Shibal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gila, kamarmu beginian!" sentak Arini terkejut, Gion membawanya sejenak mengambil beberapa buku jurnal miliknya di laci kamar.

Action figure dimana-mana, ada Marvel hinga D.C.

"Bukan punya gue, itu titipan Tito, semua." Ujar Gion malas.

"Lah, kenapa nitip disini?"

"Emang bocah sialan itu anak, dia yang beli tapi dia yang nimbun barang ginian jadi di ungsiin dikamar gue. terpaksa," kesal Gion menjadi kamar penitipan.

"Aku belum liat itu anak, kemana ya adikmu itu?" Tanya Arini kembali, mengingat Tito, anak bungsu yang dulu sering main bersamanya.

"Belum pulang sekolah, paling juga buang-buang duit ke warnet, tapi kalau dia tau lo disini ngacir tuh pulang cepet." Tukas Gion mengajak Arini keluar dari kamarnya usai mendapat apa yang ia cari

Sampai di balkon rumah, sorot mata Arini di sambut sebuah ayunan kayu dengan meja bundar sedang serta sua kursi berjejer bersebrangan dengan ayunan tadi.

Arini mengambil tempat di ayunan tersebut.

"Jadi gue pengen tau dan lihat karakter anak didik lo seperti apa, jelaskan." Perintah Gion.

"Kalau dari fisiknya, manis, kelihatan seperti malaikat lucu, tapi kadang bisa tantrum, kau tau ... ngambek, marah, emosional. Lucunya dulu temannya bilang kalau dia tak se-sensitif itu." Jelas Arini menjabarkan anak berpipi gembil dengan mata se-legam obisidas,

Gion mencatat diatas kertas gambaran anak itu.

"Apa lo tau, ada pemicunya?"

"Kurang tau, hanya yang aku ingat pertama kalinya aku ke sana dia udah ngomel-ngomel perkara pensil warnanya di pinjam temen, yah. Anak terkadang memang tak rela kalau udah sayang sesuatu 'kan."

"Kalau nilai plusnya apa?"

Arini menaikan bahunya sembari berseloroh, "Aku tak tau."

"Jadi, menurut pengamatan gue. Lo sama nih bocah, kurang ada keterikatan emosional." Tebak Gion acuh.

"Sok tau banget sih, kau!" protes Arini tak terima.

"Terus jawabannya apa? Gini deh, lo bilang tadi nih bocah gak kek gini sebelum ada lo, berarti masalahnya ada di lo, ngerti ngak?"

"Kok aku?" ucap Arini tak terima.

"Lo aja gak tau plus nya nih anak apa, berarti lo kurang pendekatan, jadi guru itu bukan cuman ngasih materi bego, tapi juga ngasih inspirasi sama murid." Tutur Gion menceramahi perempuan 30 tahunan, di usia mereka hanya terpaut bulan, membuat Gion merasa lebih nyaman dengan bahasa gaul Gue-elo. Berasa terus muda ala anak ibu kota.

"Jadi, ini aku harus apa?" ujar Arini lesu.

"Ini gue kasih buku jurnal gue, selama jadi vlonter buat ngajaran anak jalanan, ada suka duka gue waktu itu, tapi yang pasti lo harus pendekatan ama nih anak." Beritahu Gion sambil mengetuk-ngetuk cover buku bergambar tarzan.

"Makasih ya, Gin."

"Tapi kalau berhasil harus traktir gue ya, wajib." Tukas Gion nyengir.

Arini menganguk pada lelaki berkulit coklat dengan rambut selalu suka ia gel ke ke samping bergelombang.

"Thank you."

"Yes, Mrs. Grace."

"Okay, aku balik ke aprt, titip salam sama Tito ya, bye." Pamit Arini menuruni tangga berpamitan dengan tante sebelum dirinya menghilang dari daun pintu memasuki pengemudi onlen pesanannya

Arini mengikat helaian rambut mengkilatnya menjadi ekor kuda, pakaian traning dikenakannya membuat dia lebih leluasa bergerak menyelesaikan yoga-nya.

Arini duduk bersila menempelkan pungungnya ke tembok, dengan tangan membaca isi buku pemberian Gion, buku yang mirip curhatan remaja tangung penuh cerita mellow nan lebay, akhirnya terpasa Arini buang rasa geli tersebut.

"Mencari persamaan aku dengan dia?" judul menjelaskan sosok guru yang harus mencoba mendekati siswanya dengan cara menyenangkan.

Arini bertopang dagu, "Apa persamaan aku dengan dia? Masa tukang ngomel-ngomel?" desahnya lemah, "Aku belikan crayon!" cetus Arini langsung.

"Tapi kalau di tolak gimana?" jawabnya sendiri.

Deringan ponsel mengintrupsi kegiatan Arini, nama kontak tertera di sana membuat Arini mengeser kotak warna merah, rasa berangnya tersulut karena sebuah nomor di hafalnya diluar kepala.

"Kenapa dia lagi! Apa tak bosan, aku muak," geramya melempar ponselnya entah kemana, toh masih ada kaca pelindung dan casse ponsel penyelamtnya, jika beruntung.

"Aku harus segera mengalihkan pikiranku sebelum aku terus kepikiran," dengusnya lalu beranjak menuju dapur mencari sesuatu yang ingin ia olah menjadi makanan.

"Salad sama sendwich, boleh juga," ujarnya sembari berdendang lagu sekeras mungkin, menghilangkan perasaan kesal akibat sosok yang mencoba terus menghubungi nomornya.

* * *

"Kau masih kesal dengan gurumu?"

Anna menganguk, dia baru selesai mencurahkan perasaanya pada sang Ayah, Adimas hanya duduk sebagai pendengar yang baik.

"Memang semenyebalkan apa, gurumu itu?"

"Dia gak belain Anna, padahal crayonku mau di patahin stefani."

"Stefani, anak keturunan jepang itu kan?" Anna menganguk membenarkan.

"Tapi guru itu gak tau apa-apa nyuruh kami saling maaf-maafan, I hate!" omel Anna melipat tangan di depan dada.

"Memang Anna belum ngobrol sama bu guru?"

"Susah, gurunya orang bule, pasti dukung Stefani yang blesteran," celetuk Anna polos, padahal Anna sendiri anak campiuran dari mendiang istrinya yang asli china-Australia,

"Kau udah nanya Steani belum kenapa dia kesel sama kamu?"

"Belum, tapi Stefani selalu ganguin, kalau tau barangku dari Mama pasti mau aja di pinjem terus di rusak, kayak tas ku," papar Anna.

Tasnya pernah copot samapai Anna harus menangis semalaman penuh, Adimas dapat mengerti kerinduan anaknya dengan ibunya tersebut, namun istrinya juga memilih melahirkan anak mereka dari pada hidupnya.

"Anna, coba bersikap baik ya, kalau begini ayah bisa sedih loh, mau liat ayah sedih?"

Anna mengeleng, melopat dari kursi memeluk ayahnya erat.

"Anna sayang ayah."

"Kalau begitu coba di bicarakan baik-baik ya," tukas Adimas lembut disamping telinga putrinya.

"Anak Ayah, ngak begini. Anak ayah itu malaikat kecilnya ayah pasti baik," tegur ayahnya.

"Iya, ayah."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro