1.a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mendung begitu pekat. Pertanda hujan akan turun dengan lebat. Seolah sudah dibisikkan oleh alam, wanita yang baru saja berdiri itu menengadah, dan melihat langit telah disesaki banyak awan kelabu. Mirip gumpalan kapas bernoda tinta.

Dia sekali lagi menatap makam kedua orang tuanya yang berdampingan. Dalam hati berdoa, mereka tenang dan telah damai bersama Tuhan. Dia pun berharap suatu saat nanti bisa bersama mereka lagi di alam-Nya yang kekal, tanpa pernah memikirkan rasa sakitnya kehilangan seperti di dunia.

Nirma bergegas meninggalkan area pemakaman. Sejatinya, dia tidak menyukai kesuraman di tempat ini. Tempat terkuburnya banyak jasad bukanlah hal yang mengenakkan untuk berdiam diri berlama-lama. Nirma seakan masih bisa merasakan jiwa-jiwa mereka yang mati masih berputar di sini. Terjebak dalam ruang antara awal dan akhir. Menunggu waktu bagi para jiwa yang tersesat untuk menampakkan diri ketika malam mulai merayap.

Begitulah cerita yang kerap didengarnya dahulu, sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Pada saat itu teman-temannya sering bercerita tentang penampakan hantu, maupun arwah penasaran yang menuntut balas. Namun, kenapa sekarang orang tuanya tidak menjadi arwah penasaran dan menuntut balas?

Tujuh tahun lalu, rumah keluarganya habis terbakar. Nirma tidak ikut menjadi korban, karena kebetulan dia sedang tidak ada di rumah. Nirma hanya bisa menjerit histeris begitu melihat jasad kedua orang terkasihnya yang sudah hangus dan menghitam serupa jelaga. Menurut hasil olah TKP pihak kepolisian, ada orang yang sengaja membakar rumahnya dengan bensin. Bahkan ditemukan pula fakta kalau kedua orang tuanya sengaja dibakar hidup-hidup. Mereka terperangkap di dalam kamar yang dikunci dari luar oleh si pelaku.

Sayangnya, hingga saat ini kasus tersebut belum juga menemukan titik terang. Sang pelaku pembakaran rumahnya masih berkeliaran bebas di luar sana. Pada akhirnya hanya menyisakan Nirma yang harus hidup sendirian. Namun, setidaknya dia masih punya Arka.

Nirma tersenyum melihat lelaki itu berdiri menunggunya di bawah pohon flamboyan.

"Sudah?" tanya Arka sambil merapikan helaian rambut Nirma yang bersilangan di depan wajah.

Nirma mengangguk. Selama dua tahun belakangan ini, dia tidak pernah sendirian lagi kala berkunjung ke makam orang tuanya. Ada Arka yang selalu menemaninya, yang tetap memberikan keleluasaan privasi ketika Nirma ingin sendiri menyapa makam orang tuanya.

Arka menggenggam tangan Nirma. Sepasang kekasih itu kemudian melenggang pergi. Meninggalkan kesenyapan di belakang mereka.

"Mau ke mana lagi, Sayang?" tanya Arka begitu sudah duduk di dalam mobil. Lelaki berkacamata minus itu lalu menyalakan mesin mobilnya. 

"Aku mau langsung pulang aja," jawab Nirma.

"Nggak mau sekalian makan dulu?"

Nirma menggeleng. "Aku kayaknya mau flu, Ka. Kepala aku rasanya udah mulai pusing."

"Kalau gitu kamu harus makan dulu."

"Nanti aja."

"Kalau kamu telat makan, itu malah bikin kamu tambah sakit."

"Aku lagi nggak nafsu makan. Nanti aku makan roti aja dulu."

"Makan dulu," desak Arka. Raut wajahnya tampak tidak suka mendengar tanggapan Nirma.

"Nggak, Ka." Nirma tetap menolak. Namun, Nirma baru menyadari ekspresi wajah Arka yang tidak menyukai tanggapannya.

"Kamu seharusnya nurut apa kata aku, Nir." Kali ini suara Arka terdengar dingin. Mesin mobil langsung dimatikannya.

Ada jeda yang tiba-tiba membuat udara di sekeliling Nirma menjadi sesak. Dia tahu seharusnya jangan sampai membantah kekasihnya. Namun, Nirma terlambat menyadari kalau penolakannya telah memicu sesuatu yang buruk.

Tangan Arka langsung mencengkram pangkal rambut Nirma dan menariknya ke belakang dengan kuat.

"Aaahhh ... sakit, Ka!" Nirma menjerit kesakitan. Kedua tangannya berusaha melepas tangan Arka, tapi segenap tenaga wanita itu tidak bisa melawan kekuatan yang lebih besar darinya.

"Dasar jalang nggak tahu diuntung!" bentak Arka. "Kalau kamu merasa nggak enak badan, ya makan!"

Arka tetap tak mau melepas cengkramannya. Tangannya yang lain bergerak mencubit bagian bawah ketiak Nirma dengan keras.

"Arka sakit!"

"Sakit, kan? Biar tahu rasa kamu. Perempuan tolol!"

Tindakan kasar Arka semakin bertambah. Dia menarik kencang rambut Nirma mendekat ke arahnya. Seketika itu juga dia memukul punggung Nirma.

Nirma merintih kesakitan. Akan tetapi, Arka tidak peduli dan masih melancarkan pukulannya lagi.

"Please ... Arka, maafin aku ...." Nirma mulai menangis. Memohon pada Arka untuk memberinya pengampunan.

"Jangan pernah mendebat aku lagi, ngerti nggak kamu? Dasar anjing!"

"Iya ... aku janji ...."

"Jangan bikin aku kesal lagi dengan mulut sialan kamu itu!"

Hujan turun dengan derasnya. Menjadi tabir yang menutupi segala tindakan Arka pada Nirma. Menelan caci maki Arka dan tangis Nirma dalam suara hujan yang bising.

Setelah semua perlakuan kasar Arka tuntas, Nirma hanya bisa terisak dan menyandarkan kepalanya pada jendela mobil yang terasa dingin. Tubuhnya sakit, kepalanya semakin pening. Sedangkan Arka mulai menjalankan mobilnya. Lelaki itu akan memberi Nirma makan sekarang juga.

•••

"Habis dari mana, Nir?" tanya Vanesa yang melihat kedatangan Nirma. Wanita berkucir satu itu sedang tekun menatap layar laptopnya ketika Nirma muncul. Duduk bersila di atas sofa dengan laptop di pangkuan.

"Dari makam," jawab Nirma pendek. Dia melewati Vanesa begitu saja dan masuk ke kamarnya.

Vanesa mengangkat alis. Dia merasa ada yang salah dengan Nirma. Wajah teman satu apertemennya itu tampak pucat. Dia lalu berinisiatif menanyakan keadaan Nirma.

"Nir, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Vanesa dari luar pintu kamar Nirma yang terkunci. "Kamu sakit?"

Nirma yang saat itu masih bersandar pada daun pintu kamarnya kemudian menjawab, "Nggak apa-apa, Nes. Aku cuma lagi capek aja."

"Kalau ada apa-apa bilang, ya, Nir," tukas Vanesa yang khawatir dengan Nirma.

"Iya, Nes," sahut Nirma.

Tapi Nirma sendiri tahu kalau tidak mungkin dia menceritakan kalau baru saja dipukuli oleh Arka. Dia akan selalu merahasiakannya dari siapa pun, termasuk Vanesa. Bagaimanapun juga Arka tidak selalu bersikap kasar. Arka akan berubah kembali menjadi sosok yang penuh cinta untuknya.

Seperti halnya hari ini. Setelah Arka memukulinya, lelaki itu langsung berubah 180 derajat menjadi Arka yang baik dan hangat. Arka yang menyayanginya dengan sepenuh hati. Nirma hanya perlu menurut pada Arka dan jangan pernah membantahnya lagi.

Nirma menerima itu, karena dia membutuhkan Arka. Dia tidak mempunyai orang lain selain kekasihnya yang bisa memberikam cinta. Walau cinta yang diterimanya menyakiti fisiknya. Nirma hanya tak mau lagi merasakan kehilangan.

Cermin di hadapannya selalu jujur menjabarkan bagian dirinya yang terluka. Nirma meneliti bagian tubuhnya yang memar, membiru keunguan. Selama masih bisa raganya menahan, Nirma akan menerima segala perlakuan kasar Arka. Asal cinta itu tetap ada untuknya.

•••☆•••

Kasihan Nirma ...

Jangan lupa VOTE dan komentarnya ya ❤

Terima kasih banyak 😊❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro