Bab 30 : Sayang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Udah mendingan?" Yoga membantu Maggie duduk dan memberikan air putih pada gadis itu. Maggie mengangguk lemah seraya meminum air yang Yoga berikan. Jam istirahat tadi Maggie makan di kantin, tapi setelahnya muntah. Di dalam kelas dia terlihat seperti orang yang hendak pingsan.

Kiko membawanya ke UKS dan di sinilah Maggie sekarang. Menyebalkan. Untuk pertama kali dalam hidup gadis itu, ia merasa lemah tanpa sebab.

"Lo kenapa sih? Salah makan atau gimana?" Yoga mengernyit khawatir.

Maggie menggeleng. "Gak tahu kenapa. Padahal lagi gak PMS." Tepat pada saat Maggie mengatakan hal itu, darah menstruasi keluar begitu saja dan membuat rok abu-abunya menjadi kemerahan.

Yoga berdiri seketika dan mundur beberapa langkah. "Gue gak pernah lihat cewek PMS yang bener-bener PMS." Laki-laki itu menggeleng takut melihat darah yang merembes dari rok SMA adik tingkatnya.

Maggie menghela napas panjang karena dia harus membersihkan semua ini setelahnya. "Beliin gue roti jepang, dong."

"Kok gue?!" Laki-laki itu masih gelagapan tak mengerti.

"Terus siapa lagi? Kalo gue berangkat sekarang, darahnya bakalan tambah ngotorin lantai." Maggi juga meminta Kak Yoga membawakan tissue yang ada di meja UKS. Gadis itu mengelap darahnya yang mengalir di tempat tidur UKS. Untung saja tempat tidurnya dari kulit sintetis, jadinya mudah dibersihkan.

"Mau beli di mana?"

"Di koperasi ada."

"Udah tutup."

"Hah?!"

Yoga mengangguk mantap. "Ini udah jam pulang. Udah tiga puluh menit yang lalu malah."

Maggie mengutuk dirinya seketika. Berapa lama ia tertidur tadi?

Setidaknya hanya sedikit siswa yang bisa melihat rok-nya nanti.

"Gue minta tolong temen cewek lo aja deh," saran Yoga yang sama sekali tak membantu karena Maggie tidak mempunyai teman cewek sama sekali.

"Kakak beliin deh. Pake motor ke Indomaret. Palingan gue cuma nunggu lima belas menit."

Tak punya pilihan lain, Yoga langsung berangkat membeli apa yang Maggie pesankan. Sementara Maggie mengomeli dirinya sendiri seraya membersihkan noda darah.

Selama jam pulang, UKS sekolahnya tetap dibuka karena banyak siswa yang melaksanakan ekskul. Terutama untuk anak-anak chirs dan basket. UKS dan sekolah benar-benar akan ditutup ketika sekolah sudah menjelang malam dan tidak ada aktivitas lagi.

"Mag, lo ga papa?"

"Astaga! Ngapain lo ke sini?" teriak Maggie pada Kiko yang muncul saat ia tengah membersihkan noda darahnya.

Kiko menelan ludah dan melebarkan mata melihat rok Maggie yang dipenuhi darah. "Lo kenapa, Mag?"

"PMS. Udah, jauh-jauh sana," usir Maggie, tapi laki-laki itu bergeming. "Pergi!" teriak Maggie lagi.

"Lo... butuh gue untuk manggilin anak cewek gak. Untuk nolongin lo gitu."

"Gak perlu. Yang ada gue malah digosipin." Maggie masih sibuk mengelap noda darah pada rok dan ranjang UKS. Setelah noda darah pada roknya dapat dipastikan tidak akan menetes di lantai. Juga setelah memastikan noda yang ada di ranjang tidak terlihat, gadis itu kemudian turun secara hati-hati.

"Yaudah kalo lo gak mau pergi, ambilin gue asoy di samping lemari itu." tunjuk Maggie yang hampir tahu tentang UKS karena sering dijadikan alasan untuk bolos. Setelah mengambilnya dari Kiko, gadis itu memasukkan lembaran-lembaran tissue yang dipenuhi darah.

"Minta air." Maggie kembali menadahkan tangan. Laki-laki itu kebingungan sesaat, tapi kemudian memberikan botol minumnya yang masih berisi setengah air.

Maggie menuangkan air di bagian ranjang yang terkena darahnya tadi. Kemudian kembali menarik puluhan tissue lalu mengelapnya hingga kering.

"Anu..." Kiko kembali bersua.

"Diem!" potong Maggie yang membuatnya kembali menutup mulut. Maggie mengeluarkan minyak kayu putihnya kemudian meneteskan ke tempat yang ia bersihkan tadi. Lagi, ia membersihkan dengan tissue hingga mengering.

"Coba cium, masih bau darah gak?" Maggie mendorong Kiko untuk memastikan bau pada ranjang UKS. Laki-laki itu mendekat ragu-ragu, tapi tetap sedikit mengendus dari jarak tiga puluh sentimeter.

"Bau minyak kayu putih," lapornya.

"Yaudah kalo gitu lo pergi sana," usir Maggie yang bertepatan dengan kembalinya Yoga. Yoga sempat bingung melihat ada laki-laki lain di sana.

"Ini." Ia memberikan kantong belanjaannya pada Maggie.

"Gue mana pernah pake yang ada sayapnya," protes Maggie.

"Ya mana gue tahu. Gue asal ambil. Sana ganti." Yoga mendorong Maggie untuk segera menuntaskan masalah kewanitaannya. Sebelum Maggie menuju toilet, Kiko kembali memanggilnya.

"Apa lagi Kiko-Kikuk?" Maggie merasa harus mulai terbiasa dengan Kiko yang selalu memanggilnya.

Kiko tertunduk dan mengeluarkan roti. "Ini... lo tadi muntah, kan. Pasti perut lo kosong."

Maggie melirik Yoga sekilas kemudian mengambil rotinya. "Makasih," ucap Maggie terdengar seperti paksaan. Setelahnya gadis itu benar-benar pergi.

Kiko melirik Yoga sekilas. "Sore, Kak!" Sapanya sebelum pergi. Yoga membalas sapaan anak itu dan melihat kepergiannya.

"Sepertinya ada yang aneh." Yoga memicingkan mata, kemudian menggeleng langsung melupakan apa yang ada dalam pikirannya. Laki-laki itu menggeleng cepat dan menunggu Maggie di UKS.

Semenara itu, Kiko berjalan cepat dengan pandangan awas menuju ke gedung lapangan basket. Ia melihat keramaian orang-orang latihan dan orang-orang yang hanya menonton. Perpaduan laki-laki bertubuh ideal yang sedang bermain basket kontras dengan para cewek yang tengah berlatih chirs.

Dengan pandangan tertunduk, Kiko berjalan cepat menuju seseorang yang berdiri di ujung lapangan basket.

"Sudah selesai," lapor Kiko pada orang itu.

"Gimana keadaannya?"

Kiko menggeleng. "Dia kayaknya cuma kecapekan... dan menstruasi."

Deven mengembuskan napas lega. "Tapi dia udah baikan, kan?"

Kini Kiko mengangguk. "Udah mendingan."

"Baguslah." Deven menepuk-nepuk bahu Kiko. "Thanks ya, Kiko."

Kiko kembali mengangguk dan izin sama Deven untuk segera pulang. Deven mengiyakan dan laki-laki itu berterima kasih sekali lagi.

"O-iya, rotinya udah lo kasih?" tanya Deven sebelum Kiko melangkah pergi. Untuk kesekian kalinya Kiko mengangguk. "Sudah."

🚭🚭🚭

Malam hari kemudian, setelah mandi dan membersihkan diri, Maggie masih terus menumpah-nyumpahin darah menstruasinya yang mengotori rok abu-abunya. Dia terpaksa harus menggunakan pemutih untuk membersihkan noda itu.

Untuk sesaat, Maggie mengistirahatkan diri dari rasa penat yang benar-benar panjang untuk ia lalui meski banyak dihabiskan dengan tidur. Hubungannya dengan ibunya seperti biasa, bertengkar kemudian saling mendiamkan dan akhirnya berinteraksi lagi. Saat melihat rok Maggie tadi sore, ibunya seakan lupa kalau tadi pagi mereka sempat beradu argumen.

Harus Maggie akui ibunya pintar dalam berpura-pura jika semuanya baik-baik saja. Entah hal itu bodoh atau tidak, Maggie cukup terkesan.

"Kamu sudah cukup besar, huh?" Ibunya membuka pintu kamar Maggie tanpa permisi.

"Mau apa?" sergap Maggie meski sang ibu masih berada di ambang pintu.

Ibunya tersenyum. "Itu ada pacarmu dateng."

"Hah?" Maggie mengernyit seketika dan keluar kamarnya begitu saja. Ia melihat laki-laki yang tengah duduk di sofa menghadap televisi yang menyala.

"Kak Yoga?!" Maggie terlompat kaget melihat keberadaan laki-laki itu.

Yoga tersenyum. Benar-benar manis. "Hai Sayang."

"Idih!" Maggie mendelik.

"Tadi Ibu sempet ngobrol sama dia sebelum manggil kamu." Ibunya ikut menimbrungi keduanya. "Kayaknya Yoga anak baik. Pinter kamu cari cowok."

Maggie mendesah dan memutar bola mata. "Ngapain Kakak ke sini?"

"Galak amet. Kamu lupa ya kalo kita ada janji kencan malem ini."

"Apa?" Maggie merasa seakan pusingnya kembali lagi. Hari belum benar-benar berganti tapi masalah kembali menghampiri.

Ibunya menepuk tangan. "Waah, kalau mau kencan, kamu harus dandan!" Ibunya mendorong Maggie kembali ke kamarnya.

Maggie berontak kesal. "Ibu gak usah sok baik deh di depan orang lain." Ia masuk kamarnya kemudian membanting pintu dengan keras. Sementara itu, ibunya kembali mengajak Yoga bicara.

Dua menit kemudian, Maggie keluar dari kamarnya dengan celana training oblong dan hoodie butut.

"Ayo," ajaknya setengah terpaksa.

Yoga tersenyum. "Aku tungguin kok. Kamu dandan aja dulu."

"Ini udah dandan."

Yoga melebarkan mata melihat penampilan Maggie dari atas ke bawah. "Hah? Gini doang. Gak berubah, masih burik."

Seketika Maggie meluncurkan tonjokkan ke kepala kakak kelasnya itu karena sudah berhasil menghinanya. Ibunya sempat memekik melihat hal itu, tapi Maggie tak acuh.

Saat Yoga masih mengerang kesakitan, Maggie langsung menarik lengan laki-laki itu secara paksa keluar rumahnya.

"Daah, hati-hati ya di jalan." Ibunya melambai dan tersenyum. "Pulang larut malem juga gapapa kok, Mag."

Maggie langsung mendorong Yoga ketika mereka sudah sampai di halaman. "Apa-apaan sih? Kalo mau penyelidikan dadakan bilang dong, kan gue bisa temuin lo di mana gitu. Kenapa harus dateng ke rumah? Udah tahu nyokap gue sinting." Maggie mendesah kesal.

Yoga tersenyum dan menepuk-nepuk kepala gadis itu. "Jangan marah-marah dong, Sayang!"

Maggie seketika menyiku perut laki-laki itu. "Sayang-sayang, palak lo peang." Ia kemudian berjalan kesal menuju motor kakak kelasnya, sementara Yoga mengekori dari belakang.

"Kita bukan mau penyelidikan kok." Yoga melapor ketika mereka sudah sampai di tempat motor yang diparkirkan. "Gue sengaja aja mau ngajakin lo jalan."

Maggie malah mendesah panjang mendengar hal itu. "Gak penting banget. Kenapa gak ajakin pacar aja sih."

"Gue jomlo." Yoga menjawab ringan seraya mengenakan helm. "O iya, menstruasi lo gimana? Udah mendingan?"

"Lo pikir menstruasi itu demam apa?" Maggie langsung menaiki bangku boncengan.

"Lo cuma bawa tas kecil. Gue yakin isinya cuma dompet, rokok, sama pembalut." Laki-laki itu cekikikan di depan seraya menyalakan motornya, sementara Maggie menimpuk kepala yang terlindungi helm itu.   

🚭🚭🚭


Gaada catatan!!! ODOC selesai!!!!

Yeaayy, anyway ceritanya masih lanjut yaaa :"

Semoga masih lanjut juga marathonnya!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro