Secret Crush

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

CERITA PENDEK
ditulis oleh
HalfBloodElf

❣️❣️❣️

Ketika dia menghampiriku di teras sekolah saat itu, aku sudah tahu aku akan jatuh cinta padanya.

Hari itu adalah hari terakhir murid-murid kelas sepuluh dipermalukan dan menjadi babu para senior. Seharusnya pukul empat kami sudah pulang, tapi saat itu ujung jarum pendek di jam dinding sekolah sudah mengarah ke angka lima dan aku masih berdiri di depan pilar bata yang besar, memikul tas kardus—benar, kami disuruh membuat tas kardus sendiri—dan menenteng botol minum berukuran dua liter. Hampir tidak ada siapa pun yang tersisa di sekolah, kecuali mungkin para pengurus MOS yang masih rapat di balik salah satu dinding ruangan dan beberapa guru lewat yang hendak pulang. Lalu tiba-tiba saja sebuah suara menyapa dari sebelahku.

"Halo, kau ingat kan kalau kita sekelas?"

Aku kenal cowok itu. Anak pindahan. Dia bernyanyi di pensi dadakan untuk penutupan MOS tadi, lalu menghibur semua orang dengan permainan gitarnya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, mungkin beberapa senti di atasku, tapi energi yang terpancar darinya melebihi siapa pun yang kukenal sehingga rasanya mustahil bisa mengabaikan sosoknya di kelas.

Tentu saja aku ingat.

"Hayo tebak siapa namaku," godanya sambil menutup badge nama di seragam dengan sebelah tangan.

Jon Leonardo Salim. Nama terbagus yang pernah kudengar.

"Jon?" tebakku pura-pura ragu.

"Betul sekali, Mey," kekehnya. Aku tidak bisa menahan senyum ketika dia memanggil nama pendekku, bukannya 'Meyliana'. Terdengar akrab dan hangat. "Jadi orangtuamu juga lupa menjemputmu."

"Begitulah," jawabku singkat, kemudian hening sejenak. Apa yang harus kukatakan selanjutnya?

"Aku punya teori konspirasi," katanya serius. "Mungkin mereka sengaja menelantarkan kita di sini supaya tidak perlu mengantar kita ke sekolah besok pagi."

Aku tertawa. "Oh, jangan deh. Jangan dengan ransel pemulung ini."

"Tapi keren juga, kan, ranselnya." Dia memiringkan tubuh untuk memamerkan ransel kardusnya yang digambari kartun dengan spidol. "Maksudnya ranselku. Ranselmu sih enggak, soalnya merk Aqua."

"Hei, aku juga bisa membuat yang seperti itu!" belaku tidak terima.

"Masa?" Dia menatapku skeptis di balik kacamata perseginya. "Coba kita tanding. Hias ransel kardus sekreatif mungkin dan besok lihat punya siapa yang lebih keren."

Giliranku yang balik menatapnya skeptis. Saat itu kupikir tidak mungkin dia serius, karena besok seharusnya kami sudah bebas dari tas kardus dan memakai tas sekolah normal (sejak MOS, aku mulai berpikir kita harus menetapkan standar nasional untuk tas anak sekolah).

Tapi ternyata Jon serius.

Keesokan paginya Jon menghebohkan satu sekolah dengan ransel kardus yang ditempeli majalah bekas dan berbagai sticker dan bahkan diberi kantong kecil di depannya. Kuakui, itu sangat kreatif. Saat itu aku merasa bersalah dan ingin sekali membuang ransel kainku ke tempat sampah, lalu merasa semakin tidak enak lagi saat Jon tidak menegurku. Jon mengatakan ke semua orang dengan kekehan santai bahwa dia mengira tas kardus adalah atribut wajib sekolah ini.

Kami hampir tidak pernah berbicara lagi, entah karena Jon mulai dikelilingi banyak orang atau dia masih marah padaku. Bagaimana pun, kami sudah berada di dunia masing-masing walau sekelas. Jon adalah bintang utama kelas, sementara namaku masih sering dilupakan orang-orang. Panggung adalah tempatnya, sementara aku lebih nyaman di perpustakaan.

Apa aku masih memikirkannya?

Tentu saja, setiap saat. Setiap detik ketika aku duduk di sudut kelas, menikmati bekal makan siang sambil diam-diam melirik Jon yang membentuk grup musik dadakan di tengah kelas pada jam istirahat. Ada yang memainkan keyboard, sebagian mengetuk meja atau sekedar menyumbang harmoni. Tapi mataku selalu tertuju pada sosok berkacamata yang memetik senar gitar sambil tersenyum paling lebar di antara mereka.

Tujuh bulan kemudian, menjelang Valentine, sekolah kami merencanakan acara paling konyol yang pernah kudengar. Namanya 'Secret Admirer's Mission', di mana para cowok diharuskan menjauhi lingkungan kelas selama beberapa saat, lalu cewek-cewek meletakkan cokelat di laci meja cowok yang mereka sukai disertai kertas berisi catatan. Kami, para cewek, harus menulis petunjuk siapa pengirim cokelat itu alih-alih nama asli.

Aku bisa saja asal menulis dan meletakkan di mejaku sendiri—tidak akan ada yang tahu. Sudah kurencanakan dengan matang. Membeli cokelat murah, menulis 'Selamat Valentine, Mey. Aku menyayangiku', lalu diam-diam menyelipkannya di laci mejaku ketika acara berlangsung. Mengabaikan gema menyebalkan di kepalaku yang semakin hari semakin kuat.

Jon. Jon Leonardo Salim. Tulis namanya.

Tidak, gelengku. Ini tidak berguna lagi.

Tiga belas Februari, sehari sebelum acara itu, aku mencoba meredam bayangan akan Jon yang semakin sering muncul, dan rasanya itu tidak sekedar bayangan. Tiba-tiba saja Jon ada di jangkauan tatapanku setiap aku melangkah. Saat mengerjakan soal matematika di papan tulis dan kebetulan kami berdua dipilih, saat aku berjalan ke kantor guru dan berpapasan dengannya di pintu, lalu ada masa mendebarkan ketika dia duduk di sebelahku walau sekedar untuk menumpang tempat menulis sementara.

Aku mencoba mengalihkan suasana hati dengan membaca novel horor. Pulang sekolah, segera kulangkahkan kaki ke perpustakaan, mencari deretan rak dengan sampul buku terkelam dan menimbang cerita seram mana yang paling cocok untuk menemani malam ini.

"Kayaknya itu bukan bacaan cocok untuk Valentine."

Suara di belakang nyaris membuatku menjatuhkan salah satu novel setebal kamus besar yang sedang kubaca sinopsisnya. Aku tidak perlu menoleh karena sudah hapal habis dengan suara berat khasnya. Kenapa? Kenapa dia di sini?

"Kenapa kau di sini?" tanyaku spontan, berusaha menyembunyikan kegugupanku.

Jon mendengus sambil mengangkat beberapa buku pelajaran fisika. Entah bagaimana, aku lega karena di balik kedua matanya masih tersimpan tatapan ramah yang sama. "Memangnya perpustakaan hanya punyamu seorang, Mey?"

"Ini istilahnya mirip dengan panggung hanya milikmu seorang," balasku, segera saja kembali merasa seperti ketika kami baru pertama kali mengobrol. Rasanya seperti sudah seabad yang lalu.

"Panggung kan milik semua anggota band."

"Tapi—"

Aku hampir saja mengatakan tapi aku hanya melihatnya seorang.

Jon mengangkat alis, terlihat penasaran. "Tapi?"

"Tapi aku selalu menguasai perpustakaan," dalihku.

"Dasar, Kutu Buku," gelengnya sambil menepuk pelan kepalaku dengan salah satu bukunya, lalu pergi meninggalkanku yang jantungnya hampir jatuh dan menggelinding di atas lantai dan mencipratkan darah di mana-mana—

Baik, aku terlalu banyak membaca film horor.

Dari: Orang yang kau kalahkan dalam tantangan ransel kardus

Pesan: Jon, aku senang sekali kau menyapa dan berbincang denganku walau hanya sekali. Itu adalah sepuluh menit terbaik dalam hidupku. Sepuluh menit yang membekas dalam hatiku sampai saat ini. Aku selalu menatapmu dari kejauhan, mengira-ngira apakah yang kemarin hanya mimpi? Mimpi indah yang kuhancurkan begitu saja karena telah mengecewakanmu? Aku benar-benar minta maaf.

P.s. Aku selalu menyesali hari itu, karena sekarang jika dipikir-pikir lagi menurutku seharusnya aku bisa menang.

Aku membaca pesanku sekali lagi sebelum melipatnya. Semakin lama semakin terdengar seperti gadis putus asa. Tapi aku sudah terlanjur berdiri di sini, di depan mejanya. Kulihat ada tumpukan cokelat di lacinya hingga hampir penuh. Menghela napas pasrah, aku meletakkan cokelatku yang paling kecil dengan kertas pesan yang paling besar di atas lainnya.

Sebagai tindak lanjut dari 'Secret Admirer's Mission', di tanggal empat belas Maret sekolah kami mengadakan acara 'Secret Crush's Mission'. Sebagai gantinya, cowok-cowok yang mendapat cokelat di hari Valentine akan membalas dengan menyelipkan cokelat putih di laci salah satu—atau mungkin lebih, jika mereka kebetulan playboy—cewek yang disukai. Bedanya, para cowok diwajibkan menulis nama pengirim. Jadi jika tebakan mereka benar, dan cewek yang memberi cokelat mendapat balasan ... well, bisa dibayangkan akan banyak pasangan yang lahir di hari itu.

Seharusnya selama sisa Februari dipenuhi dengan tebakan seru siapa yang memberi cokelat kepada siapa, dan siapa yang kira-kira akan mendapat balasan. Lalu jantungku akan berdebar hebat dan diam-diam mencuri pandang ke Jon, mencoba mengira-ngira apakah dia tahu—pasti dia akan tahu. Yang akan menjadi masalahku adalah apakah dia peduli.

Aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk tahu, bahkan sekedar menebak.

Jon mengalami kecelakaan dan meninggal di hari Valentine itu, ketika dia hendak menyeberang jalan sepulang sekolah.

Satu sekolah berduka. Terutama kelasku. Tidak ada satu pun dari kami yang pernah merasakan kehilangan teman sekelas, dan ini bahkan tidak sekedar teman sekelas. Ini adalah Jon, si bintang panggung sekolah. Jam istirahat menjadi masa tersuram dan menyakitkan, di mana sebagian besar murid tampaknya tidak tahan dengan keheningan mencekam dan memilih berada di luar sebisa mungkin. Kelas X MIPA 1 kehilangan mentarinya, dan awan yang bergerak di atas atap sekolah tidak pernah terlihat seputih dulu.

Di upacara pemakamannya, aku memakai ransel kardus. Terlihat konyol, tapi aku tidak peduli. Lagipula tampaknya hampir tidak ada yang menyadari karena semua orang terlalu sibuk menangisi Jon. Seperti biasa, aku duduk di sudut, mengamati keluarganya yang berpakaian putih, lalu ada beberapa murid cewek yang menangis histeris di barisan terdepan.

Tentu saja, dibanding diriku, mereka jauh lebih dekat dengan Jon. Aku menggigit bibir dengan getir, merasa tidak pantas menitikkan air mata. Jon pasti akan bingung jika melihatku menangis—maksudku, memangnya aku siapa?

Saat sampai di depan rumah, kulempar ransel kardus itu ke tempat sampah, merasa gejolak kemarahan yang tiba-tiba muncul dari dalam dada. Seharusnya ini tidak terjadi. Seharusnya kupakai ransel ini di hari itu. Seharusnya aku mencoba memulai percakapan dengannya dari dulu. Aku menjerit, tidak mempedulikan tatapan heran saudara-saudaraku ketika aku memasuki rumah dan membanting pintu kamar. Barulah aku menangis sepuasnya.

Secret Crush's Mission tetap dilaksanakan. Sebagian besar murid tampaknya mulai melupakan kesedihan mereka, lalu pagi ini, tanggal empat belas Maret, suasana kembali mencair oleh bisikan siapa yang akan diberi cokelat oleh siapa. 

Tapi aku membenci hari ini. Aku membencinya lebih dari apa pun.

Bukannya karena aku yakin Jon akan membalas cokelatku, tapi fakta bahwa satu-satunya harapan kecilku telah direnggut membuatku merasa semua ini tidak ada gunanya.

Cewek-cewek terlihat semangat sekali saat memeriksa laci mereka. Aku mendengar pekikan dari tengah kelas, kemudian disusul oleh sorakan heboh saat seorang cowok menghampiri si cewek dengan setangkai mawar tambahan. Selama sisa hari kuhabiskan dengan mencoret-coret sketsa gitar di buku tulis sambil berharap dapat mematikan indra pendengaranku sejenak karena selalu saja ada pekikan dan sorakan di mana-mana.

Suara bel pulang melegakanku. Aku segera membereskan tas, tidak sabar untuk segera angkat kaki dari sini sampai sebuah bayangan di bawah laci mejaku menghentikanku saat hendak melangkah keluar dari kursi. Aku mendapat cokelat.

Perlahan, dengan rasa penasaran tingkat tinggi, kuambil bungkusan cokelat batangan putih itu yang ditempeli kertas di bawahnya. Mungkin ada yang salah menaruhnya di tempatku, atau ada yang salah menebak bahwa aku mengirim cokelat padanya di hari Valentine kemarin. Apa pun sebabnya, yang penting ada cokelat gratis.

Kubuka kertasnya dengan iseng, sekadar ingin tahu siapa cowok malang itu.  Sebuah tulisan yang kukenali menyambut penglihatanku, berefek pada jantung yang hampir copot dan jatuh menjadi kepingan-kepingan kecil.

Dari: Jon Leonardo Salim

Pesan: Aku juga minta maaf. Selama ini kukira kau tidak suka padaku. Kita mulai berteman lagi sekarang?

P.S. Benar, kuakui kau menang dalam tantangan ini. Tas kardus yang diciprati cat terlihat artistik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro