Bab 34 : Sekop Tangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maggie menghela napas panjang melihat kertas-kertas yang ada di tangannya. Ingin sekali rasanya ia langsung melemparkan seluruh kertas ke keranjang sampah. Akan tetapi, inilah satu-satunya cara untuk survive di sekolah sialan ini. "Menyebalkan."

Saat tepat berada di depan pintu kelasnya, tiba-tiba ada yang memanggil nama Maggie. Seorang perempuan terlihat tengah bersandar di dinding samping pintu kelasnya. Perempuan itu bersedekap menatap Maggie. Sesaat, Maggie teringat siapa dia. Maggie pernah bicara dengannya dan dia adalah kakak kelasnya. Kelas sebelas. Orang yang menyebalkan.

"Apa?" Maggie terdengar jutek.

"Ini." Perempuan itu menyodorkan kertas. "Formulir untuk gabung ke Klub Bela Diri khusus Karate."

Maggie mengernyitkan dahi, kemudian terkekeh. "Apa-apaan ini? Bukannya dulu gue ditolak di Klub Karate?"

Perempuan itu menggeleng. "Sekarang nggak."

"Kok rasanya agak janggal ya." Maggie diam dengan tatapan menyelidik. "Kenapa tiba-tiba lo nawarin gue untuk gabung meski sebelumnya gue ditolak?"

Perempuan itu diam sejenak. Ia kemudian menggeleng pelan. "Lo mau terima kertasnya gak sih? Lama amet."

"Bacot lu."

"Lo pernah ikut Karate, jadinya kami tawari dalam rangka special recruitment."

Maggie melebarkan matanya setelah mendengar jawaban sombong kakak kelasnya itu. Ia melirik ke dalam kelas sekarang dan mendapati Kiko yang ternyata tengah memperhatikannya. "Tahu dari mana lo kalo gue pernah ikut karate?"

Perempuan itu mendadak beku. "Ya... tahu aja."

Maggie seketika mengambil formulir itu dengan kasar. "Makasih, sekarang pergi."

"Gak harus dipaksa kok." Orang itu pergi setelahnya. Maggie langsung masuk ke dalam kelas dengan langkah berat. Matanya menatap tajam Kiko yang saat ini tengah tertunduk dalam. Saat mencapai tempat duduknya, Maggie melirik Deven sesaat.

Deven tengah terbahak-bahak bersama rombongannya saat ini. Maggie menghela napas panjang. Ia meminta Kiko menyingkir agar bisa duduk.

Kiko menatap Maggie sekilas sebelum kembali menunduk. Setelah Maggie duduk, gadis itu meletakkan seluruh formulir yang ada di atas mejanya dan menepuk bahu Kiko kemudian.

"Denger, Kiko-Kikuk, kalo lo berani coba-coba ngajak gue ngobrol lagi, gue bikin muka lo bonyok. Ngerti?" ancam Maggie dalam bisiknya.

Kiko menelan ludah tak tahu harus menjawab apa hingga akhirnya dia mengangguk pelan.

"Jangan sok akrab ke gue kalo lo ngelakuinnya secara terpaksa."

🚭🚭🚭

Ketika jam pulang, Maggie memperhatikan sejenak kesibukan masing-masing siswa. Dia bahkan sempat melihat Deven yang bermesraan dengan Stevi sepanjang koridor ketika jam pulang. Maggie tak habis pikir kenapa jatuh cinta membuat orang menjadi tolol. Kalau memang kebenarannya seperti itu, berarti setiap manusia pernah menjadi tolol.

Kecuali yang tidak pernah jatuh cinta.

Memangnya ada?

Maggie harus mengakui bahwasannya dia salah satunya. Akan tetapi, ketika mengingat lagi lebih dalam, dia kembali ragu.

"Gue tolol dan gue bangga." Maggie tersenyum miring seraya memutar bola mata setelah bermonolog pada diri sendiri.

Maggie kemudian menunaikan ultimatumnya dengan mengunjungi perpustakaan untuk melakukan uji coba sesaat sebelum dia benar-benar menerima jasa volunteer tersebut. Tepat ketika ia masuk ke sana, kepalanya langsung pusing. Ia tak suka bau perpustakaan, baunya seperti... bau orang pintar.

Buku-buku yang disusun secara perfeksionis turut membuatnya sakit kepala. Menyebalkan jika dia harus berkutat membersihkan ruangan besar dengan ribuan buku seperti ini. Matanya berkutat sejenak melihat klub buku yang tengah melakukan kajian. Klub buku biasanya dipersiapkan dalam segala macam perlombaan bergengsi yang dapat mempermudah memasuki Universitas.

Maggie merasa mual dan tak tahan. Ia langsung mengambil ancang-ancang keluar dan langsung menuju atap gedung yang ada rumah kaca dan apotek hidupnya. Seingatnya Klub Sains yang mengelola tempat itu.

Setelah melihat dan memasuki rumah kaca itu, Maggie sempat tercengang, tak memercayai jika ada tempat seperti itu di sekolahnya. Gadis itu sempat melihat seseorang yang tengah membelakanginya, laki-laki yang saat ini sedang menyiram tanaman.

Kiko.

Menyadari keberadaan Maggie, Kiko terperanjat dan mundur sesaat. "Ma—" ucapannya terhenti mengingat peringatan Maggie terakhir kali.

Maggie yang menatap Kiko sejenak mengalihkan pandangannya ke tanaman yang berjejer banyak. Berbeda-beda. Dan Maggie tak yakin dapat mengatasi semua tanaman ini.

Gadis itu mengembuskan napas jengah. "Bagaimana cara menjaga tanaman sebanyak ini?"

Kiko tak menjawab, ia menghindari kemungkinan bonyok di wajahnya.

"Gue tadi tanya, Celeng. Ini gimana cara ngerawatnya?"

Kiko membentuk pertahanan diri dengan ragu. "Gue gak bakal dipukul kan?"

"Untuk sekarang nggak." Tatapan Maggie menajam.

Laki-laki itu menelan ludah kemudian menatap beberapa tanaman dengan bingung. "Anu... lo mau jadi volunteer?"

"Iya..." Maggie memejamkan mata sesaat. "Enggak juga."

Kiko menggaruk tengkuk bingung kemudian mencoba memulai dari yang paling mudah seperti kumis kucing dan lidah buaya. Akan tetapi, baru saja ia hendak memulai penjelasannya, secara tiba-tiba sekop tangan mengacung di depan wajahnya.

Laki-laki itu terlompat kaget melihat sekop yang Maggie tudingkan, sekarang mendekati lehernya. "M-Mag, l-lo mau ap-apa?" Ia tergagap dan lututnya bergetar.

Maggie menatapnya datar dengan tatapan kosong. "Apa yang Deven minta ke elo?" tanya Maggie dingin.

Kiko menelan ludah dan menggeleng. "Gak... ada."

"Masih mau bohong?" Gadis itu menekan ujung sekop tangan yang cukup runcing itu hampir menyentuh kulit Kiko.

"Dia cuma minta gue perhatiin elo, oke?" teriak Kiko seketika.

"Kenapa?"

"Mana gue tahu. Itu sebabnya dulu gue sempet tanya sebenernya apa yang terjadi sama lo dan Deven." Kiko meraih tangan Maggie dengan lembut guna menjauhkan sekop itu.

"Lo gak tanya ke dia alasannya?"

"Dia gak mau kasih tahu."

Maggie diam sesaat. "Kenapa lo mau disuruh kayak gini?"

Kiko menatap Maggie nanar. "Gue gak punya pilihan. Tapi paling gak, cowok-cowok yang lain mau temenan sama gue."

Maggie terkekeh nanar dan memalingkan wajah sesaat. "Sebenernya lo memang punya niat untuk temenan sama gue atau ini sekadar perintah dari Deven?"

Kiko menatap takut. "Mag..."

"Jawab!"

Laki-laki itu menelan ludah. Menghela napas dengan tersendat-sendat "Karena perintah Deven," jawabnya kemudian. "Gue gak mau duduk sama lo dan gue rasa mana ada orang yang mau deket sama lo. Lo itu pengambil alih, semuanya harus sesuai kemauan lo. Lo gak tahu cara minta maaf, gak tahu cara terima kasih, gak tahu pendapat orang lain kayak gimana. Lo tuh gak pernah ngerti perasaan orang karena yang lo rasain cuma perasaan lo sendiri," teriak Kiko dengan tersendat-sendat.

Maggie menatap laki-lakiitu dalam. Ia kemudian secara perlahan menarik tangannya. "Makasih udah jujur."Gadis itu menghempaskan sekop tangan itu ke lantai rumah kaca hingga membuatsuara dentingan yang memekakan telinga. "Setelah ini, minta balik tempat duduklo. Sekaligus bilang ke Deven kalo gue gak akan ganggu dia lagi."

🚭🚭🚭

*Penutup :

Susah nih kalo sama-sama masih peduli. Tapi gemesh juga yaa😆😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro