10. Jarak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mobil sport BMW i8 berwarna yellow metallic, terlihat berhenti di pelataran parkir. Membuat berpasang-pasang mata para siswi ikut terhenti dan hanya fokus pada arah yang sama. Menciptakan berbagai rasa takjub dan gelengan kekaguman atas penampilan elegan mobil tersebut.

Mereka jelas sudah mengetahui siapa pemiliknya—cowok yang hobinya mengoleksi mobil sport—sekaligus sebagai donatur terbesar di sekolah ini. Sang idola yang berhasil memikat para gadis meski hanya dengan tatapan dan senyuman mautnya.

Ardo. Ya, dia. Siapa lagi?

Tatapan kagum itu kini berubah raut cemburu bercampur dongkol tatkala si cowok keluar, lalu berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Vita—primadona anak kelas XII IPS 2—salah satu cewek yang tergila-gila juga dengan Ardo.

Di pikiran cewek-cewek itu dipenuhi berbagai macam prasangka serta harapan-harapan yang berbau negatif. Bagi sang mantan, mereka lebih memilih berkomentar yang berunsur curiga.

"Halah, palingan tuh cewek pasang pelet."

"Ceweknya yang kegatelan, kali."

"Ah, masih cantikan aku ke mana-mana."

"Palingan bentar lagi juga diputusin Ardo kayak aku dulu."

Sementara lainnya—yang belum pernah berkencan dengan Ardo—memanjatkan doa diam-diam di dalam hati.

"Semoga saja mereka berdua cepat putus."

"Semoga saja setelah ini giliran aku."

"Sumpah, Ardo keren banget! Kapan ya, aku bisa jadi ceweknya?"

Dan, masih banyak lagi ungkapan-ungkapan mereka yang intinya cuma satu, yaitu cemburu atau bahkan iri.

Pasangan itu kini mulai berjalan meninggalkan parkir dengan posisi si gadis merangkul lengan Ardo di sampingnya, melewati para cewek yang sedari tadi sibuk berbisik-bisik sambil menggerutu melihat tingkah manja Vita yang bagi mereka sangatlah norak.

Menyusuri beberapa kelas hingga sampai di kelas XII IPA 1—Ardo dan Vita masuk—memilih menghabiskan waktu berdua sebelum bel masuk dibunyikan.

Mereka tak menghiraukan pandangan para penghuni ruang kelasnya, pun tak mengindahkan gerutuan Deni yang diusir sementara oleh Ardo ketika sedang menyalin PR fisika di bangkunya. Termasuk tatapan menyedihkan Fay.

Sedangkan Septi, ia jua tak mampu berbuat apa-apa kecuali mengusap pelan lengan Fay yang kini menunduk, berharap dengan tindakan kecilnya ini, Fay bisa lebih kuat dan sabar.

Lain halnya Sisil, ia saat ini tengah bersungut-sungut sambil mencak-mencak di tempat ia duduk dengan wajah yang begitu menyeramkan—saking emosinya—menyerupai bisul karatan yang lupa diberi obat.

Pasangan itu masih saja tetap asyik mengobrol sendiri meski pembicaraan lebih didominasi oleh Vita yang terlihat antusias, dan seringnya dia menempel pada bahu Ardo. Tidak juga memedulikan gemuruh suara beberapa gadis di sekitarnya yang diiringi tatapan iri dan sebal.

Tak berapa lama, suara bel masuk pun dibunyikan. Vita melenguh penuh kekecewaan. "Yaaah, sudah waktunya masuk." Vita manyun, berusaha memasang wajah seimut mungkin. "Aku 'kan maunya lebih lama lagi sama kau, Sayaaaang."

Fay menegakkan tubuh, memasang tajam-tajam telinganya sembari berharap agar kali ini Ardo tak lagi menjawab. Atau paling tidak, ia langsung mengusir gadis itu secara paksa.

Sesungguhnya, Fay juga enggak mau mendengar pembicaraan mereka berdua, karena ia tahu ujung-ujungnya—di sini—hanya dia yang akan terluka. Tetapi ternyata rasa penasaran Fay atas semua respons yang akan Ardo tunjukkan sangatlah besar, melebihi rasa sakit itu sendiri. Ia masih saja berharap Ardo mau menjaga sedikit saja perasaannya. Bahwa ia ada, tepat di depannya.

"Iya. Ngerti, kok." Ardo memasang senyum terbaiknya ke arah Vita. "Maaf, ya. Istirahat nanti kita makan bareng di kantin."

Lihatlah, harapan tinggal harapan, bukan? Ardo tetaplah Ardo. Fay tidak akan segitu mudahnya menggoyangkan apa yang sudah dibangun Ardo di antara mereka berdua.

Jarak mereka terlampau jauh!

***
Suara riuh-rendah mulai terdengar di pinggir lapangan. Teriakan histeris yang membentuk lingkaran besar itu mendatangkan kehebohan, bahkan sampai membuat beberapa siswa sontak menutup telinganya ketika berjalan di koridor ke arah kantin.

Seperti biasa, lapangan futsal akan dipadati para siswi jika salah satu pemainnya adalah Ardo. Kadang para cowok di sana juga tidak habis pikir, padahal dalam situasi seperti ini sering terjadi, tetapi tetap saja daya tampung telinga mereka masih belum bisa beradaptasi. Telinga kerap mendengung layaknya sirine, dan tak jarang menjadi budek sejenak. Teriakan histeris para cewek memang tidak ada yang bisa mengalahkan.

Sebegitu besar pengaruhnya Ardo bagi cewek di sekolah. Pria itu seperti mata air di padang pasir bagi para gadis di sana, selalu saja dicari dan diperebutkan untuk memenuhi dahaga mereka. Tanpanya, seakan-akan mereka takut akan dehidrasi dan berujung pada kematian.

Berlebihan memang, tapi itulah kenyataannya. Sampai saat ini, belum ada yang mampu mendefinisikan seperti apa sosok Ardo bagi kalangan cewek. Para cowok pun sering dibuat mengerang frustrasi jika dalam memperebutkan mereka harus bersaing dengan Ardo. Mereka biasanya akan memilih kalah sebelum bertarung, tidak mau memperjuangkan sesuatu yang jelas-jelas tak mungkin berhasil. Alias takut merasakan patah hati dengan cara yang sangat konyol.

Lagi. Suara sorak-sorai berkumandang begitu melihat aksi Ardo mencetak gol ke gawang lawan.

Kali ini pengoperan yang dilakukan Deni kurang cermat sehingga jatuh di kaki lawan,  mengakibatkan Ardo gagal menerima operan tersebut. Satu temannya yang berada di sayap kiri mencoba menghalau, namun masih gagal. Dan ketika lawan lengah, Ardo berlari lebih gesit lagi dan berhasil mencuri bola. Ia berlari dengan langkah kakinya yang seperti tak kenal rasa lelah, meliuk-liukkan tubuhnya sembari memainkan bola di kakinya, bermaksud mengecoh beberapa lawan yang berusaha mengepungnya, dan ya, itu memang berhasil karena buktinya ia telah melalui lawan dengan mudah.

Ardo bersiap saat gawang itu semakin dekat, kakinya mulai menendang bola tersebut dengan gaya yang sungguh menakjubkan. Dan....

"Goooooool!!!" pekik para cewek kegirangan.

Penjaga gawang lawan harusnya menangkap bola dari arah kiri, bukannya kanan. Ternyata, Ardo mampu membodohi kiper dengan gerakan tipu muslihatnya yang teramat indah.

Ardo dan teman-temannya tampak melakukan tos ala cowok. Mendatangkan teriakan para cewek semakin menjadi, terutama Vita.

Semua itu tak luput dari perhatian Fay, di mana posisinya kini tengah berada di balkon lantai 3 depan kelasnya bersama Septi.

"Permainan Ardo hebat 'kan, Fay? Gol tadi itu benar-benar keren!" Septi bertepuk tangan heboh. Setelah ia melihat Fay tersenyum seraya mengangguk dengan masih menatap lapangan di hadapannya, Septi kemudian berdeham pelan. "Tapi, ya gitu, Fay, banyak juga cewek yang menggilai Ardo. Jadi, kau harus sabar."

Helaan napas Fay terdengar cukup berat. "Jahat enggak sih, Sep, andaikan aku berharap mereka berdua segera putus dan Ardo enggak pernah punya pacar lagi?" Pandangannya kini tertuju pada Ardo serta teman-temannya yang telah selesai bermain futsal dan sekarang sedang berada di sisi lapangan. Panasnya sinar matahari membuat Ardo berteduh di bawah pohon rindang sembari menerima sebotol air mineral dari Vita. Senyuman Fay berubah getir, apalagi sesudah melihat adegan Vita yang menyeka keringat Ardo dengan handuk kecil di tangannya. "Terkadang aku mikir, jika memang aku enggak bisa memilikinya, setidaknya aku bisa sedikit bahagia saat melihatnya juga enggak punya kekasih satu pun."

"Ya, ampun, Fay." Septi menggelengkan kepalanya tak percaya. "Jangan sampai segitunya, Fay."

Fay menunduk seraya tertawa kecil. Begitu kepalanya terangkat, pemandangan yang tersaji di depan mata mampu menciptakan cengkeraman tangan Fay pada pagar pembatas semakin kuat. Ardo tertawa dan tangannya mengacak pelan puncak kepala Vita. Hatinya mencelos. "Ia seperti sebuah mimpi di hidupku, Sep. Jarak kami terlalu jauh, teramat susah kugenggam. Tapi aku benar-benar tolol 'kan, Sep, meskipun aku sudah mengetahuinya, tetap saja aku menginginkan dia."

"Kau bukan tolol kok, Fay. Hanya ...," Septi menggaruk tengkuk lehernya, "terlalu baik dan polos."

Aku masih tak bisa meraihmu di saat rasa ini makin berkembang tiap detiknya.
Tatkala kau mengepakkan sayap kokohmu.
Berpindah dari tempat satu ke tempat lain, aku masih tetap di sini memandangmu dari jauh, menilik sinar wajahmu yang kian memesona di mataku.
Seorang diri mengagumimu dari tempatku berada.

Layaknya bumi merindukan langit, itulah aku dan kau.
Sungguh sulit untuk kujangkau.
Sangat mustahil untuk menyentuhmu.

Jarak yang kau ciptakan membuat kita bagaikan orang asing.
Orang asing yang tak pernah saling mengenal.
Membuat perasaan sakit ini kian memburuk.
Sangat buruk....

.............................***...............................

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro