Bab 44 : Surat Pengunduran Diri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Deven tersenyum sambil sesekali melirik pacarnya. Ia membuat sketsa wajah Stevi yang sedang fokus pada ponsel. Deven langsung diteriaki ketika Stevi menyadari apa yang laki-laki itu tengah lakukan.

"Terlihat seperti psikopat." Stevi bercerita tentang seorang psikopat yang suka mengambil gambar korbannya secara diam-diam dan mengumpulkannya sebanyak mungkin.

Deven tersenyum manis. "Kamu gak suka aku gambar?"

"Suka," jawab Stevi langsung. "Tapi jangan mendadak-mendadak gitu dong. Gimana kalo wajah aku lagi jelek?"

Tak tahan, Deven mengacak rambut pacarnya pelan. "Setiap aku ngelihat wajah kamu, aku selalu terinspirasi."

Stevi tersipu dan mencubit Deven. "Aku tak tahu itu pujian atau bukan."

Setelahnya, Deven kembali fokus pada buku sketsanya selagi Stevi sibuk dengan internet. Ketiga teman Stevi yang duduk tak jauh dari mereka, tengah menunggui Stevi selesai bermesraan dengan pacarnya.

Setiap pagi mereka selalu bersama. Bukan hanya setiap pagi rasanya, tapi setiap saat juga.

"Dev," panggil Stevi seketika. "Akhir-akhir ini kamu kelihatan agak aneh. Kamu kenapa?"

Deven membulatkan mata. "Aneh gimana?"

Stevi mengedikkan bahu. "Kadang aku ngerasa you were not here. Akhir-akhir ini kamu kayak mikirin sesuatu."

Deven menatap pacarnya penuh keraguan. Dia tahu akhir-akhir ini dirinya sering memikirkan Maggie, tapi dia tak ingin membuat Stevi marah padanya lagi. "Aku gak apa-apa. Lagi ada masalah kadang-kadang. Di rumah."

"Your parents?"

Deven menatap Stevi sekilas kemudian mengangguk pelan, saking pelannya hampir terlihat tidak mengangguk sama sekali.

Stevi seketika melingkarkan pelukannya ke lengan Deven dan bersandar di bahu pria itu. "Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke aku kapan saja. Oke?"

Deven mengangguk gusar. Jika saja kenyataannya Stevi menyukai Maggie, maka Deven sudah banyak menceritakan tentang kekhawatirannya.

Beberapa detik setelahnya, Dani menemui mereka berdua. "Dev, ada yang mau gue omongin." Suara laki-laki itu terdengar datar. Deven bangkit seketika dan berjalan mendekati Dani.

Setelah menanyakan perihal yang ingin Dani sampaikan, temannya satu itu justru berbisik padanya. "Hari ini Maggie sekolah."

Deven melotot seketika. "Serius?"

Mendapat respon berupa anggukan dari Dani, Deven langsung izin pamit pada Stevi dengan alasan bel masuk yang segera berbunyi. Stevi mengangguk pelan dan mengintip pacarnya itu melenggang pergi.

Setelah keberadaan Deven hilang, gadis itu memanggil ketiga temannya untuk mendekat.

"Dia bahkan bohong sama gue," lapor Stevi pada ketiga temannya. "Sebenarnya yang lebih penting bagi dia itu siapa sih?"

Ketiganya tak berani menanggapi sampai akhirnya Gilda buka suara. "Menurut gue lo maklumi aja deh, Stev, kalo dia masih sahabatan dengan Maggie. Mereka juga sahabatan udah lama banget."

Stevi menatap Gilda tajam. "Gak sudi." Tolak Stevi begitu saja. "Deven boleh sahabatan dengan siapa aja kecuali Maggie."

"Terserah lo aja kalo lo mau dia bohong terus sama lo."

Lagi-lagi Stevi menatap Gilda tajam. "Sebenernya lo tuh ada di pihak siapa sih? Gue atau Maggie?"

Gilda mengidikkan bahu. "Gue di pihak Deven."

Melihat ketegangan yang semakin menjadi di antara keduanya, Morin langsung menengahi. "Kita harus tenang dan kasih ucapan selamat sama Alge karena dia baru ditembak sama Yuda."

Morin bertepuk tangan riang. Akan tetapi, ketiga teman yang lain hanya menatapnya heran.

"Bukan gue yang ditembak. Cewek lain," celetuk Algerian terhadap kabar miring tentangnya. Morin hanya terdiam dan mengucapkan bela sungkawa.

Suasana hening sesaat sampai akhirnya Stevi meminta sesuatu kepada tiga temannya. "Mana rekaman yang kalian bilang waktu itu."

Gilda mengeluarkan ponselnya dan menyetel rekaman suara Maggie di rumah sakit. "Ini dia sendiri yang minta."

Suara Maggie terdengar jelas tentang permohonannya terhadap Stevi. Stevi mendengarkan secara saksama rekaman suara itu dan tersenyum sinis atas permintaan Maggie padanya.

Ketika baru memasuki pertengahan rekaman, seseorang secara tiba-tiba menyambar ponsel di tangan Gilda.

Keempat perempuan itu terlonjak kaget melihat orang itu menatap mereka dingin.

"Dani?" Gilda berusaha mengambil kembali ponselnya, tapi Dani berhasil menjauhkannya.

Laki-laki itu menatap datar Gilda dan Stevi secara bergantian. Ia mendengarkan rekaman itu sejenak kemudian mematikan rekamannya.

Stevi menelan ludah ketika Dani berjalan mendekatinya dengan tatapan kosong yang mematikan.

"Lo gak akan menang melawan Maggie." Dani berbisik lirih. "Kalau pun menang nantinya, lo gak akan menang secara sempurna."

🚭🚭🚭

Semenjak hari itu, Deven berpikir hubungannya dengan Maggie akan menjadi lebih baik. Namun, dia salah. Maggie justru masih menjauhinya dan bersikap acuh-tak acuh. Dalam beberapa hari, Maggie akhirnya kembali ke sekolah setelah bolos mengurusi ibunya di rumah sakit.

Sekarang Deven sudah kembali ke tempat duduk awalan sesuai permintaan Kiko. Laki-laki itu tak tahu bagaimana cara menghadapi reaksi Stevi nantinya, tapi yang pasti Deven hanya bisa menatap Maggie yang menelungkupkan wajah dan enggan bicara dengannya.

Deven tak berani memulai karena kondisi Maggie saat ini tengah sensitif.

"Hai... lama gak jumpa."

Deven secara tak langsung berterima kasih pada Carla karena berani mengajak Maggie bicara. Gadis itu berdiri di pinggiran meja mereka berdua.

Deven tersenyum dan balas sapaan Carla dengan sama ramahnya. Akan tetapi, Maggie tidak melakukan hal yang sama.

"Mau apa?" tanya gadis itu datar.

Carla tetap tersenyum. "Beberapa hari ini lo gak masuk, kenapa, Mag?"

Maggie menghela napas pelan. "Nyokap gue bunuh diri."

"Ya Tuhan." Carla refleks menutup mulut dengan tangan kanannya. Bahkan, Deven yang ada di samping Maggie turut melotot kaget mendengar Maggie mengatakan hal itu secara gamblang.

"G-gue minta maaf... Mag."

"Gak papa. Gak mati kok." Maggie kembali meminta Carla untuk mengatakan maksud dan tujuannya yang sebenarnya.

Carla melirik Deven sekilas. "Besok anak kelas sepuluh udah mulai Pensi."

"Terus?"

"Kelas kita bikin drama musikal."

Maggie tertawa mendengar hal itu. "Serius? Mentang-mentang kelas kita banyak anak Bahasa sama anak Seni, jadinya buat drama musikal?" Maggie kembali tertawa, tak peduli dengan kedua pasang mata yang tengah menatapnya heran.

"Eh... anu. Kan lo sering bolos dan gak pernah ngebalesin chat akhir-akhir ini. Jadinya lo gak ada peran."

Maggie mengibaskan tangan. "Gue mah terserah. Gak usah peduliin gue, gue gak mau terlibat dalam kegiatan apa pun."

Carla menggeleng cepat. "Nggak, Mag. Sebenernya masih bisa nambahin peran kok kalo lo—"

"Nggak," tegas Maggie sesukanya. "Gue gak mau. Silakan kalian aja, gue jadi penonton."

Tak punya pilihan lain, Carla akhirnya mengangguk pelan dan menerima keputusan Maggie. Setelahnya gadis itu pamit dan kembali ke tempat duduknya.

"Ada peran untuk jadi burung atau rusa kalo lo mau." Deven memberanikan diri berbicara meski keadaannya malah menjadi canggung.

Maggie memalingkan wajah seakan tak peduli.

"Drama tentang apa?" tanya gadis itu tiba-tiba. Meski masih memalingkan wajah, hal itu berhasil membuat Deven tersenyum.

"Hansel dan Gretel."

Maggie mendengus dan terkekeh pelan. "Cerita itu cuma butuh sedikit karakter."

Deven menggeleng cepat dan mengatakan jika dalam drama musikal, segala jenis figuran dibutuhkan untuk bernyanyi. Deven menjelaskan panjang lebar agar dapat terus bicara dengan Maggie meski Maggie sudah tampak mengabaikannya.

"Banyak yang mau jadi Gretel, tapi banyak yang minta Carla meranin si cewek. Gue jadi Hansel." Deven menggigit bibir bawahnya melihat Maggie yang masih tak bereaksi dalam bentuk apapun.

"Gue bakal ngundurin diri jadi Hansel dan pilih jadi binatang juga kalo lo juga ikutan dalam drama ini."

"Cukup." Maggie menatap Deven seketika. "Jangan ajak gue ngobrol waktu lagi di sekolah."

"Tapi...." Deven menurunkan pandangannya dan memutuskan untuk menghadapkan ke depan. Hanya saja, sebelum posisinya sempurna menyampingi Maggie, laki-laki itu menangkap kertas fotokopian di laci mejanya yang sudah gadis itu tanda-tangani.

Merasa penasaran, Deven akhirnya memeriksa kertas itu ketika jam istirahat sudah dimulai dan Maggie sudah pergi meninggalkan kelas.

"Anjir!" Deven terlonjak melihat kertas itu merupakan surat permohonan pengunduran diri.

Laki-laki itu berdiri seketika, tapi secara bersamaan dirinya mematung di tempat karena Stevi saat ini berdiri di depannya dengan mata penuh selidik. Deven gelagapan dan tak tahu harus bilang apa.

"Dev, kenapa lo duduk di sini?"

Deven bungkam, tak tahu harus menjelaskan apa sampai akhirnya Stevi meju mendekatinya dan menarik kertas yang laki-laki itu pegang. Deven hanya dapat membulatkan mata melihat Stevi sekarang sudah membaca tulisan di kertas tersebut.

Namun, beberapa detik setelahnya, seseorang di belakang Stevi kembali menarik kertas itu sehingga kertasnya kembali berpindah tangan. Keduanya mati kutu melihat Maggie yang kini berada di depan mereka.

Maggie memicingkan mata kepada Stevi dan Deven secara bergantian. "Apa-apaan kalian ini?" Ia mengepalkan tangan mengembalikan surat miliknya di tempat semula.

"Lo yang apa-apaan?!" Balas Deven tajam, berhasil membuat kedua perempuan itu terhenti sesaat.

Maggie menegakkan badan, menatap Deven tak kalah tajamnya.

"Kenapa ada surat pengunduran diri?" tanya Deven dengan nada yang begitu dingin. Beruntung saat ini kelasnya hanya diisi oleh mereka bertiga sehingga tidak ada yang perlu merasakan perang dingin ini.

"Ini bukan urusan lo." Jawaban Maggie barusan membuat Deven terkekeh sinis dan memalingkan wajah sekilas.

"Dev, ayo kita pergi." Stevi menarik lengan Deven, tetapi laki-laki itu melepaskannya dan tetap menatap Maggie tajam.

"Memang..." Deven menggertak. "Memang semua hal dalam hidup lo bukan urusan siapa pun. Lo selalu ngelakuin semuanya sendirian, Nyet, gue tahu lo gak pernah butuh bantuan siapapun. Termasuk gue." Deven kemudian menarik tangan Stevi dan membawa pacarnya pergi dari tempat itu. Meninggalkan Maggie yang terpaku di dalam kelas yang kosong.

🚭🚭🚭

*Epilog :

Haloo semuaa🤗🤗🤗
Aku mau ngabarin kalo aku baru aja nerbitin cerpen spin off dari cerita Cigarette nih💃💃 judulnya Miss Beler's Ex

Ceritanya tentang temen-temen sekomplotan Stevi, tapi tokoh utamanya Gilda!

Gilda(gila) banget gak tuh?🤣🤣

Dukung ceritanya yaa! Semoga lolos kompetisi YA😘





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro