4. About You?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan lupa vote dan komen yang banyak dong hihi... Sama boleh banget kesan pesan dan kritik saran jga buat cerita ini😊

Selamat Membaca

Sebuah sengatan manis muncul walau hanya satu hal tentangnya yang kita ketahui

▪☆▪☆▪☆▪

Hari ini adalah hari terakhir Ismi tinggal di rumah ibunya, tempat Ismi tumbuh sejak kecil. Sebenarnya, Ismi tidak tega untuk meninggalkan ibunya tinggal sendiri, karena Asma juga sebentar lagi akan kembali ke Jakarta.

"Mbak jahat! Mbak tega tinggalin Umi disini sendiri," eluh Asma saat membantu membereskan pakaian sang kakak yang akan dibawa pindah.

"Bukannya Mbak tega, tapi kan sekarang Mbak udah punya suami. Jadi, kemana pun Mas Gilang pergi sebagai istri Mbak harus ikut," papar Ismi kepada adiknya.

"Mbak sama Mas Gilang, kan bisa tetep tinggal disini aja." Asma tidak menyerah begitu saja untuk membujuk kakaknya tidak jadi pindah.

"Ya kali, Mas Gilang haru bolak-balik Bandung-Jakarta. Repot juga nanti," ucap Ismi menolak saran Asma kepadanya.

Entah kenapa mendengar tentang pekerjaan Gilang, Asma jadi teringat kepada Azhar. Dia ingin penasaran apakah Azhar satu pekerjaan dengan Gilang.

Banyak sekali pertanyaan mengenai sosok Azhar di kepalanya dan semua itu cukup mengganggu bagi Asma jika pertanyaan dalam benaknya belum terjawab.

"Apa Mas Azhar satu tempat kerja dengan Mas Gilang juga, Mbak?" tanya Asma sedikit ragu.

Pasti setelah ini kakaknya akan menggoda Asma habis-habisan. Apa boleh buat, rasa penasaran tidak baik dipendam lama-lama, karena bisa menyebabkan kesulitan mimpi indah.

Setelah mendengar pertanyaan tidak terduga dari adiknya itu, Ismi langsung menatap Asma dengan tatapan serius. Bukan tatapan menakan, tetapi lebih pada tatapan curiga.

Apa yang salah? kan, cuma nanya. Batin Asma karena mendapat tatapan curiga dari kakaknya.

"Kamu suka sama Mas Azhar?"

Pertanyaan Ismi membuat Asma menjadi salah tingkah. Kakanya terlalu tiba-tiba tanpa memperhitungkan situasi.

"Apaan, sih! Aku, kan cuma nanya," ujar Asma mengalihkan pandangan dari tatapan Ismi untuk menutupi salah tingkahnya. Bukan hanya pendengaran yang tajam, kakaknya juga pintar menemukan kebohongan.

"Mbak jadi curiga," elak Ismi tidak percaya begitu saja. "Mas Azhar nggak satu tempat kerja sama Mas Gilang. Dia punya perusahaan properti milik keluarganya di Jakarta."

Itulah yang Gilang ceritakan kepadanya. Sebenarnya, bukan hanya Asma yang penasaran, Ismi dan ibunya pun sama-sama penasaran tentang Azhar.

"Tapi, dia tinggal di Bandung?" tanya Asma lagi. Hal itu jelas menambah kecurigaan Ismi untuk kesekian kalinya.

"Mbak jadi beneran curiga, deh." Bukannya menjawab Ismi malah mengungkapkan kecurigaannya. Pasalnya, Asma seperti menggali lebih dalam informasi tentang sahabat dari suaminya itu. Itu namanya tertarik, kan?

"Udah nggak usah dijawab!" kesal Asma memajukan bibirnya, tapi tangannya masih melanjutkan untuk memasukan pakaian Ismi ke dalam sebuah koper hitam.

"Gitu aja ngambek! Azhar emang tinggal di Jakarta, tapi dia sering kesini buat mengunjungi orang tuanya," papar Ismi kepada Asma yang terlihat kesal karena godaannya tadi.

Asma hanya mendengarkan dan pura-pura sudah tidak peduli lagi akan topik tentang pria itu. Dia tidak ingin dicurigai yang tidak-tidak oleh kakaknya yang super kepo dan peka itu.

🍄🍄🍄

Asma ikut mengantarkan Ismi pindahan. Sebelum menempati rumah baru yang telah disiapkan Gilang di Jakarta, Ismi akan tinggal beberapa hari di rumah mertuanya yang masih berada di kota Bandung.

Tidak ada yang mengantar kakaknya selain Asma, bahkan ibunya sendiri tidak ikut mengantar karena ada urusan mendadak. Terlalu mendadak padahal semalam sangat bersemangat mengantar Ismi pindahan.

Ismi maaf Umi nggak bisa antar kamu. Ada urusan sangat mendesak yang tidak bisa ditinggalkan. Hati-hati, Nak. Nanti Umi telpon, ya.

Itulah yang Umi Ami katakan kepada putri sulungnya.

"Umi ada urusan apa, sih, Mbak? Sampai tega nggak jadi anterin Mbak Ismi kesini," tanya Asma kepada Ismi.

Mereka telah sampai di rumah orang tua Gilang siang ini dan sekarang sudah berada di kamar Gilang yang akan ditempati oleh Ismi selama disini.

"Nggak apa apa, Dek. Toh, ada kamu yang bantuin Mbak disini," jawab Ismi menghilangkan prasangka tidak baik adiknya.

Selagi Asma masih memasukkan pakaian Ismi kedalam lemari milik Gilang, seketika aktivitas Asma terhenti karena sebuah pertanyaan dari kakaknya.

Pertanyaan yang selama ini selalu Asma hindari.

"Jadi, kapan kamu mau nyusul Mbak, Dek?" Ismi menghampiri Asma dan duduk di samping adiknya. Raut wajahnya sangat serius menandakan saat ini pertanyaan itu bukanlah godaan belaka.

"Apaan, sih, Mbak. Aku belum kepikiran ke arah sana. Aku juga belum lulus kuliah." Asma mengalihkan pandangannya pada lemari di depannya.

"Asma, Mbak mohon cepatlah menikah. Mbak ingin lihat Umi bahagia dan Mbak juga ingin Abi tenang disana, karena semua putrinya sudah ada yang menjaga. Umi juga sering cemas, karena kamu jauh dari rumah sendirian."

Ismi berbicara dengan sedikit isakan dan air mata yang sudah jatuh membanjiri pipi tirusnya. Maklum, Ismi itu sedikit sentimentil. Jadi, mudah menangis.

"Mbak kenapa nangis? Aku nggak mau lihat Mbak nangis." Mata Asma mulai berkaca- kaca ketika melihat sang kakak menangis.

Semenjak Abinya meninggal, Asma paling tidak bisa melihat ibu dan kakaknya menangis. Cukup ketika ayahnya meninggal yang menjadi tangisan kesedihan terberat mereka.

"Umi ingin kedua putrinya bahagia dan ada pendamping yang menjaganya. Jangan biarkan Umi selalu cemas."

Hati Asma terenyuh mendengar ucapan Ismi yang merasa cemas akan ketidaksiapan adiknya untuk berumahtangga. Pasalnya, sangat jarang Asma mencolek urusan asmara di depan mereka.

"Mbak, Asma pasti akan nikah. Mungkin, saat ini belum nemu yang tepat aja." Asma berucap begitu lirih. Dia tidak ingin membuat kakaknya khawatir lagi.

Boro-boro menikah, dekat dengan laki-laki saja Asma sudah lari. Prinsip Asma adalah jomblo fii sabilillah.

"Mbak cuma ingin kamu bahagia. Mbak nggak mau Umi terus khawatir sama kamu kalo lagi di Jakarta." Ismi masih terisak dalam dekapan adiknya.

"Aku sayang Mbak dan Umi juga. Cuma kalian yang aku punya saat ini. Jadi, aku mohon jangan nangis. Kalo sudah waktunya, Asma pasti akan menikah, kok."

Sudah Asma katakan jika melihat dua orang berharga dalam hidupnya ini menangis, maka dia akan ditarik untuk merasakan tangisan itu juga. Asma mempererat dekapannya kepada Ismi yang masih terisak.

Saat mereka masih terhanyut dalam pelukan haru tersebut, dari luar terdengar suara ketukan pintu.

"Boleh Mas masuk?"

Asma segera menghapus bekas air matanya. Bisa malu jika disangka cengeng di umur segini sama kakak iparnya. Kalau kakaknya, sih terserah saja mau disangka cengeng pun sama suaminya sendiri.

"Sebentar, Mas," sahut Ismi sambil melangkah menuju pintu untuk mempersilahkan suaminya masuk.

"Kamu abis nangis, Sayang?" tanya Gilang melihat wajah istrinya yang merah dan matanya yang sembab.

"Nggak apa apa kok, Mas. Tadi cuma sedikit main baper-baperan aja sama Asma," ujar Ismi dengan kekehan supaya suaminya tidak cemas.

"Sebaper apa, sih? Sampe adik kakak nangis kayak gini." Gilang sepertinya masih bingung, karena wajah adik iparnya pun tidak kalah sendu dari wajah istrinya.

"Udah, ah, Mas. Kita jadi malu, nih," ujar Asma terkekeh masih berusaha menghapus sisa lelehan air matanya.

"Mas Azhar udah nyampe, Mas?"

Pertanyaan yang sontak membuat jantung Asma kembali berdebar. Ada apa dengan jantungnya? Kenapa tiba-tiba ada Azhar lagi?

"Astagfirullah! Astagfirullah!" lirih Asma sangat pelan, menetralkan debaran jantungnya yang menggila.

"Iya, Azhar sudah sampai. Ayo turun, dia udah nunggu di ruang tamu," ajak Gilang pada dua orang di hadapannya.

Asma masih terpaku. Rasanya kedua kakinya sangat berat untuk melangkah. Dia tidak siap bertemu dengan penyebab kebrutalan hatinya.

"Aku nggak ikut kebawah, ya, Mbak. Aku mau beresin ini dulu, soalnya masih belum selesai," ucap Asma gugup. Tangannya meraih pakaian Ismi untuk dirapikan kembali.

"Nggak apa-apa, Dek. Itu biar nanti saja Mbak yang bereskan," tahan Ismi ketika adiknya akan kembali melangkah menuju lemari.

Mbak Ismi nggak ngerti banget, sih. Ini hati lagi dag-dig-dug gini, malah disuruh turun. Rutuk Asma dalam hati karena sang kakak yang membuat dirinya tidak mempunyai alasan lagi untuk menolak turun.

"Iya, Asma. Kamu, kan tamu masa disuruh beres-beres," ucap Gilang mendukung tujuan istrinya.

Asma akan lebih setuju membereskan seluruh rumah daripada harus turun dan bertemu dengan Azhar. Bisa-bisa dia pingsan ditempat karena jantungnya selalu berdetak seperti lari maraton.

"Ayo cepet!" Ismi menarik Asma agar ikut turun dengan sedikit paksaan. Pasalnya, adiknya malah diam saja.

-0-0-0-

"Mas Azhar maaf jadi nunggu lama." Ismi belum melepaskan cekalan tangannya pada tangan adiknya. Walaupun mereka sudah berada tepat di hadapan Azhar.

"Nggak lama, kok. Santai aja," ujar Azhar dengan senyum ramahnya.

Kenapa Mas Azhar senyum begitu, sih. Kuatkan hati dan imanku ini. Rutuk Asma melihat senyuman hangat pria di depannya.

Ketika Asma hendak duduk di samping kakaknya, ponselnya tiba-tiba berbunyi.

Umi

Nama panggilan dari ibunya tertera di layar ponselnya. Asma izin untuk mengangkat telepon dari ibu tersayangnya itu. Bisa-bisa mengomel jika dia lama mengangkat telepon itu.

Ada apa Umi telepon? Nggak biasanya. Padahal, kan bisa bicara di rumah nanti. Batin Asma heran karena tidak biasanya ibunya menelepon, biasanya cukup mengirim pesan saja.

🍄🍄🍄

Stay with me...
Vote and comment Ukhti...

Jangan lupa follow me
@keepsmile30

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro