3.a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nirma sama sekali tak berharap akan berjumpa lagi dengan Timur di kantor. Nirma mengira tidak perlu melihat lelaki itu lagi. Sama seperti sebelumnya, Timur akan kembali tak terlihat. Namun, keesokan paginya dia malah bertemu dengan Timur di depan pintu lift.

Nirma pura-pura tak melihat. Bersikap tak acuh lebih baik daripada harus beramah tamah menyapa Timur.

"Nirmala Deepika," ujar Timur yang menarik perhatian Nirma untuk menoleh. Timur baru saja menyebut nama lengkap wanita itu.

Timur tersenyum, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. "Masih marah sama saya?"

"Aku nggak marah," elak Nirma.

"Tapi kamu seperti orang yang marah," kejar Timur.

Pintu lift terbuka, mereka berdua melangkah masuk bersama beberapa orang lainnya. Nirma menekan angka empat pada panel lift. Dia malas berbicara dengan Timur, tapi lelaki yang berdiri di sebelahnya ini masih menunggu tanggapannya.

"Aku bukan marah, hanya kesal. Kamu bisa bedain, kan, apa itu marah dan kesal?" kata Nirma tanpa melihat Timur.

"Jadi kamu kesal hanya gara-gara pendapat saya yang nggak sejalan sama kamu?"

"Nggak boleh aku merasa kesal?"

"Boleh. Nggak ada yang larang. Tapi berarti kamu nggak bisa menerima perbedaan pendapat dari orang lain."

"Nggak gitu juga maksudnya." Ekspresi Nirma terbilang datar saat membalas pernyataan Timur. Terkesan tidak menaruh minat untuk membahasnya.

Pintu lift terbuka di lantai empat. Nirma dan Timur keluar berbarengan. Beberapa langkah dari pintu lift, Nirma berbalik badan. Posisinya sekarang berhadapan langsung dengan Timur. Nirma menyilangkan tangannya di depan dada, sambil meneliti lelaki di hadapannya yang hari ini pun tidak berkurang kadar ketampanannya.

"Aku nggak tertutup sama pendapat orang lain. Tapi yang kamu katakan kemarin itu lebih ke menuduh daripada berpendapat," terang Nirma.

"Padahal saya juga nggak ada maksud menuduh pacar kamu itu selingkuh. Saya cuma bertanya. Tapi sepertinya kamu yang nggak bisa menerima pertanyaan saya," balas Timur santai.

"Karena pertanyaan kamu itu agak lancang menurutku. Kita baru kenal, kamu nggak tahu tentang aku, pacar aku, apalagi hubungan kami."

"Berpendapat nggak ada pengaruhnya dengan urusan seberapa lama saya sudah kenal kamu."

"Itulah kenapa kamu mungkin perlu belajar yang namanya sopan santun dalam berpendapat," pungkas Nirma.

"Atau memang kamunya aja yang terlalu sensitif menanggapi omongan saya."

Nirma menggelengkan kepala, merasa tidak perlu lagi membahasnya. Tanpa banyak kata, Nirma segera melangkah menjauhi Timur. Tubuhnya butuh asupan kafein sekarang. Menikmati segelas kopi sebelum memulai pekerjaan, dirasanya lebih penting daripada melayani perdebatan dengan Timur.

Namun, Timur masih saja mengekori langkahnya sampai di depan pintu ruang redaksi. Membuat Nirma kembali berbalik badan untuk menghadapi Timur.

"Nggak perlu kita perpanjang lagi masalah ini, ya. Jadi jangan ikutin aku lagi." Nirma memperingatkan Timur agar tahu batasan.

Timur menaikkan alis. Dia kemudian tersenyum sambil membetulkan letak ransel yang tersampir di pundak.

"Kalau kamu mau tahu, ruangan saya juga di sini sekarang."

•••

Cukup aneh bagi Nirma, kalau tiba-tiba saja Timur bisa berpindah ke bagian redaksi Gemintang. Apalagi Gemintang sedang tidak dalam kondisi kekurangan fotografer. Sehingga kehadiran Timur di ruangan ini menjadi sesuatu yang janggal. Terutama untuk Nirma yang berpikir kalau kemunculan Timur terkesan mendadak dan tiba-tiba. Untungnya, Timur tidak berkata apa-apa lagi perihal ketidaksepahaman mereka. Membiarkan Nirma melakukan bagiannya sebagai pekerja yang baik di kantor ini.

Selepas makan siang, Nirma sudah tidak melihat Timur di dalam ruangan. Sepengetahuannya, Timur tadi pergi keluar bersama Gaga. Fotografer senior Gemintang itu mengajak Timur untuk membantunya melakukan pemotretan ulang salah satu sosialita yang namanya cukup dikenal di Jakarta.

Sedangkan Nirma berkutat di dalam kubikel, dengan mata yang terus menerus fokus ke layar laptop. Beberapa kali dia meregangkan otot tubuhnya yang terasa kaku. Duduk berlama-lama dalam posisi yang sama, bukanlah sesuatu yang mengenakkan.

Nirma harus menyelesaikan menulis beberapa artikel yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawabnya. Namun, Nirma tidak bisa menolak saat salah seorang redaktur Gemintang melimpahi tugas berlebih tersebut. Beralasan kalau dia masih butuh banyak belajar lagi.

Dan Nirma cukup sadar diri kalau tidak memiliki kapasitas lebih untuk menolak. Dia bisa merasakan pandangan sebelah mata dari beberapa orang rekan kerja, yang menganggap kalau dirinya bisa diterima kerja di perusahaan media ini, karena faktor keberuntungan semata.

Nirma tidak melanjutkan kuliahnya setelah peristiwa kebakaran itu. Biaya perkuliahan yang besar, tidak bisa Nirma tutupi seorang diri. Dia sudah kehilangan tempat untuk menopang hidupnya. Pendidikan yang sempat dinikmatinya dengan baik pun menjadi tak terjangkau.

Namun, sejak duduk di bangku SMA, Nirma sudah menyukai dunia jurnalistik. Nirma turut aktif dalam mengembangkan klub jurnalistik di sekolahnya. Hingga berlanjut pada banyak pelatihan-pelatihan jurnalistik gratis yang menempa kemampuannya dengan baik.

Mungkin memang benar kalau keberuntungan yang membawanya bisa bekerja di perusahaan ini. Nirma juga tidak pernah menyangka kalau masih ada orang yang berbaik hati menawarinya bekerja, tanpa melihat dari strata pendidikan. Hanya berbekal tulisan-tulisannya sebagai kontributor paruh waktu.

Nirma menelan banyak lontaran kata-kata sinis, maupun kasak-kusuk menyudutkan yang diembuskan di balik punggungnya. Nirma tak peduli, yang terpenting sekarang adalah bisa melanjutkan hidup dengan kemampuannya sendiri.

Melanjutkan untuk hidup setelah badai besar, nyatanya bukan perkara yang mudah. Rasa sakit kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup, tidak bisa disembuhkan hanya dalam hitungan tahun. Kesedihan terus melekat dalam ingatannya sebagai wujud kesakitan yang akan terus menghantuinya.

Orang-orang menyebutnya beruntung bisa lolos dari kebakaran itu. Namun, Nirma menganggapnya sebagai ketidakberuntungan.

Apa layak kata beruntung itu disematkan, ketika dirinya ditinggal sendirian?

Pukul sembilan malam, Nirma baru keluar dari ruang redaksi. Artikel untuk halaman gaya hidup yang diminta redakturnya sudah dia selesaikan. Masih jauh dari tenggat deadline, tapi Nirma berusaha mengerjakan tanpa harus menunggu waktu mengejarnya.

Perutnya sudah berisik minta diisi, dan Nirma berniat mampir ke rumah makan Padang yang ada di seberang kantornya. Sebelumnya, Nirma berbelok ke toilet, karena kandung kemihnya terasa penuh.

Saat Nirma sudah berada di dalam salah satu bilik toilet, dia mendengar suara pintu terbuka. Derap langkah kaki terdengar begitu jelas di tengah heningnya suasana toilet. Nirma mengira kalau orang itu akan menggunakan bilik toilet lain. Akan tetapi, suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan bilik toilet yang Nirma pakai.

Nirma tertegun. Orang itu sepertinya tidak bergerak dari depan biliknya. Seharusnya orang itu tidak perlu menunggu, karena masih ada lima bilik lainnya yang kosong. Keheranan Nirma belum tuntas, tapi tak berapa lama langkah kaki terdengar mulai menjauh, yang ditandai dengan suara pintu tertutup. Orang itu sudah keluar tanpa melakukan apa pun.

Aneh, tapi Nirma tak memikirkannya mau terlalu jauh.

Setelah urusan di toilet selesai, Nirma harus melewati tangga untuk turun ke lobi. Pengoperasian lift karyawan di kantornya dibatasi hanya sampai pukul tujuh malam. Nirma menuruni anak-anak tangga tanpa ada perasaan janggal sama sekali, tapi suara langkah kaki membuatnya menoleh ke belakang. Kosong. Tidak ada siapa pun.

Pandangannya kembali lurus ke depan. Langkah itu kembali terdengar. Nirma berhenti melangkah. Menunggu kemunculan seseorang. Namun, tidak ada satu orang pun yang terlihat. Dia melanjutkan langkah, dan langkah kaki lain terus mengikutinya bagai bayangan tak kasat mata.

Bulu kuduk Nirma tiba-tiba meremang. Dia merasakan sesuatu yang aneh tengah mengikutinya dengan sengaja. Membuatnya disergap ketidaknyamanan. Nirma mempercepat langkahnya dan tak mau menoleh lagi. Dan suara langkah kaki itu kembali mengikutinya.

Nirma hanya tinggal menuruni beberapa anak tangga lagi untuk dapat mencapai pintu keluar. Namun, ketika dirinya sudah berhasil membuka pintu, sesuatu terjadi.

Bruk!

•••☆•••

Ada apa? Siapa yang mengikuti Nirma?

Oh iya, judulnya saya ganti. Saya rasa judul Cinta Mati lebih cocok ❤

Jangan lupa beri VOTE dan komentarnya ya ❤

Terima kasih sudah membaca cerita ini ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro