liat gue bisa makan tuna ini nggak? Tau sendiri gue lagi diet."

Aku sudah tidak kaget menemukan Uli memutar bola matanya malas padaku.

"Mau ngambil kecap sama bumbu-bumbu lain gue ke sebelah. Ikut nggak?" tanyanya. Aku menyambar tuna yang sedari tadi kuperhatikan sebelum mengangguk, lalu mengikuti Uli ke lorong sebelah.

"Hah? Iya, memang saya yang kerjakan, Pak."

Aku spontan mengangkat kepala saat merasa suara laki-laki tadi familier di telingaku. Begitu mendongak, aku menemukan laki-laki seumuranku, tengah memilih-milih mi instan dengan earphone terpasang di kedua telinganya.

Aku langsung mendekati pria itu, berjinjit demi menyeimbangkan diri dengan tingginya yang lebih satu kepala, lalu melepas sebelah earphonenya.

"Arga dodol!" bisikku tidak ada romantis-romantisnya.

Lelaki itu terlompat kaget, menjauh dariku sambil menarik earphone-nya lepas. Ia menepuk-nepuk dada sambil menatapku melongo. Perlahan mata pria itu tersenyum lalu ia merentangkan tangannya lebar-lebar sambil mendekatiku.

"Eliza! Ngapain kamu di sini?" tanyanya sambil memelukku. Jantungku langsung berdansa-dansa kecil. Sudah terbiasa dipeluk Arga, ingin lebih sering dipeluk pria itu tapi belum ada di posisi yang bisa minta dipeluk seenaknya.

"Nanem jagung. Ya belanja dong, Arga." Aku tertawa kecil, memancing tawa kecil juga dari pria itu. Ia melepas earphone-nya, lalu memasukkan ponselnya ke saku. Sesaat aku ingin menanyakan nasib telepon penting yang tadi terputus karena ulahku, tapi kurasa itu bukan prioritasku saat ini.

"Kamu sibuk apa sekarang? Masih suka gambar?"

Aku bersyukur kami wajib menggunakan masker, jadi aku bisa leluasa tersenyum di depan Arga. Ia masih ingat! Padahal terakhir aku bilang aku suka gambar itu sekitar empat bulan lalu, dan kami tidak banyak bertemu maupun berkomunikasi semenjak itu.

"Masih, Ga. Gue lagi magang jadi digital marketing sekarang. Lo?"

"Gue lanjut S2 jadinya, Za. Sambil nyari kerjaan tetap. Masih freelance-freelance sekarang, nggak cukup buat bayar bensin." Ia menghela napas, lalu merapikan rambutnya yang sudah riap-riapan ke belakang.

Mataku mengikuti pergerakan tangannya, sejenak terheran-heran mengapa rambut coklatnya bersemu hitam?

Sontak aku terkesiap, merasakan pelupuk mataku menghangat.

"A-Arga," bisikku.

"Hm?" Lelaki itu mencondongkan badan, menatapku sambil menerka-nerka.

"K-kamu mau k-ke mana abis ini?" Aku berdeham, meluruskan tenggorokanku yang mulai tercekat-cekat.

"Pulang, masih banyak kerjaan. Kenapa?" Alisnya bersanding, memerhatikanku yang mungkin kelihatan sedikit panik.

"Aku boleh nginep?"

"Hah?"

Pertanyaan tadi itu spontan, tetapi ini solusiku satu-satunya.

"Iya, aku boleh nginep nggak di apartement kamu? Di kost lagi mati lampu, ada yang konslet. Aku juga ada kerjaan nih," bualku.

Pendar hitam yang membingkai badan Arga terlihat semakin jelas. Bergoyang-goyang bagai bayangan yang siap menerkam lelaki itu dari belakang.

Nggak. Mau gimana juga, gue harus bisa bertindak kali ini. Mereka boleh ngambil siapa pun, selain Arga.

Aku memerhatikan bahu lelaki itu naik sedikit, lalu mengangguk.

"Oke, kalau emang kamu nggak takut bobok seatap sama aku."

***

Setelah mandi, aku berganti baju dengan baju milik adik Arga yang sering berkunjung ke sana setiap akhir bulan. Ini ketiga kalinya aku mampir ke apartement Arga. Masih rapi, bersih menampakkan betapa luasnya apartement itu.

"Ga, gelas di mana ya? Mau minum."

Arga menunjuk lemari yang ada di atas wastafel. Aku langsung berlari ke sana, meninggalkan Arga yang tengah sibuk dengan laptop-nya. Tanganku terjulur ke arah tas yang kusimpan di kursi meja makan, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru. Dari sana aku mengeluarkan dua buah pil, membuka keduanya, dan mengeluarkan isinya masing-masing ke gelas yang sudah aku siapkan.

Kulempar kembali kotak obatku ke dalam tas, lalu dua gelas yang sudah kubawa, kuisi dengan air hangat.

"Nih, Ga. Aku tau kamu sering begadang, vitamin nih. Agak pait, jangan ngomel ya." Aku menyodorkan salah satu gelas di tanganku pada Arga. Lelaki itu mengangkat wajahnya sedikit untuk memberikan tatapannya yang hangat sambil tersenyum kecil.

Mata itu. Mata itu, tatapan itu yang membuatku tahu kalau orang ini adalah sebagian jiwaku yang aku cari selama ini. Mata yang melihat aku sebagai seseorang yang penting untuknya. Melihatku sebagai seseorang yang ia hargai, karena sanggup membuatnya bahagia setiap kali aku ada di sisinya.

Dari mana aku tahu?

Tentu saja dari pendar kuning yang selalu membingkai tubuhnya, berarti ia tengah bahagia, setiap kali tengah bersamaku. Terkadang bercampur dengan pendar hijau atau merah muda, yang berarti dia mencintai aku. Tulus, bukan karena ingin macam-macam atau sekadar posesif ingin memiliki aku seutuhnya.

Aku duduk di tepi tempat tidur Arga, menunggu lelaki itu mengetik sesuatu di laptop-nya sambil menjulurkan sebelah tangan menuju gelas yang aku angkat di hadapannya. Setelah ia mengalihkan perhatian penuhnya padaku, ia mengambil gelas itu.

"Thanks. Kamu selalu kayak gini ya sama orang lain?" tanyanya. Mataku terus memerhatikan gelas yang ia pegang yang tak kunjung ia angkat ke bibir.

"Kayak gini gimana?"

"Peduli banget, perhatian banget." Untuk beberapa saat, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, sebelum kembali menatapku ragu-ragu.

Aku mendengus. "Iya."

Walau aku tidak bisa melihat warna aura Arga karena ia masih diselimuti warna hitam itu, aku bisa melihat kekecewaan yang muncul di matanya, bersamaan dengan bibirnya yang langsung melengkung ke bawah.

"Oh," jawabnya datar, hendak kembali mengangkat laptop-nya ke pangkuan.

"Sama cewek. Sama cowok sih kamu doang."

Arga mengangkat alisnya, lalu ia mendadak salting. Laptop-nya ia tutup, lalu ia pindahkan ke atas nakas sebelum akhirnya menenggak isi gelas yang kuberikan pelan-pelan.

Akhirnya.

"Ga, aku sayang sama kamu."

Mata Arga membelalak, ia langsung menurunkan gelasnya, meninggalkan sisa beberapa teguk lagi di gelas itu.

"Hah? Ulang, Za. Gimana?"

Aku mendengus, menahan senyum. Aku menggelengkan kepala lalu menunjuk pada gelasnya dengan daguku.

"Abisin dulu, baru aku ngomong lagi."

Arga menatapku curiga, tetapi mengikuti titahku. Ia menenggak isi gelasnya sampai habis, lalu cepat-cepat ia simpan gelas kosongnya di sisi laptop.

"Ulang," titahnya, memberikan fokus penuh untuk menatap mataku dalam-dalam.

Aku berdiri, untuk menyimpan gelasku sendiri yang masih penuh di sisi gelas Arga yang sudah kosong.

"Aku bilang, aku sayang sama kamu, Ga. Kamu harus tau, kalau bukan karena kamu hadir di hidup aku, mungkin aku udah mati dari kapan tau." Aku kembali berjalan untuk duduk di depan Arga yang mengikuti aku dengan tatapannya sambil melongo.

"Sayang ... maksud kamu ... lebih dari temen, gitu?" Arga berdeham, menenangkan suaranya yang mendadak terpatah beberapa kali.

Aku mengangguk. Arga mematung dengan mulutnya yang masih agak membuka. Dengan hati-hati, aku meraih jemarinya.

"Ga?"

Arga menggenggam tanganku yang bersentuhan dengannya, lalu tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Ya ampun. Jadi selama ini aku takut-takut maju mundur nggak berani nembak kamu itu sia-sia? Malah keduluan kamu?" Arga menghela napasnya sambil menundukkan kepala, lalu mengacak-acak rambutnya.

"Aku juga sayang banget sama kamu, Za. Tapi kukira kamu nggak mungkin suka sama aku karena banyak yang ngantri buat jadian sama kamu."

Aku mengernyit. "Hah? Di mana yang ngantri?"

Arga menghela napas sekali lagi, menatapku tak percaya lalu mengangkat tanganku ke bibirnya. Ia mengecup ujung jemariku.

"Udah, nggak penting. Jadi, kamu pacarku nih sekarang?" Arga menatapku penuh harap. Aku hanya tersenyum pahit, masih memerhatikan pendar hitam di sekeliling tubuhnya yang tak kunjung pudar.

"I-iya." Aku berdeham, aku tidak boleh terbata di saat seperti ini. "Kalau kamu maunya gitu aku sih ayo."

Aku dapat melihat mata Arga yang mulai sayu, tampak mengantuk berat.

"Iya, jelas aku maunya gitu." Arga berdiri, sesekali menggelengkan kepala untuk mengusir kantuknya.

"Boleh aku peluk kamu?" Ia menarikku berdiri. Aku tidak menjawab, melainkan langsung memeluknya.

Mataku sontak terpejam, menenggelamkan diri dalam wangi khas Arga yang sering kali menghantuiku setiap kali aku baru saja menghabiskan waktu dengannya. Kami tenggelam dalam pelukan satu sama lain, sampai tubuh Arga perlahan merosot. Aku cepat membelokkan tubuh, agar Arga jatuh ke atas tempat tidurnya sebelum melepaskan lelaki itu.

Ia sudah terlelap.

Kupapah satu-satu kakinya yang panjang ke atas tempat tidur, merapikan tubuh lelaki itu sampai masuk ke bawah selimut tebalnya, memastikan ia berbaring nyaman.

Aku duduk di sisi Arga setelah mematikan lampu kamarnya, dan menunggu. Kesunyian menemaniku sampai sisa satu menit di hari ini dengan gelasku di tangan. Begitu waktu menunjukkan hari telah berganti, aku menenggak isi gelasku lalu mengembalikannya ke atas nakas.

Aku membaringkan diri di sisi Arga, menatap kedamaian wajah Arga yang sudah bernapas halus terlelap.

"Happy White Day, Ga. Apa pun yang akan merenggut nyawa kamu hari ini, besok, atau lusa, aku akan tetap ada di sini. Bodo amat kalau kamu sampai harus telat kuliah besok, ataupun telat nyerahin deadline." Aku bangkit duduk, menarik selimut Arga sampai menutupi tubuh kami berdua.

Jam digital Arga yang berkedip-kedip 00:04, serta tulisan "14 Maret 2021" di atasnya tertangkap mataku sekilas. Aku akhirnya kembali berbaring, sambil menatap Arga sebelum kantuk luar biasa dapat menelanku bulat-bulat, berebutan dengan rasa sedih serta nyeri yang juga ingin menelanku.

"Cuma kamu yang nggak akan aku biarin diambil pergi gitu aja."

Karena hadiah White Day yang aku inginkan cuma hadirnya kamu di sisi aku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro