Bab 47 : Keonaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 "Deven!" Maggie yang datang terlambat langsung ngegas ketika sampai di dalam kelas. Beberapa siswa yang sedang berdandan dan mempersiapkan diri untuk drama musikal kelas, kaget melihat gadis itu berteriak kesetanan meski sudah biasa.

Maggie menatap orang-orang di kelasnya yang saat ini sibuk. Mereka sudah berdandan totalitas terutama Carla yang terlihat seperti gadis hutan cantik yang tengah tersesat. "Deven lagi di UKS, ambil kotak P3K," jawab Carla dengan mata biru yang begitu menyihir.

Maggie mengangguk otomatis dan mengambil ancang-ancang menuju UKS. Akan tetapi, sebelum dia hengkang, Deven sendiri sudah kembali ke kelas dengan kotak kesehatan di tangannya. "Nyet?"

Maggie terpaku beberapa detik melihat penampilan Deven hari ini. Ia dibuat tidak begitu rapi sesuai tokoh Hansel, tapi auranya sangat menawan.

"Mana kertas pengunduran diri gue?" Maggie setengah berbisik namun penuh penekanan karena tak ingin didengar satu kelas.

"Kok nanya ke gue?"

Maggie berdecak dan memutar bola mata. "Ini lo kan yang kirim? Dan gue tahu kalo cuma lo yang cukup gaje untuk ngelakuin ini."

Deven menatap Maggie dengan alis yang bertautan, setelahnya laki-laki itu menggeleng pelan. "Bukan gue. Kemarin kan lo ambil lagi kertasnya dari gue."

"Lo bisa ambil lagi diem-diem."

Deven menggeleng dan menunjukkan jari tengah dan telunjuknya. "Bukan gue. Serius."

Maggie menggeleng pelan dan hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dia akhirnya pergi dari kelas itu.

Jika bukan Deven yang mengambil, kemungkinan Stevi karena dia yang tahu tentang surat itu. Namun untuk apa Stevi mengambil surat itu? Dia pasti senang kalau Maggie keluar dari sekolah ini.

"Gue justru seneng kalo lo keluar dari sini."

Benar. Jawaban cewek cabe itu setelah Maggie tanyai sesuai dengan ekspektasi Maggie. Maggie menghela napas berat dan menendang pintu kelas gadis itu. Stevi memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya mundur.

"Gue gak tahu siapa, yang pasti bukan gue atau pun Deven." Gadis itu mempertegasnya sebelum kembali masuk ke kelasnya.

"Terus, kalo bukan kalian berdua, siapa lagi?"

"Gue gak tahu. Si Dani mungkin, dia denger rekaman suara lo dan tahu kalo lo bakal pindah."

Maggie melotot mendengar pernyataan itu. Pernyataan tentang rekaman yang ia buat untuk Stevi, malah didengar oleh Dani juga. Maggie tak habis pikir karena Dani bahkan bersikap biasa saja saat kali terakhir mereka bicara.

Maggie mengajak Dani ke halaman belakang sekolah untuk bicara. Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada dan melirik Dani sekilas. "Lo yang nyimpen kertas gue?"

"Kertas apa?"

"Kertas pengunduran diri dari sekolah."

Dahi Dani berkerut dan alisnya bertaut. "Lo mau pindah?"

"Gak usah pura-pura kaget. Bukan Dani banget jadinya."

Dani menggeleng. "Gue serius."

"Gue juga serius," balas Maggie penuh penekanan.

"Kenapa lo mau keluar? Deven gimana?"

Maggie berdecak kesal. "Apaan sih? Gak usah basa-basi, siapa lagi yang peduli sama tuh anak." Maggie menadahkan tangannya. "Balikin kertasnya."

"Gue gak tahu apa-apa, Mag."

"Lha, bukannya lo denger...." Maggie teringat seketika jika Stevi itu orangnya seperti apa. Gadis itu mengepalkan tangan dan menggeram. "Stevi sialan!"

Ia meninggalkan Dani dengan serapah yang terlontar secara kasar dari mulutnya.

Maggie menghentakkan kaki, kemudian duduk sejenak di bangku sekolahnya. Matanya melirik orang-orang yang tengah sibuk berbenah. Kelas sebelas yang berlalu lalang menuju aula, kelas dua belas yang terlihat sibuk di lantai atas, dan kelas sepuluh yang mempersiapkan perlengkapan di lapangan.

Hanya Maggie yang terlihat seperti orang yang tidak punya kesibukan padahal sebenarnya ada. Jika orang yang mengambil sudah tahu tentang Maggie yang akan pindah sekolah, maka dia pasti sudah melihat kertas itu. Hanya saja, cuma Stevi dan Deven yang melihat kertas itu.

Apa mungkin ada orang berpemikiran kritis yang tahu jika Maggie akan menjadi volunteer dan menolaknya untuk memilih keluar dari sekolah ini? Sayangnya tidak ada yang tahu hal itu karena Maggie tidak menemui siapapun di perpustakaan. Bahkan di apotik hidup pun dia....

Tunggu, Kiko tahu akan hal ini.

Maggie langsung berlari kembali ke kelas tanpa berpikir lagi apa alasan dan kenapa Kiko melakukan hal ini. Semuanya terlalu abu-abu dan Maggie tak tahu apa dan kenapa.

"Heh, Kikuk." Maggie menepuk bahu Kiko dan melihat laki-laki itu berbalik dengan kostum rusanya. Seketika Maggie tertawa.

"Ada apa, Mag?" Kiko menunggu jawaban Maggie sampai gadis itu selesai tertawa.

"Lo kayak badut." Maggie menahan perutnya untuk berhenti tertawa. "Mana kertas gue?"

"Kertas apaan? Lo kan belum kasih ke gue formulir volunteernya."

Jawaban polos Kiko membuat Maggie seribu persen tersadar dan yakin jika laki-laki itu tak tahu apa-apa. membentaknya juga percuma, sehingga Maggie memilih tak menjawab apa pun dan pergi begitu saja.

Deven yang saat ini melihat kondisi Maggie tengah kebingungan, akhirnya memilih untuk mendekatinya. "Belum ketemu?"

Maggie menggeleng.

"Coba gue lihat pesannya," pinta Deven dan Maggie menyerahkan ponselnya yang menunjukkan pesan anonim tersebut.

"Orang yang nulis ini adalah orang yang tahu kalo Pak Ansori gak bakal kasih kertas baru." Deven menjelaskan setelah meneliti pesan itu beberapa saat.

"Mana ada lah. Yang tahu itu cuma Bu Bima sama Pak Ansori doang, ya kali gue nyalahin guru." Ucapannya barusan justru memberikan Maggie petunjuk. Tanpa pamit dari Deven, gadis itu langsung ke ruangan Bu Bima dan minta surat itu lagi.

Bodo amat guru lagi sibuk sekarang, yang penting dia dapet tuh kertas baru.

🚭🚭🚭

Maggie dihadang oleh Pak Ansori di ruangan Bu Bima. Gadis itu menatap guru laki-laki itu datar dan menggeram kesal. Kenapa Pak Ansori bisa ada di sini? Gak ada kerjaan aja main keruangan Bu Bima terus kayak anak pacaran.

"Bapak udah bilang, kalo kertasnya hilang, gak bakal Bapak kasih yang baru."

Maggie memutar kedua bola mata dan mendengus kesal. "Bapak kaku banget deh, masak hal kayak gitu doang gak dikasih lagi. Mana ada aturan kayak gitu?"

Pak Ansori tersenyum. "Aturan kayak gitu berlaku untuk siswa spesial seperti kamu."

Brengsek. Maggie baru tahu jika siswa brandal di sekolah ini benar-benar diberi sanksi seberat itu. Wajar aja siswa-siswa brandalnya pada lulus, orang sekolahnya maksain untuk lulus.

"Terserah, kalo gak keluar, saya akan minta surat pindah."

"Boleh." Pak Ansori menyilangkan kedua tangan. "Asal selesaikan kelas sepuluh terlebih dahulu."

"What the..." Maggie hampir saja melayangkan tinjunya di wajah gurunya itu. "Guru macam apa Anda? Bapak pasti menerapkan hal ini juga sama anak bapak yang berandalan itu. Aku kasihan sama dia."

Pak Ansori tertawa. Ia kemudian memberikan nasihat pada Maggie panjang lebar dan Maggie rasa petuah yang diberikan guru itu tak jauh dari hal yang itu-itu saja. Pak Ansori juga menceritakan sedikit tentang kehidupan sang anak yang semakin Maggie dengar semakin belangsak. "Bapak rasa Bapak berniat jodohin dia sama kamu."

"Bagus, jadinya Double Kampret. Gak ada satu pun sekolah yang bakal terima anak kami nantinya." Maggie berangkat dari tempat duduknya dan mulai menyandang tas karena ia merasa tujuannya ke sini tidak akan pernah terpenuhi.

"Mau ke mana? Kamu belum selesai, kan?"

"Mau minggat. Bapak sibuk, kan? Bapak gak bakal kasih saya surat itu." Maggie mundur beberapa langkah. "Ujian udah mulai tuh lima belas menit yang lalu, suara pensi juga udah kedengeran."

"Bapak merasa kamu bakal ngerencanain sesuatu." Pak Ansori berdiri dan bersiap menuju ruang atas yang kedap suara, di mana para siswa kelas dua belas tengah uji nyali.

"Yap. Kalo saya gak bisa keluar dari sekolah ini dengan cepat dan baik-baik, maka saya bakal bikin cara instan dan gak baik." Pak Ansori melotot mendengar hal itu dari Maggie, sementara Maggie mengulum senyum dan ambil ancang-ancang. "Saya bakal... ancurin pengeras suara, mikrofon, alat musik, dan mengacau pansi."

"Eh-eh, Maggie!" teriak Pak Ansori ketika Maggie sudah ngonyor begitu saja. Guru itu hendak mengejar siswinya. Namun keadaan memaksanya undur diri karena dia sudah telat lima belas menit hanya karena meladeni Maggie. Lagipula dia yakin Maggie hanya cari perhatian.

Smentara di lain sisi, Maggie sudah berlari dan tertawa terbahak-bahak menuju lapangan pensi. Kebetulan tongkat bisbol tergeletak begitu saja di dekat lapangan. Gadis itu mengangkatnya dengan pasti, kemudian berjalan pelan menuju lapangan yang ramai.

Ia tersenyum melihat pensi yang saat ini tengah berlangsung.

Penampilan perdana dimulai dari kelasnya, X.IPA.1.

Beberapa orang terlihat kagum karena kelasnya menampilkan drama musikal padahal mereka adalah anak-anak IPA. Maggie menyeringai, apa masalahnya jika anak-anak IPA terasa seperti anak seni?

"Deven gak professional, ih."

Sayup-sayup Maggie mendengar beberapa penonton bisik-bisik mengkritik penampilan Deven.

"Iya nih, padahal tokoh utama tapi malah gak hapal dialog."

Telinga Maggie terasa panas mendengar hal itu. Bacot banget tuh anak-anak sok-sokan mengkritik penampilan orang lain. Palingan juga mereka nanti hanya menampilkan paduan suara.

"Sebenernya dia itu hapal, cuma karena bawa teks terus jadinya dia kelihatan kayak gak hapal." Salah satu siswi menanggapi.

Maggie tersenyum, kemudian melihat penampilan Deven di depannya. Terlihat laki-laki itu benar-benar sedang memegang teks dramanya sambil berlakon.

Karena ini waktu di mana Deven sedang tampil, maka Maggie akan menunggunya selesai terlebih dahulu untuk menghancurkan properti sekolah. Setidaknya Maggie masih berbaik hati sebagai seorang sahabat.

Gadis itu berjongkok di ujung lapangan, melihat Deven yang terlihat luwes meski teks yang di tangannya itu benar-benar mengganggu.

Tapi tunggu... Maggie memicingkan mata sejenak, melihat teks drama yang hanya satu lembar dan dilipat dua. Memang ada yang seperti itu? Atau mungkin itu hanya contekan agar tidak lupa beberapa bait?

Secara otomatis, Maggie kembali berdiri dan berjalan dengan tongkat bisbol di tangannya. Matanya tak berhenti menatap Deven dan kertas yang laki-laki itu pegang.

Siswi-siswi yang melihat Maggie dengan tongkat, langsung menjauh ketika Maggie melintasi mereka.

Mata Maggie melotot dan dahinya berkerut. Dalam jarak yang lebih dekat dia menyadari kalau kertas yang laki-laki itu pegang bukan kertas naskah. Itu surat pengunduran dirinya.

"Woi Bangsat!" Seketika semuanya mengarahkan pandangan kepada Maggie. "Surat gue lo ambil, Anjing lo!"

Maggie berlari menuju posisi diam Deven dan semua siswi di lapangan langsung berteriak histeris.

🚭🚭🚭

*Epilog : 


Arghhh, sumpah Deven ini kayaknya kangen dipukulin Maggie🙈🤣

Kayaknya setelah ini aku gabisa lagi buat tokoh kayak Maggie dan Deven. Maggie mungkin sih bisa, tapi Deven kayaknya the one and only sekali ini aja deh😆

Sayang Deven💖💖


OIYAAA INI PENTING!

KARENA UDAH TINGGAL 1/2 BAB LAGI, JADI KALIAN BISA BACA SPIN OFF CERITA INI DI CERPEN SEBELAH. JUDULNYA MISS BELER'S EX. SEKALIAN NUNGGUIN CERITANYA SELESAI YEKAN🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro