Bab 22 : Pahlawan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanpa Maggie duga, malamnya dia bisa kembali main di kamarnya Deven. Sudah lama rasanya dia tidak berada di kamar berantakan laki-laki itu.

"Terus, waktu pertengahan film, gue perlahan-lahan gerak-gerakin jari gue. Dan... ujung tangan gue udah nyentuh jari dia. Kayak gini nih, kayak gini." Deven mempraktikan pada Maggie bagaimana ujung tangannya dan ujung tangan Stevi saling bersentuhan ketika mereka menonton bioskop bersama. "Terus nih ya, Nyet, gue pelan-pelan nangkep tangan dia. Dan dia juga bales genggam tangan gue." Deven bereaksi dengan girang sambil memeluk guling dan berputar-putar di atas ranjang. Dengan mata malas, Maggie memperhatikan tingkah bodoh sahabatnya itu.

"Kalian terdengar seperti kucing yang kawin setiap tiga minggu."

"Tangan kami saling genggam, Nyet, saling genggam." Deven memperjelas hal yang sudah benar-benar sangat jelas.

Maggie memijat pangkal hidungnya. "Sekarang lo bertingkah kayak orang utan."

Deven terhenti setelah mencak-mencak di atas kasurnya. "Terus nih ya, selain Dani, gue sudah temenan dengan beberapa cowok cakep di sekolah."

Kalau satu itu Maggie tak heran karena Deven cukup rupawan untuk berteman ke sesama orang dengan wajah yang memiliki modal jual.

"Gue udah gak malu-malu lagi ngomong sama cewek-cewek keren kayak Scarlet."

"Itu sih wajar, dia kan pacarnya si Yugo."

"Bukan cuma dia. Gue juga udah bisa bincang-bincang sama Biuret Juliana Johan."

Maggie berdecak merendahkan. "Dia kan inceran Dani. Sudah pasti lo bisa ngomong sama dia."

"Yaah... gue juga beberapa kali ngomong sama Brittney."

Kali ini Maggie terdiam. Gadis itu melirik ke lantai kamar Deven dengan tatapan kosong. "Gue... gue pernah tuh beberapa kali ngomong sama Carla."

"Beneran? Tapi wajar sih, Carla kan temen sekelas kita."

Maggie menatap Deven dalam. "Yeah, sepertinya sekarang lo cuma mau ngomong sama cewek-cewek tenar daripada Cewek Godzila kayak gue."

"Enggak lah. Sekeren-kerennya mereka, lo tetep cewek yang istimewa, Nyet. Setelah Stevi pastinya."

Maggie mengerucutkan bibir mendengar tambahan Deven pada kalimatnya barusan. Deven beralih pada ponselnya yang kembali membunyikan notifikasi Line.

Maggie memalingkan pandangan keluar jendela dengan perasaan kosong. "Njir, ada sesuatu yang mau gue omongin."

"Apa?" tanya Deven sambil menertawai pesan yang ada pada Line-nya.

"Sebenernya Bokap gue—"

"Stevi nelpon, Stevi nelpon!" teriak Deven histeris, membuat Maggie mengerutkan dahi.

"Woy, Njir, gue—"

"Sebentar, Nyet, gue mau angkat dulu. Gue mau angkat dulu." Deven melompat-lompat. "Sebaiknya lo pulang aja deh, takutnya suara lo gak sengaja kedenger oleh dia."

"Hah?"

"Iya, nanti dia ngamuk kalo denger suara lo." Deven seketika menarik tangan Maggie keluar dari kamarnya. Dan anehnya, Maggie tak berontak sama sekali.

"Tapi, Njir..."

"Udah lo pulang gih!" Deven melepaskan cengkramannya ketika Maggie sudah berada di luar kamarnya. "Dah, sampai besok!" Tanpa aba-aba, Deven menutup pintu kamarnya dan mengangkat panggilan telepon dari sang pacar.

Maggie ingin sekali menendang pintu kamar Deven yang tertutup. Tapi rasanya percuma, Deven tidak akan menghiraukannya.

🚭🚭🚭

Hari ini Maggie memilih bergerak sendiri dalam penyelidikannya. Hal ini dikarenakan ia merelakan diri untuk terlambat ke sekolah sementara Kak Yoga tidak. Kak Yoga memberikan kabar tentang Marlion yang bersekolah di Taman Kanak-kanak Waterlily. Maggie sempat kaget dikarenakan Waterlily adalah TK tempat dia dan Deven bersekolah dulu.

"Gue denger TK itu udah pindah cabang," tanya Maggie meminta kepastian. Yoga membenarkan dan memberitahu bahwa TK itu sudah pindah di pusat kota. Dia menyarankan untuk menaiki angkot liar dibandingkan Bus ataupun Damri agar tidak membuang banyak waktu.

Maggie bergegas mengikuti instruksi sekaligus memutus sambungan teleponnya.

"Satu lagi, Mag," peringat Kak Yoga sebelum memutus sambungan. "Berhati-hatilah. Marlion seringkali menyadari keberadaan orang lain di sekitarnya."

"Ah, ayolah dia hanya anak kecil." Maggie tak menghiraukan.

Sepanjang perjalanan menuju taman kanak-kanak itu, detak jantungnya tak karuan. Kenapa harus Taman Kanak-kanak Waterlily? Itu salah satu tempat terbaik dalam hidup Maggie dan Deven karena pada saat itulah mereka berdua saling menyombongkan keluarga masing-masing. Dulu Maggie mengakui bahwasannya kedua orang tuanya dan orang tua Deven sama-sama yang terbaik.

Begitulah setidaknya ketika dia masih kanak-kanak.

Maggie berhenti di depan taman kanak-kanak yang kini sudah menyerupai setengah gedung. Ia kemudian disambut oleh balita-balita yang berlarian dan orang tua mereka. Maggie langsung merapatkan hoodienya dan memasang masker. Ia berjalan perlahan mendekati gerbang. Akan tetapi, ketika menyadari adanya pos satpam, gadis itu langsung memutar haluan.

"Ah, sial! Gimana mau ngintip?" umpatnya seraya mundur perlahan.

Baru saja hendak berbalik, Maggie dibuat membeku. Suara ayahnya terdengar jelas di belakangnya.

Maggie mematung, tak memastikan ataupun melarikan diri untuk merasa aman. Ia hanya diam di tempat dengan detak jantung yang tak karuan dan telinga yang ingin mendengar.

"Nanti pulang, Ibu bawa kamu ke tempat kerjanya. Setelahnya Ayah akan jemput kalian, oke!" Suara ayahnya begitu lembut pada seseorang yang tentunya bukan Maggie. Akan tetapi, Maggie dapat membayangkannya karena itulah yang seringkali ayahnya katakan ketika dia masih TK dulu.

"Oke!" suara anak-anak menjawab dengan antusias.

"Anak pintar." Kini suara halus perempuan ikut menyambung. Setelahnya, terdengar kecupan di kedua pipi sang anak.

Maggie mengepalkan tangan melihat ketiga orang itu yang kemudian berlalu dan berjalan santai di depannya.

"Kamu siap menjadi pahlawan hari ini?" tanya sang Ibu dengan tersenyum.

"Marlion jadi Spiderman." Anak itu memperagakan dalam gendongan sang ibu. Kedua orang tua itu tertawa bersama sebelum kemudian Marlion berpindah ke dekapan ayah.

Ayahnya menangkap Marlion dan menciumnya dua kali. "Kau pahlawan Ayah!"

Tepat ketika mendengar ucapan itu dari ayahnya, Maggie langsung berbalik dan melangkah cepat menjauhi mereka.

Gadis itu semakin mempercepat langkah dan mengencangkan hoodienya. "Gue juga pernah jadi pahlawannya Ayah." Tanpa sadar Maggie bermonolog dengan suara yang gemetar.

Gadis itu menoleh, menatap ayahnya dengan keluarga barunya sekali lagi. Kemudian ia meludah dan melanjutkan langkah menjauh dari tempat itu.

🚭🚭🚭

Karena terlambat, Maggie dijemur di depan tiang bendera sampai selesai jam istirahat. Selama jam istirahat, gadis itu melihat orang-orang yang berlalu lalang melintasinya dan beberapa juga yang meliriknya dengan tatapan sinis.

"Bagaimana penyelidikan tadi?" Kak Yoga datang dengan kekehan geli melihat Maggie mendapati hukuman.

"Menyebalkan. Mereka seperti keluarga bahagia... yang pernah ada," jawab Maggie dengan tatapan kosong.

"Apakah terjadi suatu hal? Lo tampak tidak senang."

"Gue gak senang karena mereka bahagia," jawab Maggie kemudian. Gadis itu membalas tatapan Yoga setelahnya.

Yoga mengangguk pelan. "Sepertinya mereka setiap pagi mengantar Marlion."

"Mungkin kita bisa mencari informasi tentang Mantan Ibu Tiri elo dari bapak lo."

Yoga justru tak terlihat menyetujui hal itu. Dia mengatakan semenjak bercerai, kondisi ayahnya yang lumpuh itu justru semakin parah. Ayahnya sensitif tentang pembicaraan mengenai mantan istrinya.

"Gue gak yakin kita bakal nemuin sesuatu kalo cuma terus ngintain mereka setiap hari. Marlion sekolah, ibu lo dan ayah gue kerja. Kita gak bakal nemuin apa-apa kalo cuma gitu terus."

Yoga menyetujui pendapat Maggie barusan. "Tapi sebenarnya Sarah gak kerja selama dia menikah dengan ayah gue."

"Ya mungkin dia cari kerja waktu mereka udah cerai."

"Itu dia keanehannya," tembak Yoga cepat. "Dia dan ayah gue baru resmi cerai dua minggu yang lalu."

Maggie beku seketika. Rentang waktu yang sama seperti keputusan resmi ibu dan Ayahnya.

Kepala Maggie terasa berputar. Ia melihat orang-orang yang berlalu lalang dengan pandangan kabur. "Itu artinya mereka belum menikah."

*Catatan :

- Pahlawan (KBBI) : orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero

- Bahagia (KBBI) : keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan): -- dunia akhirat; hidup penuh -- \ beruntung; berbahagia: saya betul-betul merasa -- karena dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga


- Bahagia (M) : server error



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro