2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Baksonya enak, ya! Andai aja Mia juga ikut makan, tapi sayang dia malah pergi," kata Agnes dengan mulut penuh bakso. Luna hanya tersenyum kecil tanpa berniat menanggapi perkataan Agnes. Luna menoleh ke kursi yang berada di sampingnya. Ketidakberadaan Mia di antara mereka membuat selera makan berkurang. Berkali-kali ia menengok kearah pintu kantin, namun Mia tidak juga tak tiba. Entah mengapa ia merasa khawatir dengan keadaan Mia meskipun ia tahu Mia baik-baik.

"Luna, bakso kamu kenapa masih banyak? Nggak lapar atau lagi enggak enak badan? Apa mau kuantar ke UKS lagi?" tanya Agnes. Luna menggeleng pelan.

"Terus, kenapa nggak dimakan? Nanti mubazir, lho! Kasihan bu Tini, dia udah bikin susah-susah tapi nggak dimakan. Masih ingat pelajaran agama kemarin, kan? Pak Ridwan kan udah pernah bilang kalau mubazir adalah perbuatan yang nggak baik. Kata pak Ridwan menyia-nyiakan sebutir bakso yang telah dibuat dengan bercucuran keringat itu dosa," kata Agnes dengan lagak menceramahi. Luna yang melihat cara Agnes menceramahinya hanya tersenyum kecil dan menyerahkan mangkuk baksonya yang masih penuh ke arah Agnes.

Dengan malu-malu Agnes menolak, namun pada akhirnya ia menerima bakso pemberian Luna dengan wajah berseri. Tanpa banyak basa-basi, semangkuk bakso pemberian Luna telah ludes tak bersisa. Luna yang melihat kelakuan Agnes hanya tersenyum kecil. Sejak awal pertemuan mereka, Luna telah menyadari kebiasaan makan Agnes yang banyak. Ia juga sangat paham bagaimana membujuk Agnes agar tidak marah padanya. Hanya dengan memberikan semangkuk bakso, soto, atau mie ayam, rasa marah Agnes akan lenyap begitu saja.

"Makasih Luna untuk baksonya," kata Agnes dengan muka berseri-seri. Luna menganggukkan kepalanya kemudian mengajak Agnes kembali ke kelas. Tidak ada pembicaraan selama di perjalanan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Agnes tidak sibuk dalam pikiran soal makanannya yang tadi dia simpan di meja apakah masih ada atau tidak, sementara Luna terlarut dalam pikirannya tentang Mia. Bagi Luna, Mia adalah sahabat terbaik. Mia ialah orang yang paling mengerti perasaannya, isi hatinya, termasuk isi otaknya. Terkadang ia merasa heran dengan Mia, ia tidak tahu kekuatan seperti apa yang Mia memiliki sehingga ia dapat membaca perasaan, isi hati, termasuk apa saja yang ia pikirkan.

"Lho, kok kelas kita?" tanya Agnes yang seketika membuyarkan lamunan Luna tentang Mia. Luna menengok ke arah Agnes, kemudian menengok ke arah ke kelasnya. Ia tidak tahu apa penyebabnya sehingga kelasnya dipenuhi oleh kaum Adam. Entah mereka nyasar ke kelasnya atau memang sengaja menyadarkan diri ke kelasnya. Tapi untuk tujuan apa? Masih dengan hati yang dipenuhi rasa penasaran Luna dan Agnes mulai menyusup diantara kerumunan para lelaki.

"Mi-Mia? Lu ngapain sama mereka?" tanya Luna dan Agnes nyaris bersamaan.

"Maaf temen-temen, tapi sebenarnya gue-" Belum selesai Mia menyampaikan jawabannya, perkataannya telah terpotong oleh seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik tubuhnya.

"Mia udah jadi pacar gue, jadi kalian berdua udah nggak ada kekuasaan buat atur-atur dia," potong Leo.

Tangan Luna bergetar menahan geram. Sekuat tenaga, ia mencoba mengendalikan wajahnya yang semakin lama semakin memerah karena marah. Ia merasa telah dipermainkan baik oleh sahabatnya maupun sosok yang amat dibencinya. Ia merasa jika Mia telah menghianati janji tiga peri kecil yang dulu pernah mereka buat, dan menurut perjanjian itu, Mia telah dikeluarkan dari status sebagai sahabat mereka.

"Oh, jadi gini ya cara lo mempermainkan kita, Mia. Jadi lo tadi lari ninggal kita buat ketemuan sama pacar lo? Oh, jadi begini cara lo memutuskan hubungan persahabatan yang telah berjalan selama sepuluh tahun ini. Jadi seperti inikah watak Lo yang sebenarnya?" tanga Luna setengah membentak.

"Nggak gitu, Luna, Gue nggak bermaksud buat melukai perasaan lo ataupun buat memutuskan tali persahabatan kita. Gue bener-bener nggak bermaksud untuk melakukan ini semua," sanggah Mia.

"Lo nggak usah mencoba untuk menghindar dari kebenaran. Lu nggak usah pura-pura nggak bersalah, karena apa yang lo lakuin hari ini sama dengan menghianati janji tiga peri kecil. Jadi, mulai sekarang lo udah bukan siapa-siapa kita lagi. Lo paham?" tanya Luna. Tanpa menunggu balasan dari Mia, Ia segera menarik lengan Agnes meninggalkan Mia yang salah tingkah karena ulahnya sendiri. Entah mengapa Luna merasakan jika hatinya telah hancur dan ini semua karena ulah Mia. Jika ia tahu jika Mia adalah seorang penghianat persahabatan, tidak mungkin ia berteman dengan Mia.

Luna berhenti di depan taman sekolah, semilir angin sepoi-sepoi sedikit membuat dirinya merasa tenteram. Kemarahan sedikit memudar meskipun tidak sepenuhnya. Angin lembut kembali membelai rambutnya, mengirimkan beberapa daun keemasan kearahnya. Luna mengamati daun keemasan itu, setengah dari hatinya senang mendapat daun keemasan itu, namun setengah dari hatinya merasa ketenangan di taman sekolah mulai terusik sejak datangnya daun berwarna keemasan. Luna tidak tahu sebenarnya ada apa dengan dirinya dan daun berwarna keemasan yang kini ada di genggaman tangannya. Ia tahu apa yang membuat daun berwarna keemasan itu mengganggu ketentraman jiwanya.

"Wah! Luna, kamu beruntung bisa mendapatkan daun keemasan itu, pasti sebentar lagi akan ada kebahagiaan yang datang kepadamu!" seru Agnes. Luna hanya tersenyum kecil kemudian menyerahkan sehelai daun yang sama persis dengan miliknya kearah Agnes.

"Wah! Terima kasih banyak, Luna. Kira-kira kebahagiaan seperti apa yang akan menghampiri, ya?" tanya Agnes dengan kegirangan. Otaknya mulai menghalu luas ke angkasa, membayangkan ada pangeran tak berkuda yang menjemputnya untuk pergi berdua ke kahyangan. Agnes yang saat ini tengah terlarut dalam daya halu yang kuat tidak bisa menahan rasa ingin tersenyum sendiri meskipun tidak ada yang lucu, meski ia tahu jika ia bisa dianggap kurang waras oleh orang yang melewati taman sekolah.

"Luna, akhirnya kamu ketemu juga!" seru sebuah suara. Luna menoleh kearah suara, Bu Nina berlari ke arahnya dengan beberapa helai kertas.

"Maaf, Bu, ada apa ya?" tanya Luna penasaran saat Bu Nina telah berada tepat di hadapannya.

"Luna, kamu bisa ikut olimpiade sains tingkat nasional? Tolong ya, Luna," mohon Bu Nina.

"O-olimpiade sains tingkat nasional, Bu? Ma-ma maaf bu saya tidak bisa saya belum pernah eksperimen membuat suatu pertemuan pertemuan yang menarik," tolak Luna.

"Tolonglah, Luna. Dino, perwakilan sekolah yang dijadwalkan akan mengikuti perlombaan sains tingkat nasional tidak bisa mengikutinya karena terserang demam berdarah dan saat ini masih dirawat di rumah sakit. Hanya kamu harapan ibu satu-satunya, tolong ya!" mohon Bu Nina lagi.

"Iya Luna, terima aja. Siapa tahu di tempat lomba kamu ketemu pria tampan, kan lumayan kalo kamu gebet. Itung-itung buat balas dendam ke Mia," tambah Agnes.

Luna hanya terdiam, saat ini ia berada dalam dilema. Ia tidak tahu apa ia harus menerima atau menolak permintaan itu untuk sekali lagi. Ia tidak tahu apa kabar olimpiade sains ini termasuk kabar baik atau kabar buruk. Banyak hal yang tidak ia ketahui, banyak hal yang ia ditakutkan, banyak hal yang ia cemaskan.

"Tolong kamu pikirkan dulu tawaran ibu, dan tolong sekalian isi formulir persetujuan lomba. Terima kasih, Luna. Ibu pamit dulu," pamit dulu pamit Bu Nina. Ia menyerahkan beberapa lembar formulir persetujuan.
Tangan Luna bergetar saat menerimanya. Bu Nina tersenyum kecil kemudian pergi meninggalkan Luna yang masih mematung ditempat.

❤️❤️❤️

"Mama, kaleng susu Radit ke mana ya? Luna cari kemana-mana kok nggak ketemu?" tanya Luna setengah berteriak.

Sejak ia pulang, ia telah banyak di gudang, tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Mama akan sangat marah jika sampai tahu Luna masih mengenakan seragam sekolah meskipun sudah pulang ke rumah.

"Astaga, Luna! Mama sudah berapa kali mengingatkan kalau pulang langsung ganti baju jangan malah kotor-kotoran kayak gini. Lagian buat apa sih kamu repot-repot bongkar gudang? Biasanya pulang sekolah kamu langsung tidur, tapi sekarang kamu malah begini? Sebenarnya kamu itu Luna yang biasanya bukan?" tanya Mama dengan tangan di pinggang.

Luna hanya mengangkat bahu dan kembali membongkar isi kardus yang ada dihadapannya. Mama yang merasa dilupakan berjalan mendekati Luna. Nama merasa ada yang salah dengan putrinya. Entah mengapa ia merasa jika Luna yang kini berada disampingnya bukan Luna yang biasanya. Mama tidak pintar mengira-ngira, oleh karena itu Ia hanya menyerahkannya pada Yang Kuasa. Mama merogoh sakunya ia menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan ke arah Luna. Namun siapa sangka Luna justru menolaknya. Mama terdiam, penolakan Luna semakin memperkuat alibinya jika sosok dihadapannya bukan Luna, putrinya.

"Luna, Mama ke dapur dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa temui Mama di sana," kata Mama yang segera berlalu pergi.

Luna tidak memperdulikan kata-kata mamanya. Tangannya tetap sibuk mencari benda yang dicarinya. Ya terlalu fokus mencari sehingga ia tidak menyadari keberadaan Radit, adiknya. Radit yang tergolong lelaki yang irit bicara hanya memandangi kelakuan tidak biasa dari kakaknya. Ia tidak tahu apa kakaknya sudah tobat dari sifat malasnya atau apa, yang pasti ia merasa tidak percaya akan apa yang kakaknya lakukan.

Jarang sekali yang melihat kehadiran sang kakak di gudang, apalagi sampai membersihkan gudang seperti yang kini kakaknya lakukan. Entah mengapa sebagai seorang adik dari seorang kakak yang pemalas, Ia tidak percaya akan apa yang tengah dilakukan kakaknya. Baginya ini suatu hal yang langka, melihat sang kakak aktif membersihkan gudang yang penuh debu. Namun ada hal lain yang mengganjal pikiran Radit, perilaku kakaknya yang sangat tidak biasa membuatnya merasa rasa penasaran dengan kakaknya. Apalagi kata salah seorang temannya yang merupakan pecinta cerita horor, tingkah seseorang yang sedang kerasukan makhluk halus dapat berubah tiga ratus enam puluh derajat dari sebelumnya.

"Radit, kamu ngapain di sini? Pergi sana, di sini banyak debunya," usir Luna dengan kemoceng di tangan.

"Radit, cuma mau kasih tahu ke kakak kalau mama mau bawa kakak ke psikiater," kata Radit menanggapi pengusiran dari sang kakak.

"Hah, psikiater? Emang kakak sakit apa? Kakak kan sehat-sehat aja," tanya Luna.

"Kata Mama, kakak agak sakit makanya mama mau bawa kakak ke psikiater," jawab Radit dengan polosnya.

❤️❤️❤️


"Agnes, buka pintunya!" perintah Luna sambil terus menggedor pintu pemilik rumah. Namun, tetap saja sang pemilik rumah tidak kunjung membukakan pintu untuknya. Luna semakin panik ia takut mama dan Radit segera menemukannya dan membawanya ke psikiater.

"Tuan putri kenapa bisa sampai ke mari?" tanya Agnes dengan menahan tawa.

Namun, Luna tidak memperdulikan tawa cekikikan Agnes yang mirip dengan tawa nenek sihir, yang pasti ia harus segera bersembunyi dari mama dan Radit. Beberapa saat kemudian setelah Luna menemukan tempat persembunyian terbaik, mobil yang dikendarai Mama dan Radit berhenti di depan pagar. Terdengar suara langkah kaki yang mendekat, Luna semakin menutup tubuhnya dengan tirai. Ia terlalu takut hingga ia tidak sadar jika tirai yang menjuntai ke bawah tetap tidak bisa menutupi ujung jari kakinya.

"Permisi kak Agnes, apa kak Luna main ke sini?" tanya Radit. Luna meneguk ludah. Keringat dingin mulai mengalir. Ia khawatir Agnes menjawab pertanyaan adiknya. Namun, jika itu terjadi Luna tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa agar Agnes tidak memberitahu adiknya tentang keberadaannya.

"Iya, kakak kamu lagi main ke sini, malah baru saja datang," jawab Agnes. Luna menggigit bibir bawahnya. Ia tidak tahu apa sebabnya sehingga Agnes tega memberitahukan pada adiknya tentang keberadaannya. Ia tidak tahu mengapa ia merasa tak percaya lagi pada kedua sahabatnya. Di sekolah Mia telah menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya yang ternyata seorang penghianat persahabatan dan di tempat ini Luna kembali merasakan hal yang sama seperti yang terjadi di sekolah. Berkali-kali Radit, Agnes dan Mama melewati tempat persembunyian Luna. Namun, anehnya mereka justru tampak kebingungan, seolah Luna memang tidak berada di sana. Tidak berapa lama kemudian Radit dan Mama pamit pulang. Mereka tampak kecewa karena tidak dapat menemukan Luna.

"Luna, kamu ngapain di situ?" tanya Agnes tiba-tiba.

"Sembunyi lah," jawab Luna acuh tak acuh.

"Tapi kenapa harus di atas lemari, Luna?" tanya Agnes lagi.
Luna tersentak mendengarnya. Ia menoleh ke bawah, memang benar apa yang dikatakan oleh Agnes. Luna tercengang, ia tidak tahu apa sebabnya sehingga ia dapat berada di atas lemari, padahal sebelumnya ia tengah bersembunyi di balik tirai. Segudang pertanyaan mengumpul di benak Luna. Berdesak-desakan ingin segera dijawab.

"Entahlah," jawab Luna acuh tak acuh. Ia turun dari atas lemari dan segera keluar dari rumah Agnes, tanpa berucap sepatah katapun. Perubahan yang terjadi secara cepat dari Luna tentu menimbulkan kebingungan yang mendalam dalam diri Agnes.

❤️❤️❤️

Luna terduduk bisu di tepi jembatan. Ia masih memikirkan kejadian berpindah tempat yang terjadi secara tiba-tiba. Di satu sisi ia ingin mengetahui kekuatan apa yang membuatnya berpindah tempat dan di sisi lain ia harus memikirkan bahan bagus untuk eksperimen sains-nya. Semilir angin memainkan rambutnya beberapa kali, memperlihatkan kecantikan yang tertutupi oleh wajah sendu. Ia menaruh pandangan ke air di bawah jembatan. Air yang sedang tenang membuat wajahnya terlihat seolah-olah muncul dari dalam air. Luna terus menatap pantulan wajahnya sehingga ia menyadari ada sesuatu yang aneh di rambutnya. Luna tersentak saat mendapati seuntai rambut berwarna putih menodai rambut pirangnya. Jelas, sehelai rambut yang singgah bukan miliknya. Luna terus mengamati rambut itu hingga secara tiba-tiba lenyap dari tangannya. Tidak ada angin yang singgah membuatnya yakin jika bukan angin yang menerbangkan dan menghilangkan rambut itu dari pandangannya. Sesaat kemudian Luna teringat akan kejadian tidak masuk akal yang membuatnya berpindah dari balik tirai ke atas lemari. Entah mengapa ia merasa jika hilangnya rambut itu ada kaitannya dengan perpindahan tubuhnya dari balik tirai ke atas lemari.

"Aku harus bisa memecahkan teka-teki ini," tekad Luna. Tanpa banyak bicara ia bangkit dari duduknya dan pergi ke sebuah bangunan megah dengan hiasan buku di sana-sini namun, sepi akan pengunjung.

Jumlah kata : 2165

Nb : Untuk kelebihan kata, saya sudah bertanya pada salah satu admin di grup dan dia berkata tidak apa-apa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro