Bab 28 : Pacaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 Yoga menepati janji dengan membawa Maggie ke rumahnya untuk mencari sesuatu mengenai ibu tirinya. Maggie sudah bertanya pada Yoga kenapa tidak ia cari sendiri sebelumnya. Yoga beralasan bahwa Ayahnya tak pernah membolehkan orang lain menyentuh dokumen-dokumen tentang pernikahan keduanya.

"Terus, sekarang rencananya mau apa?" tanya Maggie bingung.

"Lo pura-pura jadi pacar gue..."

"Hah?!" Penjelasan awal saja sudah Maggie tolak mentah-mentah.

"Dengerin dulu," pinta Yoga menahan diri. "Cuma pura-pura jadi pacar doang kok."

"Gak mau." Maggie menggeleng berkali-kali. "Apapun selain yang kayak gitu-gituan."

Yoga mencibir. Ia kemudian mengungkit ulang tentang pelanggaran Maggie yang melakukan kontak fisik secara langsung terhadap Marlion dan Sarah. Maggie memasang muka masam, mau tak mau dia harus menerima rencana itu.

"Nanti gue ajak bokap ngerjain sesuatu dan lo yang memeriksa berkas-berkas."

"Lha, gue jadi kayak maling?"

Yoga mengiyakan tanpa ragu. Laki-laki itu menjelaskan di mana letak-letak dokumen yang ada di dalam kamar ayahnya tanpa memedulikan wajah kusut Maggie yang sedari awal sudah menampilkan ketidak setujuan.

"Widih, rumah lo boleh juga." Maggie nyengir kuda melihat rumah dua tingkat milik Yoga yang sebelas dua belas dengan rumahnya Deven.

"Udah mau digadein. Rencana mau pindah ke kontrakan," dalih Yoga dengan cepat. "Cewek itu ngambil semua uang bokap."

"Cewek sialan." Maggie menyayangkan rumah sebagus ini harus digadaikan gara-gara wanita tak tahu diri.

Ketika membuka pintu dan mempersilakan Maggie masuk, Yoga langsung menyapa ayahnya. "Yah, aku pulang."

Dalam adegan cepat, Maggie melihat Yoga melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Kemudian laki-laki itu melepas sepatu dan menendangnya, serta menyebar kaos kaki bau di atas sofa. Kebiasaan buruk yang hampir Maggie banget.

Tak lama, seorang laki-laki keluar dari salah satu ruangan dengan mendorong kursi rodanya. "Sudah pulang?" Laki-laki paruh baya itu tersenyum. "Waah, bawa perempuan."

"Ini Maggie, pacar Yoga."

Maggie seketika menyalami tangan ayahnya Yoga dan memperkenalkan diri sebaik mungkin.

"Ayah baru tahu kamu punya pacar."

Maggie kemudian terjebak dalam beberapa pertanyaan personal yang dilontarkan ayahnya Yoga. Beruntung Yoga sigap bantu menjawab.

"Yah, nanti aja tanya-tanyanya, kami harus ngerjain tugas bareng." Yoga mendorong Maggie menuju tangga.

"Jangan tutup pintu kamar kamu," teriak ayahnya dan langsung diiyakan oleh Yoga.

"Ayah lo masih di kursi roda, gitu?"

"Iya, dia sempet stroke, tapi sekarang udah sembuh," jawab Yoga seraya membuka pintu kamar. Maggie melihat isi kamar yang jauh lebih amburadul dari ruang tamu.

"Terus, kalo lo gak di rumah, yang jagain dia siapa?"

"Gaada." Yoga memeriksa sesuatu di lemarinya.

"Bahaya tahu ditinggal sendirian. Kalo ada apa-apa nanti gimana? Dasar anak gak tahu diri," hardik Maggie tanpa mendapat tanggapan lebih dari kakak kelasnya.

Yoga mengeluarkan sekotak rokok dan memberikannya pada Maggie. Setelahnya ia menarik kursi kamarnya selagi Maggie duduk di ranjang dan menghidupkan korek. "Jadi rencananya gini. Nanti setengah jam lagi, gue ngajak bokap gue masak makan malem. Gue bakal bilang ke bokap kalo lo masih nyelesaiin tugas."

Yoga mengeluarkan ponselnya lalu menyetel sebuah lagu.

"Stevie Wonder?" Maggie mengernyit mendengar suara tak asing itu. Yoga mengangguk. "Iya, kadang setiap masak, kami sambil dengerin lagunya Stevie Wonder. Nah, kalo udah denger lagu ini, lo turun ke bawah diem-diem, terus masuk ke kamar bokap. Kamarnya itu ruangan tempat dia keluar tadi, lihat kan?"

Maggie mengangguk. Setelahnya Yoga melanjutkan, "Jarak antara dapur sama kamar bokap deket, jadi jangan buat keributan. Berkas-berkas tentang Sarah sama Marlion mungkin ada dalam nakas deket tempat tidur atau di laci kamar. Pokoknya cari aja deh, pasti ada informasi tentang mereka."

Maggie mengangguk pasti. "Kalo ketemu bukti, kita langsung demonstrasi atau gimana?"

Yoga menggeleng. "Masih lima puluh-lima puluh. Kalo buktinya gak kuat, gue belum bisa ngancem dia. Tapi kalo buktinya kuat, langsung aja kita ancam."

Maggie mengangguk pasti untuk kali kedua. Dadanya tiba-tiba berdetak kencang dan tanpa sebab, ia merasa takut.

Sejak kali pertama Maggie bertemu Marlion, ia memiliki firasat kuat akan satu hal. Satu hal yang mungkin benar adanya. Dan mungkin akan menyakiti hatinya.

Tiga puluh menit sesuai rencana, keduanya langsung melancarkan aksi. Yoga kembali memperingatkan Maggie akan tugasnya dan Maggie turut mempersiapkan diri.

Setelah lagu Stevie Wonder berkumandang ke seluruh sudut rumah, Maggie mulai melangkah dengan hati-hati. Gadis itu mengulum senyum mendengar lagu Lately yang Kak Yoga pilih. "Dasar sad boy." Ia bergumam kecil dan mengulum senyum.

Maggie sempat melihat beberapa gerakan di dapur, sebelum akhirnya dia bisa melangkah menuju kamar yang jauh lebih rapi dibandingkan kandang ayam di lantai dua. Tanpa basa-basi, Maggie langsung menuju nakas. Ia sempat melirik foto keluarga buram yang menunjukkan wajah ibu kandung Yoga sebelum kemudian membuka nakas dengan susah payah.

Dikunci.

God! Thanks!

Maggie melompat kesal. Seketika ia membuka laci dan beruntungnya Maggie menemukan kunci. Ia yakin itu merupakan kunci untuk nakasnya.

Maggie tersenyum dan menutup kembali laci. Akan tetapi, geriknya tertahan. Fokusnya kembali ke isi laci itu dan sesaat ia langsung mengeluarkan seluruh berkas yang ada.

Maggie menemukan sesuatu. Fotokopi akta kelahiran Marlion.

Matanya menatap fotokopi hitam putih dan berwarna secara bergantian, yang pastinya isinya sama.

Matanya melebar. Ketika membaca ulang, detak jantung Maggie terasa mati mendadak. Tangannya yang mulai gemetar, mencoba melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam kemejanya.

Maggie kembali membereskan berkas dan langsung melangkah cepat menuju lantai dua untuk mengambil ranselnya. Secepat kilat, gadis itu kembali menuruni anak tangga dan langsung pergi begitu saja.

"Mag," panggil Yoga buru-buru saat mengetahui Maggie berada tepat di luar rumahnya. "Lo mau ke mana?"

Maggie berhenti dan menghela napas panjang. "Pulang." Ia memaksakan senyum.

"Kok udah mau pulang? Rencananya gimana?" Yoga berjalan kecil mendekati Maggie yang mematung di halaman luar.

Maggie menarik ujung bibir ke bawah dan menggeleng pelan. "Gaada apa-apa. Kayaknya semua berkas udah bokap lo buang deh, gue gak nemu bukti apa-apa, jadinya gue pulang."

Yoga menghela napas panjang dan berkacak pinggang. "Ga ada bukti ya." Nada suaranya terdengar kecewa. Sekali lagi Maggie menggeleng sebagai jawaban.

"Ga ada," tegas Maggie.

Yoga berdecak kesal. "Ya udah deh. Tapi lo juga jangan langsung ngonyor pergi kayak setan, dong. Pamit kek, kasih tahu gue dulu kek. Gue sama bokap udah mau nyiapin makan malem noh, lu ikutan gih."

"Oh..." Maggie memalingkan wajah sesaat ke jalanan. "Gue pulang aja deh, takutnya kesorean." Ia langsung ngonyor tanpa menunggu jawaban Yoga.

Yoga menggeleng pelan melihat kelakuan adik kelasnya itu. "Tuh anak seenak jidat memang."

*Catatan :

- Pacaran (KBBI) : berpacaran

- Berpacaran (KBBI) : menjalin hubungan cinta kasih dengan lawan jenis, tetapi belum atau tidak terikat perkawinan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro