18 | Kejujuran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Aku sudah tak peduli, dan aku pun sudah kehilangan rasa simpati."

Rasa benci akan sakitnya dikhianati serta dibohongi menguap pergi, terlebih saat melihat kondisi Abi yang seperti ini. Beliau yang selalu menjaga serta melindungiku dengan begitu hebatnya, tak pernah lelah dalam mengahadapi segala sifat dan sikapku yang terkadang membuatnya naik darah, kini tengah terbaring lemah.

Tapi dengan angkuhnya aku menelantarkan beliau, menganggap beliau begitu jahat dan kejam, memandangnya penuh penghakiman. Hatiku terlalu diliputi emosi yang tak terkendali, tak bisa berpikir jernih akan kondisi saat ini. Seharusnya aku lebih bisa menempatkan diri, menjaga hati, dan juga menahan gejolak emosi, bukan malah membabi buta seperti yang sudah kulakukan selama belakangan ini.

"Maafkan, Abi," katanya dengan suara rendah, dan itu sangat menusuk tepat ke ulu hati. Mencoba untuk menengadahkan kepala, menahan sesuatu yang sudah saling berlomba meminta untuk segera dikeluarkan.

Tangan lemahnya berusaha untuk menggapai puncak kepalaku, tapi dengan cepat aku menghindar. Wajah pucatnya menatapku sendu penuh rasa kecewa, tapi aku takut jika harus terlibat kontak fisik dengannya.

"Kamu takut sama Abi?" Aku menggeleng penuh keraguan. Batinku saling memberontak menyuarakan dua hal yang berlainan. Di satu sisi aku tak ingin bersikap seperti yang baru saja kulakan, tapi di sisi lain aku pun takut akan dosa yang sudah terbayang di depan mata sana.

Tanpa diduga Abi membawa tanganku ke dalam genggaman, aku mencoba untuk menariknya kembali, tapi hal itu tak dapat terealisasi. "Abi ayah kamu, kamu akan tetap menjadi putri Abi. Jangan perlakukan Abi seakan kamu ji-"

Satu tetes air mata meluncur tanpa bisa kucegah. "Abi bukan mahram aku," lirihku memotong perkataannya, bahkan isakan tak lagi bisa kutahan. Ini sungguh menyakitkan.

Abi mengukir senyum getir, tangan yang satunya bergerak untuk membelai puncak kepalaku, lantas berujar, "Siapa yang bilang begitu?"

Aku hanya menggeleng tak tahu. Itu hanya sekadar dugaan tak beralasanku saja, nasabku jatuh pada Umi maka secara tidak langsung Abi bukan siapa-siapaku.

"Kalau sudah dinikahkan antara ayah biologis dan ibunya, maka anak itu akan menjadi anaknya sehingga memiliki hubungan dan saling terikat, mahram. Kamu paham, kan maksud Abi?" jelasnya lembut.

Aku hanya diam dan menatap bingung ke arahnya, beliau bangkit dan berusaha untuk mendudukkan tubuh agar bersandar di kepala tempat tidur. "Nasab kamu sepenuhnya jatuh pada Umi, tapi kamu akan tetap menjadi putri Abi. Gak ada yang berubah, hanya saja Abi tak berhak untuk menisbatkan nama Abi di belakang nama kamu, Abi tak berhak untuk menjadi wali nikah kamu. Maafkan ... Abi ..."

Aku menunduk dalam. Ini jauh lebih menyakitkan, seharusnya aku sudah menyiapkan mental saat memutuskan untuk berbincang dengannya. Tapi yang terjadi kini justru di luar dugaan, aku lemah dan air mataku luruh begitu saja. Fakta itu sungguh menyakiti hatiku, aku merasa sangat amat kotor dan hina karena tak bisa memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya. Takdir Allah begitu kejam dan tak adil!

"Kenapa Abi melakukan hal itu?" tanyaku seraya menarik tangan yang tadi sempat Abi genggam. Aku mengalihkan pandangan untuk sedikit menghapus jejak-jejak air mata yang tak pernah surut keluar.

"Abi khilaf."

Mendengar dua kata itu malah membuat dadaku semakin sesak. Bersembunyi di balik kata 'khilaf' sungguh alasan klise yang tak dapat kuterima.

"Abi gelap mata dan dibutakan oleh hawa napsu, Abi lelaki yang tak memiliki iman dan menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan Umi," terangnya syarat akan rasa sesal terlihat dari matanya yang sudah mulai berkaca-kaca.

"Apa hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka?" Hatiku perih saat melontarkan kalimat tanya itu. Serasa ada ribuan ton baja yang menghinggapi rongga dada.

"Abi merebut paksa kehormatan Umi." Tangisku pecah kala mendengarnya. Wanita yang kuanggap kejam tak berperasaan itu ternyata korban, dan parahnya Abilah yang menjadi dalang akan perbuatan keji itu.

"Kedua orang tua Umi tak memberikan restu, dan Umi pun menolak mentah-mentah pinangan Abi. Otak Abi buntu, dan akhirnya berbuat hal keji itu."

Aku bangkit dari dudukku, tak sanggup untuk mendengar lebih banyak lagi kejujuran dari bibirnya. Lelaki yang kuanggap sangat mencintai dan memuliakan Umi, ternyata tak lebih dari seorang pemerkosa tak berperasaan. Di mana dia letakkan hatinya?

"Cukup, Bi! Sekarang aku tahu siapa yang benar-benar harus kubenci, dan siapa yang harus kucintai. Jika saja boleh memutar waktu, aku akan lebih ikhlas dan rida menyaksikan Abi di ruang ICU!" kataku begitu tegas syarat akan rasa kecewa yang teramat dalam.

"Hanya satu pertanyaanku, apa Abi akan terima dengan lapang hati jika aku pun bernasib sama seperti Umi?"

Istilah buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu pasti akan berlaku. Dan aku harus ikhlas jika nasib buruk yang Umi alami kembali menimpaku juga.

"Abi gak akan membiarkan hal itu terjadi!"

Aku tertawa sumbang. "Seharusnya Abi berpikir sebelum bertindak. Bukan cinta yang Abi miliki untuk Umi, itu hanya hawa napsu saja karena cinta tidak mungkin saling menyakiti."

"Abi akan selalu menjaga kamu, Abi gak akan pernah membiarkan seorang pun untuk menyentuh seinci tubuh kamu, Abi ak-"

"Buang semua janji-janji Abi itu, karena mulai detik ini juga aku gak akan pernah mau ketemu Abi lagi." Dengan linangan air mata aku bergegas meninggalkan beliau yang berteriak-teriak memanggil namaku. Aku sudah tak peduli, dan aku pun sudah kehilangan rasa simpati.

Melihat Ziah yang berada di ambang pintu ruangan yang tadi Abi tempati, dengan segara aku memeluknya, menumpahkan tangis dan rasa sesak yang tiada henti menggerogoti. Tanpa kata apa pun Ziah membalas pelukan, bahkan tanpa segan dia pun memberikan elusan tepat di punggungku.

Ziah menggiringku untuk duduk si kursi yang tersedia, dengan lembut dia menghapus air mataku yang tak pernah berhenti turun. "Istigfar, tarik napas, dan buang," instruksinya yang langsung kuturuti.

"Tenangkan hati kamu, jangan dulu cerita kalau kamu belum siap," tuturnya dengan tangan yang begitu sigap memberikan genggaman.

"Aa ... Aku ... gak bisa ketemu sama Abi lagi, aku gak bisa. Dia penyebab Umi menderita, dan dia juga yang udah buat hidup aku hancur berantakan," lirihku masih dengan dibarengi isakan.

"Semuanya bisa dibicarakan lagi, Umi belum sadarkan diri, kita putuskan setelah Umi sadar," sarannya yang langsung kubalas gelengan.

Kesehatan Umi semakin menurun, terlebih pada saat tadi. Beruntung dokter begitu sigap dalam menangani, jadi beliau bisa tersalamatkan lagi. Walaupun begitu aku harus sejenak bersabar lagi, karena Umi masih tak kunjung menunjukkan kesadaran, dan itu entah sampai kapan.

"Aku akan bawa Umi pergi dari sini, aku mau memulai hidup baru, hanya berdua, gak ada yang lain."

"Kamu mau ninggalin aku?" Pertanyaan itu sangat amat mengusik relung hati. Aku tak ingin menjauh dari Ziah, tapi jika aku tetap di sini aku tak yakin akan bisa hidup berdampingan dengan Abi. Kesalahan yang beliau perbuat tak bisa kuampuni.

"Kan ada Zaki, lagi pula kamu kan bisa main-main ke tempat aku," terangku sebisa mungkin memberikan dia sunggingan.

Ziah tak menjawab dan malah merengkuh tubuhku dengan begitu kuat. "Aku udah kehilangan janin yang aku kandung, dan aku gak mau kehilangan kamu juga, Na."

"Maafin aku, Zi ... Maaf ... Gara-gara aku kamu jadi keguguran," lirihku. Rasa bersalah itu akan selalu membayangi, dan kurasa tidak akan bisa kulupakan begitu saja.

"Jangan pergi, Na, aku mohon," pintanya diiringi dengan isakan.

"Kalau kamu pergi gimana nasib adik-adik kamu, keponakan kamu, apa kamu juga akan tega meninggalkan Abi hidup sendirian di sini. Beliau sudah tua, gak ada lagi yang bisa menjaga dan merawatnya, hanya kamu dan Umi yang saat ini beliau punya. Saras dan Riska sudah berkeluarga dan tak mungkin bisa sebebas kamu, mereka punya tanggung jawab pada suami dan juga anaknya," imbuhnya yang membuatku menunduk dalam, meraup permukaan wajah yang sudah kembali dihiasi linangan air mata.

"Tapi aku gak bisa. Rasa sakit itu selalu muncul saat melihat wajahnya, aku gak yakin bisa berlaku baik padanya. Aku gak bisa, Zi," ungkapku.

"Bukan gak bisa tapi belum, ikhlaskan hati kamu. Lupakan semuanya, anggap masalah ini gak pernah ada."

"Masalahnya gak sederhana itu, Zi. Aku udah terlalu kecewa sama Abi, kenapa bisa dia melakukan perbuatan keji itu. Dan dengan gampangnya dia juga memendam sebuah kebohongan besar, dia udah bohongin aku selama puluhan tahun. Aku gak bisa terima itu."

Ziah memegang pundakku lembut. "Jangan pikirkan kesalahan yang sudah beliau perbuat, coba ingat bagaimana kebaikannya. Bagaimana beliau melindungi kamu, bagaimana beliau menyayangi kamu, bahkan sebagian besar waktunya beliau berikan untuk kamu. Kamu gak melupakan semua itu kan?"

Perkataan Ziah sangat amat mengiris hati. Bayangan akan Abi yang selalu mengantar jemputku, mencukupkan segala kebutuhan yang kuperlukan, limpahan kasih sayangnya, belum lagi hal-hal sederhana yang mampu membuatku tertawa bahagia. Itu semua saling berkeliaran memenuhi pikiran.

"Allah aja Maha Pemberi Maaf, masa kita yang hanya seorang hamba bersikap angkuh? Malu dong sama Allah. Kita punya apa sampai berani membenci orang tua kita sendiri? Maafin Abi yah, Na," tuturnya yang hanya kubalas dengan lirikan penuh luka. Aku tak tahu harus menjawab apa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro