Putih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

CERITA PENDEK
ditulis oleh
Aesyzen-x

❣️❣️❣️

Sejujurnya aku tidak mau melakukan ini. Memberikan cokelat pada seorang pemuda pada tanggal 14 Februari kemarin bukanlah kebiasaanku. Lagipula, menurut perkiraanku semua itu mubazir. Lebih baik makan bakso di kantin ketimbang beli cokelat mahal-mahal. Atau aku makan sendiri cokelatnya.

Terlebih di era sekarang. Indonesia bahkan sedang porak-poranda, perpecahan dua kubu antara presiden dan partai politik baru di tahun 2045 meruntuhkan Nusantara. Valentine juga bukanlah tabiat bangsa Indonesia—aku tidak tahu apakah masih bisa disebut sebagai bangsa atau tidak.

Namun, Illxa lebih dulu mencomot cokelat batangan 15 ribu milikku. Dengan cengiran, dia menyangkalku sebelum kebun binatang lisan menyembur. "Nanti kukembalikan saat White Day, Er," ujarnya santai, menepuk ubun-ubunku dan melangkah keluar kelas.

Itu sudah sebulan yang lalu, dan sekarang sudah Maret. Aku tidak berharap banyak pada Illxa meski sempat merajuk semingguan. Jadi yang kulakukan selama di sekolah hanyalah menyembunyikan wajah di balik lipatan tangan dan duduk di bangkuku yang tersembunyi dari mata pengawas ujian, paling belakang, paling pojok, tersembunyi.

"Ersa ...." Sebuah tangan menepuk ubun-ubunku setengah keras dan sengaja. "Bangun, Bung. Nih, kukembalikan cokelatmu. Yok ke kantin!"

Berat hati, kudongakkan kepala dan menatap pemuda yang hobi nyengir itu. "Kagak basket, huh? Katanya besok turnamen?" tanyaku memandangi cokelat berplastik ungu itu.

"Halah, masih capek. Ntar aja dah, mau makan dulu." Illxa menyelipkan jemarinya di sela jemariku. "Yok, aku nggak mau dunia runtuh karena getaran lambungku."

"Gendong."

"Ih! Ogah!" Namun, tangannya tetap meraih tanganku untuk disampirkan pada bahunya.

Belum sempat tangan satunya meraih kedua tungkaiku, bumi berguncang di bawah kaki kami.

"Serius, Kai(nama panggilannya)?! Kau laper sampe segitunya?!" protesku menguatkan pegangan pada lehernya, berniat mencekik anak itu dengan siku dalamku.

Dia menggeleng. "Bukan aku!"

Sadar diri, aku turun sebelum Illxa sempat mengangkat tubuhku, dan mengikuti arus teman-teman lain yang melongok di ambang jendela.

"Tolong bilang kalo ini masih White Day, Kai," desisku mencengkeram lengan Illxa, menoleh ke samping tanpa mengalihkan pandangan dari atraksi pesawat dan ... tank.

Terhitung tiga pesawat dari timur, membelah langit biru tak berawan. Sementara empat tank menerabas hutan yang memang bertepatan di belakang sekolah kami. Salah satunya berhenti, dan saat itulah kutarik pergelangan tangan Illxa agar segera menepi dari tempat kami berdiri.

Menyibak kerumunan teman sekelas, meninggalkan huru-hara ruang XI IPA 1, langkah kami tergopoh-gopoh menuruni anak tangga. Illxa akhirnya paham apa maksudku memaksanya adu balapan ke lantai bawah.

Satu belokan menukik tajam, aku hampir terpeleset. Di bawah tatapan siswa lainnya, mereka yang tidak paham hanya berjalan penasaran sambil mendekati sisi di mana tank berasal ... tanpa mengetahui bahwa sekolah mereka akan segera diratakan dengan tanah.

"Percuma kita lari, Er! Mereka menyerang dari perbatasan provinsi bagian timur!" Illxa menggenggam tanganku erat, menarikku agar lolos dari pandangan guru dan staf di depan gerbang SMA.

Tidak bisakah aku menikmati White Day sambil makan cokelat dengan mesra alih-alih ditembaki misil?! "Terus mau ke mana? Aku nggak mau mati muda! Apa lagi keselek rudal!" kataku sambil terus berlari, membiarkan peluh terbentuk di pelipis dan membentuk kumis air.

Belakangan, berita mengenai penyerangan ibukota baru memang sedang menghangat. Itulah mengapa kami tahu bahwa provinsi ini benar-benar diserang. Indonesia pecah belah seperti lambang di bagasi pesawat.

Lonceng sekolah dibunyikan, gembar-gembor di tengah kepanikan yang lainnya. Masih bisa kudengar jeritan di belakang sana saat melompati pagar dan mendarat di jalanan aspal sebelah sekolah. Tidak lama suara itu memenuhi panca indraku. Karena setelahnya, tank menembakkan meriam.

Telingaku berdenging, memaksa Illxa menghentikan langkahnya demi menjajariku yang menunduk memegangi kedua sisi kepala. Pening rasanya, asap di mana-mana. Begitu Illxa meraih pundakku, tubuh kami terpental menerobos pagar kayu milik tetangga sekolah.

Bom kedua dilepaskan. Jauh dari kami, di tengah-tengah lapangan, ledakan itu berasal.
Remuk, tubuhku seakan menjadi remahan rengginang di toples kongguan.

"Plis bangun, Er! Aku nggak mau mati sendirian!" Illxa menarikku keluar dari bongkahan batu berukuran sedang.

Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana kondisi wajahku sekarang, tetapi yang jelas segalanya putih. Tidak! Aku belum mati, darah masih merembes membuat bercak merah dari belikat di seragam putih abu-abu milikku.

Tersaruk-saruk merangkak, Illxa tetap membantuku untuk segera berdiri kala telinganya mendengar derap langkah melewati sekolahku yang tinggal namanya saja. Napas hangatnya menerjang lenganku seraya menyeka peluh di leher.

"Apa rencanamu sekarang?" tanyaku berusaha jalan sendiri. Jujur, hingga detik ini saat duniaku porak-poranda sungguhan, aku masih tidak percaya kalau partai politik betulan menghancurkan ibukota. Ini terlalu mendadak dan mengejutkan. Berharap semua ini hanyalah mimpi merupakan tindakan bodoh.

Tak jauh dari kami, warga mulai keluar dari rumahnya dan berlarian ke sebelah barat. Jeritan kembali terdengar, diiringi tangisan anak-anak di ketiak ibu mereka. Para kepala keluarga panik, semuanya panik.

"Sembunyi. Hanya itu. Kita nggak punya senjata bahkan bedil untuk melawan. Temen-temen yang lain bahkan sudah diculik Tuhan!" Netranya nyalang ke sana-kemari. "Tetap berada di sisi timur. Saat mereka pergi ke sisi barat untuk mengejar warga, kita melawan akan arus dan meminta bantuan pulau seberang—"

Amunisi mulai berceceran di udara menyebabkan polusi suara. Kami tiarap, Illxa memberiku aba-aba untuk mengubur diri dengan bukit kerikil.

Satu-satunya caraku bernapas adalah mulut. Hidung sudah dipenuhi cairan berbau besi sejak sekolah meledak. Bernapas pun rasanya mau mati, tersedak debu putih.

Kuambil pecahan pipa paralon, membuatnya menjadi jalur pertukaran oksigen dari bawah timbunan kerikil. Lantas mengubur diriku hidup-hidup sementara di luar sana baku tembak meletus, menembaki warga tak bersalah. Partai komunis itu semakin brutal, menembak sana-sini lupa hari.

Illxa berada tak jauh dariku, berselimut kerikil juga. Jemarinya menggenggam tanganku erat bahkan di bawah kaki salah satu pembawa senjata api.

"Karena ini White Day," katanya, "akan kubalas cokelatmu tiga kali lipat."

"Kalau kau mau keluarin dark jokes, jangan sekarang!" Bisa-bisanya di tengah baku tembak, anak itu santai mengucapkannya padaku?!

Pemuda itu malah terkekeh, enggan membalas geramanku. Malah, mempererat jari-jari kami.

Entahlah, kepalaku mulai pening akibat debu. Pandanganku juga berkabut ... atau cuma perasaanku saja? Tidak ada cahaya lagi dari sisi lain pipa paralon, aku pun lupa sudah berapa lama terdiam di bawah kerikil. Peluh bahkan sudah menjadi adonan lengket bersama serbuk-serbuk putih abu-abu. Orientasi terhadap waktu kian menghilang.

"Illxa," panggilku lirih, mengguncang pegangan tangan kami. "Ormas itu sudah pergi?"

Tidak ada balasan. Illxa sejak tadi hening, tetapi tangannya masih hangat.

"Illxa," ulangku menyebut namanya lebih keras. Tetap tak ada jawaban dari sang empunya nama. Jangan-jangan aku tuli?!

Rencana White Day-ku hancur, negara tengah berperang dengan rakyat sendiri, dan kini Illxa membisu. Lambungku mulai terasa perih, punggungku sakit luar biasa ditimpa reruntuhan, sekali lagi napasku sesak. Semuanya memaksaku menangis, tetapi tetap tak kulakukan itu. Menangis hanya akan memperburuk keadaanku.

Di tengah-tengah euforia hipoksia-ku, tiba-tiba Illxa bangkit. Menyibak semua kerikil dari punggungnya dan mengangkatku ikut serta. Hal yang pertama kali kulihat adalah genangan darah kecil di tempatku bersembunyi tadi.

Lengannya memapahku untuk berdiri, mengusap sudut bibir dan hidungku dari bercak darah. Baru kusadari sumber darah di dahi dan pipinya saat anak itu tersenyum miring seperti biasa. Seragam kami berantakan, putihnya kemeja berubah kelabu sewarna langit sore.

Begitu dua lengan Illxa membawaku dalam dekapnya, aku melihat kehancuran Indonesia dari balik punggung tegap itu. Segalanya tertutup debu putih, bahkan jejak tank tadi serupa bayangan semu di atas salju serbuk magnesium.

Kepalaku masih pening saat Illxa tiba-tiba melingkarkan tanganku di lehernya. Samar-samar kudengar suaranya berbisik di telingaku, "Biarkan ini menjadi balas budiku atas cokelatmu yang hancur di kelas."

Rambutnya memutih, begitu juga milikku. Jelaga bekas pipinya berciuman dengan tanah menyatu dengan debu putih. Entahlah, aku tidak bisa membedakan mana raut wajahnya tersenyum atau menahan sakit. Suara di sekitar bahkan seolah terdistorsi—sepertinya telingaku bermasalah setelah ledakan kencang tadi.

"Kau bisa jalan, 'kan?" tanyanya yang terdengar samar di pendengaranku. "Kita harus pergi, Er. Aku sanggup gendong—"

"Gak," potongku, memperbaiki rambut yang mirip singa kusut bangun tidur. "Aku ikut ke mana kau pergi."

Dia tersenyum lagi. Mungkin aku salah dengar saat dia berkata, "Inilah sebabnya aku suka dirimu yang pemberani." Peduli amatlah. Bukan itu yang penting sekarang. Nyawa kami lebih berharga saat ini.

Kami mulai menyisir pinggiran kota, berjalan kaki tertatih saling menguatkan pegangan agar tidak jatuh. Tidak mesra sama sekali saat kau berjalan melewati puluhan mayat gepeng tak berwujud lagi. Beberapa ditembak mati di tempat dengan dada atau tengah kepala bolong.

Orang tua kami menghilang. Ketika melewati rumahku, tidak ada jasad sama sekali. Padahal ibuku ibu rumah tangga. Ayahku di Jawa, sementara dua orang tua Illxa di Brunei menjadi dokter.

Keadaan semakin berantakan ketika sepatu kami menjejak di tanah putih. Warga pesisir dibantai, tak meninggalkan jejak kehidupan manusia sedikit pun. Bau anyir di mana-mana, darah-darah kering menjadi satu dengan pasir pantai.

Di depan sana, pelabuhan penyeberangan adalah tujuan utama kami. Terlihat pula orang-orang mengambang di laut, kapal-kapal pecah, menyisakan perahu turis kecil tersampir di jembatan kayu pelabuhan.

"Kita harus ke pulau seberang. Minta bantuan di sana, atau pergi ke manalah. Jangan mati di sini," katanya mendramatisir keadaan.

"Jangan alay," komentarku, melepaskan ikatan simpul pada tiang dan turun ke perahu bersama Illxa.

Ada dua dayung di dasar perahu, kami mengambilnya satu-satu dan mulai mendayung menjauhi jembatan kayu. Sampai saat ini, semuanya sesuai rencanaku dan Illxa.

Oh, sudahkah aku bilang pada kalian kalau nasib kami hari ini sangat sial? Karena seorang ormas tengah berdiri memandangi kami dari jauh dengan pistol teracung sehorizon dengan perahu kami.

Tidak sempat kudengarkan suara tembakan itu, karena yang kulihat di depan mataku adalah Illxa yang sudah bercucuran darah, limbung dan jatuh di pangkuanku. Sekujur tubuhku saat itu kaku, tak ayal spaghetti basi di atas piring esensi mati.

Tangisku tak kunjung datang, meski lara kian menendang apa yang ada di dalam dada tanpa sengkawang. Tangannya merengkuhku untuk menunduk, memaksa menciumku meski hanya kepala pucuk.

"Aku pun rela mati syahid membelamu dan Indonesia," bisiknya terkekeh, menyibak helai rambutku perlahan.

Itu kalimatnya yang paling tidak masuk akal dan cringe, tetapi mampu membuatku membasahi pipinya dengar air mata. Aku menangis sejadinya, berteriak tak keruan saat Illxa tak lagi bergerak di pelukanku. Dadaku tak kunjung merasakan detakan dari dada Illxa, karena tanpa menempelkan telinga pun aku tahu, jantung Illxa tak akan pernah berdetak lagi selamanya, barang sedetik saja.

Berkali-kali kutatap wajah pucat kotor debu itu, mengusapnya dengan harapan kelopak mata itu kembali terbuka dan menatapku sehangat biasanya. Namun, yang kutemukan hanyalah keheningan abadi dari sosok Illxa yang periang. Dingin menusuk tulang juga dadaku.

Kini berteriak tak lagi bisa melampiaskan rasa sakit hati. Siapa yang ditembak, siapa yang sakit, tetapi aku masih belum berhenti menangisi kepergian Illxa. Bahkan saat api putih menyala, membakar bagian timur pulau Kalimantan, turut menghanguskan satu bagian penting dari diriku.

Hanya aku sendirian di sini. Sosok yang menembak tadi sudah lenyap bersama munculnya kobaran api putih dari reaksi bubuk magnesium di mana-mana.

Karena hari ini ... Selasa, 14 Maret 2045 menjadi Hari Putih yang ditandai Perang Putih—perang yang menggunakan senjata magnesium—dan diakhiri dengan kobaran api putih, turut menandai kepergian Illxa selamanya bersama warna putih.

~Fin~

*Note Aes:
1. Ada tulisan *semua bisa diakali* di akhir tugas :v dan berhubung saya nggak bisa bikin romance, plot ini pun jadilah.

2. Putih melambangkan kesederhanaan, itulah yang saya gunakan untuk cerita ini.

3. Semua kejadian hanya fiksi belaka :v mari berdoa Indonesia selamanya aman sentosa.

4. Saya buatnya mepet ಡ ͜ ʖ ಡ abis ulangan soalnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro