28. Cinta Monyet

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua orang itu duduk canggung dengan berhadapan, mungkin karena pertemuan pertama mereka setelah sekian lama tidak berjumpa.

Raut kegembiraan tercetak jelas pada wajah tampan Bisma Anggara, dosen muda yang mempunyai segudang prestasi. Setelah sekian lama tidak berjumpa dengan gadis yang dulu sempat dirinya tawarkan merajut sebuah hubungan suci, tapi dirinya harus kecewa karena gadis itu menolaknya. Namun, dia ingin mencobanya kembali dan berharap niatnya ini dapat berbuah baik.

"Kamu apa kabar?" Bisma memecah kecanggungan di antara mereka. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin dirinya tanyakan pada gadis di hadapannya, tapi urung karena melihat sikap canggung gadis itu.

Asma mendongak menoleh pada wajah berseri Bisma. "Baik. Kak Bisma sendiri gimana?"

Perlu Asma akui jika pria dihadapannya semakin terlihat mempesona dari terakhir mereka bertemu beberapa tahun yang lalu.

Bisma tersenyum. "Sangat baik. Senang bisa bertemu kembali dengan kamu, Asma. Kamu ada kelas pagi? Jam berapa?" Walaupun dirinya ingin berbincang lama, tetap saja harus menanyakan hal tersebut pada Asma.

"Iya, tapi masih satu jam lagi, Kak," jawab Asma sedikit risih dengan suasana sekarang. Dia sangat menanti Shilla untuk segera menyelesaikan urusan parkiran agar segera menyusulnya kemari, membawa Asma keluar dari zona canggung ini.

"Untuk nanti jangan keseringan tidak masuk kelas saya, ya. Kalo hanya karena rasa canggung kamu. Saya bisa bersikap profesional, kok," ujar Bisma. Dia tahu bahwa setiap alasan gadis itu tidak masuk kelasnya hanya untuk menghindarinya saja. Namun, dia tidak akan membuat Asma terus-terusan merasa tidak nyaman seperti ini.

Asma menunduk. "Maaf, Kak. Aku hanya ti-"

"Anggap saja saya tidak pernah melamar kamu. Apakah itu cukup membuat kamu tidak canggung lagi?" ujar Bisma.

Raut kecewa Bisma beberapa tahun lalu ternyata masih membuat gadis di hadapannya ini tetap merasa bersalah. Padahal, Bisma sangat mengerti, saat itu Asma masih sangat muda dan tidak ingin diikat padahal Bisma akan melanjutkan studi di luar negeri.

"Shilla sudah datang. Aku pamit duluan, ya, Kak Bisma," pamit Asma ketika melihat Shilla sudah berada di ambang pintu masuk kantin. Dia langsung meninggalkan kantin setelah bertukar sapa singkat dengan Shilla tentunya.

"Shil! Kok lama banget, sih?!" rajuk Asma.

"Si Niko nggak mau ngalah. Jadi, gue harus adu mulut dulu sama tuh manusia!" ucap Shila.

Perseteruan antara Shilla dan Niko sudah menjadi budaya umum bagi semua mahasiswa. Niko adalah anak dari investor terbesar di kampus mereka, tidak ada yang barani berurusan dengan si arogan itu, kecuali Shila.

"Tadi ngomongin apa aja sama mantan?" Amarah Shila telah lenyap ketika mengingat tujuannya untuk mengajukan pertanyaan menggoda pada Asma.

"Apaan, sih! Dia bukan mantan gue," tolak Asma.

Jika sampai terdengar oleh orang lain bisa menjadi berita simpang-siur yang ditambahi oleh mulut tak bertanggung jawab. Apalagi jika suaminya mendengar kabar tidak benar itu. Bisa gawat.

Shilla terkekeh. "Maksud gue mantan calon imam lo," ralat Shila.

"Nggak ngomongin apa-apa. Dia cuma nanya kabar gue aja, kok," jawab Asma.

"Eh, Shil. Anter ke perpustakaan dulu, lupa nggak bawa buku kelas Pak Herman," alih Asma ketika sahabatnya itu seakan ingin menggali semakin dalam mengenai pertemuannya dengan Bisma tadi. Dia tidak ingin membahas mengenai masa lalu lagi.

🦋🦋🦋

"Sayang, jangan marah dong. Aku tadi cuma kebawa emosi karena kabar sepenting ini kamu nggak cerita apa-apa," bujuk Gilang kepada istrinya yang masih bergetar dalam tangisnya.

Tidak ada sahutan dan hanya terdengar tangis istrinya, hal tersebut berhasil membuat Gilang dibuat khawatir.

"Kamu kenapa nggak kasih tahu aku kalo kamu hamil. Kamu tahu, kalo aku sangat menunggu kabar bahagia ini," jelas Gilang.

Sebuah benda mungil yang dirinya temukan di tas milik Ismi membuat Gilang sempat emosi, dia kecewa Ismi menyembunyikan sesuatu yang amat dirinya nantikan ini.

"Maaf, aku tadi cuma emosi karena kesal aja," jujur Gilang.

Ismi berbalik menghadap suaminya, memang benar apa yang Gilang katakan. Dirinya sama sekali tidak berniat menyembunyikan kehamilannya, tapi sebuah fakta terkait adiknya membuat ia mengurungkan niatnya untuk memberitahukannya kepada Gilang.

Melihat Ismi berbalik menghadapnya membuat Gilang sedikit lega. Sepertinya, Ismi sudah bisa mengontrol kembali emosinya yang sempat pecah tadi karena bentakan tidak sengajanya.

"Sayang, aku bahagia dengar kabar ini. Sangat bahagia. Kenapa kamu harus menyembunyikan kabar ini?" ucap Gilang memegang bahu Ismi yang sudah tidak bergetar lagi.

Ismi menyeka sisa air mata di wajah sembabnya. "Waktu ke rumah Umi aku sudah berniat memberitahukan kehamilanku, tapi aku cukup kecewa pada fakta mengenai adikku. Jujur aku nggak akan sanggup melihat dia kecewa nantinya, Mas," ujar Ismi dengan suara lemah. Tenaganya cukup terkuras karena menangis tadi, baru pertama kali dirinya dibentak oleh Gilang.

Gilang membawa tubuh istrinya ke dalam dekapannya. Tangis Ismi kembali pecah membuat dekapannya bertambah erat. Sungguh dia sangat menyesal telah membentak Ismi tadi.

"Maafkan aku. Aku yakin Azhar tidak akan menyakiti Asma, dia mencintai adikmu," ucap Gilang membelai punggung bergetar istrinya.

"Aku takut Asma harus merasakan sakit hati karena itu. Aku sangat menyayangi Asma, dia hanya punya aku dan Umi."

Kehilangan sosok ayah membuat Asma dan Ismi bergantung satu sama lain.

"Aku yakin Azhar tidak akan menyakiti Asma. Hubungannya dengan Arini telah berakhir dan Azhar bukan pria buta agama juga," ucap Gilang mencoba menenangkan istrinya dan menghilangkan semua ketakutan Ismi akan adiknya.

"Udah, jangan nangis lagi. Masa calon mama nangis, nanti dedek bayinya sedih." Gilang mengusap lembut perut Ismi yang masih rata.

Kekehan tidak mampu Ismi tampik, dia memukul pelan bahu suaminya. "Jangan godain aku! Aku masih kesal tadi kamu marahin." Suara Ismi masih sesegukan, tapi suaminya malah gencar menggodanya dan mengucapkan penyesalan karena memarahi Ismi tadi.

"Selama ini kamu diam-diam check-up sendiri?" Gilang memang sudah merasa aneh akan sikap Ismi akhir-akhir ini. Sejak mereka kembali dari rumah orang tuanya, walaupun dia telah menjelaskan tentang Arini pada Ismi, tapi Ismi masih tetap diam dan terkadang bersikap tak acuh.

Ismi mengangguk. "Aku masih kecewa sama kamu. Kamu pasti mengerti posisi aku sebagai kakak." Dekapan Ismi semakin mengerat kepada Gilang, sudah hampir sebulan lebih dia tidak bisa bermanja pada suaminya karena rasa kecewanya.

"Kayaknya dedek bayinya kangen ayahnya, deh," ucap Ismi masih menempel pada dada bidang Gilang.

Gilang terkekeh membelai kembali perut Ismi. "Bukan mamanya yang kangen, nih?" goda Gilang dan dihadiahi cubitan dari Ismi.

Ismi mendongak menatap Gilang yang masih fokus bertukar sapa dengan janin dalam perutnya.

"Mas?" panggil Ismi membuat fokus Gilang teralih pada wajah sembab istrinya, tapi tetap terlihat cantik dan menggemaskan di matanya.

"Ada apa?" sahut Gilang mengerti jika Ismi ingin berbicara serius dengannya.

"Apa aku harus memberitahukan hal itu pada Asma? Tapi, aku takut membuat hubungan mereka renggang nantinya, karena aku yakin Azhar belum menceritakan tentang Arini dan masa lalunya pada Asma." Ismi meminta pendapat suaminya.

"Biarkan Azhar yang menceritakan semuanya pada Asma bahwa pernah ada seorang wanita di masa lalunya. Kita percayakan saja pada Azhar, ya," saran Gilang. Dia tidak mau istrinya ikut dalam urusan pribadi sahabatnya, walaupun Asma adalah adiknya.

🦋🦋🦋

Lagi-lagi Danu merasa aneh akan atmosfer diantara dua orang di sana. Arini yang semakin diam tanpa suara dan Azhar yang entah kenapa sangat sering diam juga akhir-akhir ini.

Danu mengambil napas mencoba mendinginkan atmosfer aneh tersebut. "Pak Bos, otak lo encer banget, sih. Sampe si bule ngotot itu akhirnya setuju juga sama ketentuan kita." Awalan suara Danu memecahkan keheningan di antara mereka.

"Langsung inti aja. Mau apa?" Azhar mengenal Danu bukan dalam waktu sebentar. Dia sudah hafal betul arah pembicaraan Danu.

Danu terkekeh mendengar kepekaan Azhar. "Peka banget, sih. Pantes istrinya betah," goda Danu.

Namun, godaan itu malah membuat Arini harus menetralkan dentuman hatinya yang terasa sakit mendengarnya.

"Rencana kita, kan awalnya seminggu, cuma karena bos hebat gue mampu membereskan hanya dalam lima hari, gue mengusulkan kalau waktu dua hari itu kita isi dengan liburan. Gimana?" ujar Danu. Kapan lagi mereka mempunyai waktu liburan dan tempat bagus tanpa harus perencanaan rumit dahulu.

"Nggak bisa!" tolak Azhar tanpa mempertimbangkan usul dari Danu terlebih dahulu.

"Kok? Eh Bos, kita kapan lagi punya waktu liburan ditambah sekarang tempatnya Jerman. Kapan lagi coba!" Danu pantang menyerah membujuk Azhar.

"Gue harus cepat pulang, Dan. Kalo mau kalian aja dua hari ini liburan di sini." Ucapan Azhar mampu membuat Arini mendongak, pria itu benar-benar telah melupakan perasaannya.

"Yah! Nggak asik, lo! Masa yang punya acara nggak ikutan. Hambar dong." Tidak akan lengkap rasanya jika dia harus menghabiskan waktu liburan karena usaha Azhar tanpa melibatkan orangnya.

"Gue nggak bisa, Dan." Lagi Azhar masih tidak terbujuk oleh ocehan Danu.

"Sehari aja, deh, ya?" Bujukan terakhir Danu dan akhirnya Azhar mengangguk menyetujui permintaan itu.

Sehari saja menurutnya tidak apa-apa, bukan? Semoga saja.

🦋🦋🦋

Haloooo...
Masih ada yang mantau gak nih? Hayohhh...

Jangan lupa vote sama komen ya
Aku tunggu kalo bisa yang banyak biar gak digantung mulu sama cerita ini wkwkkw
*becanda deng

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro