Chapter 6: Cinta Semerah Buah Apel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Hasta La Vista Romantista! Romantisme, sampai jumpa lagi.'

Dalam cerita lama apel adalah buah suci, seorang pria akan memberikan buah apel pada wanita yang dia cintai, wanita yang menerimanya akan menjadilkan buah apel itu sebagai rasa penerimaan cinta.

Dalam cinta dan revolusi apel memiliki peran tersendiri, apel adalah simbol keabadian yang harus di pahami lewat metapora. Dalam dongeng romantisme Putri Salju mati oleh sebuah apel walau kemudian hidup kembali oleh cinta sejati, romantisme yang manis. Dalam revolusi buah apel memberikan ilham pada Newtown untuk teori gravitasi, tapi Isac Newtown seorang fisikawan, dia bukan orang kiri. Uni Soviet dan tentara merahnya memandang kebun apel jauh di ujung Eropha Barat sebagai ujung dunia yang harus di komuniskan. Turki Ottoman memandang kebun Apel di Yunani sebagai gambaran kebun apel Hesperides yang dijaga oleh Drakon Landon, Herkules harus mengambil apel Hesperides untuk memenuhi 12 tugas dari Raja Tiryns, Herkules adalah Turki Ottoman. Eros melempar buah apel perselisihan di sebuah pesta, dan itu lah yang memicu perang Troya. Perang dan revolusi terjadi karena buah apel.

Lazza masih tidak sadarkan diri, entah apa yang terjadi dengannya? Tapi dia sedang bermimpi, mimpi yang membuatnya harus kembali kemasa lalu, masa lalu yang jauh yang hanya bisa di temui di dalam mimpi. Sebuah mimpi tentang seorang anak perempuan yang membawa sebuah apel merah, anak perempuan yang memiliki rambut hitam bergelombang yang di sisir oleh angin.

"Lazza, Lazza," kata suara yang dibawa oleh angin dan cahaya kemudian di lajutkan oleh rumput-rumput.

Dalam mimpinya Lazza teringat saat dia masih berumurnya baru 14 tahun, saat itu waktu sudah menjelang senja di mana cakrawala membelah matahari seperti setengah apel merah raksasa. Lazza berjalan mendorong sepeda karena ban belakangnya kempes, terlihat dia sedang mengenakan seragam berwarna karamel has seragam anak TK Al-quran, dia baru saja pulang mengaji.

"Lazza, Lazza," kata suara itu muncul kembali seperti bisikan angin Jayapura.

Lazza menoleh kebelakang, saat ini dia berada di jalan kecil, di sisi kanan, dan kirinya di penuhi semak rumput ulat bulu lebih tinggi dari dirinya. Cahaya senja di dalam mimpinya berwarna merah seperti apel merah dan menerpa dirinya. Dia tidak menemukan siapapun saat menoleh kebelakang, di belakang sana hanya senja dan bayangan.

"Laza, Lazza," kata suara itu muncul, namun Lazza tidak mau menoleh, dia terus berjalan sambil mendorong sepedanya.

"Lazza, Lazza," suara itu muncul namun tidak seperti suara panggilan yang tadi muncul, suara panggilan ini lebih menyerupai suara seorang lelaki. Lazza menoleh kebelakang seakan-akan jalan panjang di belakangnya sedang memanggil dirinya.

Saat Lazza menoleh kebelakang dia melihat dirinya saat dewasa, Lazza dewasa dengan seragam hijau has Militer memandang dirinya dengan tatapan lembut di balik kacamatanya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Lazza dewasa.

"Aku baik-baik saja," jawab Lazza.

"Bagaimana kabar Lipi? Aku sangat merindukannya."

"Dia juga baik-baik saja."

"Tolong jaga dia."

"Lazza, Lazza," kata suara anak perempuan, telihat sosok anak perempuan berusia 15 tahun mengenakan baju berwarna kelabu dan rok hitam muncul dari arah depan, dia melambaikan tangan ke arah Lazza, dia adalah Lipi Margaret teman Lazza saat kecil.

"Lipi," kata Lazza dewasa yang memandangnya dengan tubuh gemetar dan matanya memerah karena ingin menangis.

"Lazza," kata Lipi mendekati Lazza, dia sepertinya tidak bisa melihat kehadiran sosok Lazza dewasa.

"Kenapa kau kesini? Bukankah hari ini kauada kebaktian?" tanya Lazza.

"Iya, tapi sudah lama selesai jam 5 sore tadi. Oh iya, sehabis kebaktian para suster membagi-bagikan buah apel, aku mendapatkan buah apel yang paling besar dan paling merah, buah apel ini untukmu."

"Tapi inikah buah apel untukmu. Untukmu saja ya, lagi pula aku lebih suka buah seperti Matoa."

"Ini untukmu, hari ini kaukan ulang tahun."

"Hari ini 6 Juni ya? Ya ampun aku lupa hari ini ulang tahunku."

"Selamat ulang tahun Lazza. Buah apel ini hadiahku untukmu. Eh Lazza tau tidak, Bapak Adam memberikan buah apel kepada Ibu Hawa sebagai sebuah janji cinta mereka."

"Benarkah, guru mengajiku tidak pernah menceritakan itu. Bagaimana kalau apel ini kita makan sama-sama."

"Eh Lazza, tau tidak, aku sangat sayang padamu?"

"Apa maksutmu Lipi?"

"Apel ini buktinya, buah apel ini sebagai janjiku padamu."

Lazza dan Lipi terus berjalan pulang ke arah barat, dimana bayang-bayang senja di langit seperti sebuah pohon apel yang merunduk karena keberatan buahnya.

"Lipi, Lipi," kata Lazza mengingau memangil nama Lipi. "Maafkan aku Lipi," kata Lazza mengingau lagi denga air mata berlinang keluar dari matanya yang terpejam. Ada kesedihan dan kerinduan yang sangat dalam pada dirinya untuk Lipi Margaret.

Dia terus mengingau tiada henti memanggil-manggil nama Lipi sambil menangis, air mata itu berjatuhan karena cinta. Air mata dan cinta adalah simbol romantisme yang suci, namun revolusi memandang air mata dan cinta sebagai pembelok dan melemahkan perjuangan, revolusi mengutuk romantisme, berusaha menghapusnya dari sejarah.

Lazza tiba-tiba terbangun, matanya terbuka, dan wajahnya basah oleh air mata kerinduan pada teman masa kecilnya sekaligus wanita yang paling dicintainya. Lazza akhirnya tersadar, dia melihat dirinya ada disebuah rungan serba putih has warna kesehatan. Dia terbaring tanpa selimut di sebuah ranjang, didekat kakinya ada seorang pria berkepala botak seperti permukaan buah apel yang licin, dokter itu bertubuh kurus dengan mengenakan jubah putih has petugas medis, mungkin dia seorang dokter pikir Lazza.

"Dokter, apa kaumelihat semuanya? Tentang igauanku tadi?" tanya Lazza sangat khawatir.

Dokter itu tidak mepedulikannya, dia melepas celana Lazza dengan tangan kirinya, namun karena terkejut Lazza secara refleks menarik pistol dari sabuknya dan mengarahkanya ke arah kepala sang dokter itu, seperti ingin membidik buah apel langsung dari pohonya.

Selain melepas celana Lazza si Dokter juga memegang gunting operasi yang terbuat dari perak ditangan kanannya, gunting itu diarahkan oleh si Dokter tepat di selangkangan Lazza.

Lazza terkejut dan berteriak, "apa yang mau kaulakukan?! Apa kauakan mengamputasi anuku?!"

Si Dokter terkejut dan melihat kearah Lazza yang sudah sadar.

"Tenang, tolong tenang. Saudara tentaraku yang revolusioner, ada apa dengan saudara tentara? Saya hanya ingin menolong saudara tentara," kata dokter itu menenangkan Lazza.

Lazza marah dan mengarahkan pistolnya ke arah Dokter. " Pergi dari sini! Sekarang!" bentak Lazza mengusirnya.

Si dokter itu dengan ketakutan dan cepat-cepat pergi meninggalkan ruangan Lazza tanpa bicara apapun.

"Setan apel!" maki Lazza lagi. "Celanaku malah di bawa!" kata Lazza marah saat Dokter itu keluar tidak sengaja membawa celana Lazza. Lazza merasa kepalanya pusing, dia ingin mengejar si Dokter untuk mengambil celanannya, namun kepalanya sunguh sangat berat, jadi dia hanya bisa berbaring di ranjang tanpa celana, dari pada seorang tentara kini dia lebih mirip artis film bokep.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro