Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Vanesa menatap foto berpigura emas di tangannya. Membelai ringan wajah ayu nan sendu dari seorang wanita yang tengah tersenyum dengan perut besar yang tercetak di sana. Rambut hitamnya dikuncir ekor kuda dan tanpa riasan sama sekali. Kakaknya Mili selalu terlihat bersahaja dari dulu.

Matanya berkeliling menatap kamar tidur almarhum kakaknya. Dekorasi sederhana yang didominasi warna pastel, kamar ini sungguh sangat nyaman untuk ditempati. Kecuali sekarang, pemiliknya tidak ada lagi di sini.

Mereka dua bersaudara saling bertolak belakang dalam sifat. Jika Mili berkarakter lemah lembut dan ramah maka dirinya justru kebalikan. Judes, tomboy dan slebor tapi dia terlahir dengan kondisi fisik sehat. Sedangkan kakaknya tidak beruntung karena tubuhnya sakit-sakitan, bahkan dari bayi sampai menikah. Mili akhirnya meninggal saat bayinya berumur beberapa bulan. Tanpa sadar Vanesa mendesah, mengenang kehadiran sang kakak. Perbedaan umur tiga tahun membuat mereka akrab satu sama lain.

"Vanesa, aku jatuh cinta," ucap Mili suatu hari.

Vanesa ingat sore itu, Mili baru saja pulang dari tempat temannya. Tubuhnya yang langsing dengan wajah yang biasanya pucat hari ini tampak begitu bahagia. Vanesa memandang keheranan pada kakaknya.

"Siapa dia, Kak?"

Mili menjatuhkan badannya ke samping Vanesa yang sedang asyik membolak-balik majalah berisi resep-resep kue. Rumah mereka sepi, dan hanya ada mereka berdua duduk di sofa ruang tengah.

"Dia tampan dan lebih dari itu, apa namanya, jantan!" Mili terkikik genit.

Vanesa memandang heran kakaknya yang kini terlihat berbeda dari biasanya.

"Terus? Siapa dia?"

Mili mempermainkan rambutnya. Menggigit bibir bawahnya yang merona.

"Kak? Kok diam?"

"Jadi gini, tadi ada seorang wanita setengah baya yang sedang mencari kebaya untuk kondangan. Terus, dia datang bersama anaknya yang tampan luar biasa," desah Mili dengan mata menerawang. "nggak pernah aku lihat cowok setampan dan seramah dia."

Bagi Vanesa suatu hal luar biasa mendengar kakaknya bicara soal cowok. Mili selalu malu dan tidak percaya diri tiap kali Vanesa ingin mengenalkannya pada laki-laki mengingat kondisi tubuhnya, tapi hari ini, dia terlihat berbeda.

"Lalu? Kakak minta nomor handphone-nya?"

Mili mengangguk sambil terus tersenyum. "Dengan alasan jika kebaya Mamanya ada kendala atau siap lebih cepat dari waktu yang ditentukan, kami akan meneleponnya."

Vanesa tertawa, bahagia melihat kakaknya merona dan tertawa. Hingga suatu hari kakaknya datang ke rumah membawa orang yang dia cintai.

Kaget, bingung dan linglung!

Saat Vanesa menatap sosok lelaki yang dikenalkan Mili pada seluruh keluarganya sebagai teman dekat adalah kekasihnya sendiri. Saat itu hubungan mereka sedang renggang karena sesuatu hal, mereka tidak saling menghubungi untuk beberapa waktu. Siapa sangka jika kekasihnya adalah laki-laki yang dicintai oleh Mili.

Vanesa mendesah. Mengingat masa lalunya. Pikirannya teralihkan oleh suara tangais bayi yang terdengar dari arah dapur. Setelah meletakan kembali foto ke tempat semula, di sebelah foto laki-laki tampan menggendong bayi, Vanesa bergegas menuju tempat suara.

"Diih, anak manis. Ngapain nangis-nangis digendong Oma? Sini, ikut Tante." Dengan sigap Vanes mengambil bayi dari gendongan mamanya dan mendudukkannya di pangkuan. Mencoba untuk menggantikan posisi mamanya memberikan susu formula pada bayi yang tadinya menangis kencang.

Begitu ada di dalam dekapan Vanes, tak lama bayi itu terdiam dan mulai menyusu dari botol dengan tenang. Vanes membelai wajah bayi mungil itu dengan sayang.

"Dia suka sama kamu, Vanes."

"Iyalah, Ma. Kan sedarah."

"Kasihan dia, sekecil ini sudah ditinggal Mamanya."

Vanesa mendongak, menatap mamanya yang terlihat sedih.

"Jangan sedih, Ma. Kasihan Kak Mili yang sudah tenang di alamnya."

"Vanes, tolong kamu pikirkan saran Mama. Semua demi Sean dan Kakakmu, Mili."

Suara mamanya yang sendu hanya didengar tanpa ditanggapi oleh Vanesa. Matanya melirik pada bayi laki-laki berumur kurang setahun yang kini menatapnya sambil masih meminum susu. Vanes mencoba tersenyum.

Ini adalah cuti pertamanya setelah beberapa waktu kematian Mili. Selama kondisi tubuh Mili memburuk, hampir setiap hari Vanes merawatnya. Akhirnya setelah didera sakit berbulan-bulan selama masa kehamilannya dan terus berlanjut bahkan setelah melahirkan, Mili menyerah pada takdir.

"Nggak bisa gitu, Ma. Udah hampir lima tahun ini, Vanes berusaha meniti karir. Sekarang aku mendapatkannya, posisi yang aku mau. Lalu Mama menyuruhku menikah?"

Vanesa melirik bayi yang sekarang merengek tidak nyaman dalam gendongannya. Cuti selama dua minggu, Vanesa habiskan waktunya dengan mengasuh keponakannya yang lucu. Kedekatan mereka tidak hanya membuat Sean gembira tapi juga seluruh keluarga Vanesa. Hal yang sebelumnya tidak pernah dia pikirkan. Bukannya Vanes tidak menyayangi Sean, terlalu cinta malah tapi dia tidak siap jika harus menikah sekarang.

"Vanes, coba kamu pikirkan sekali lagi, Nak? Mama tidak menyuruhmu berhenti bekerja. Setelah menikah, Mama yakin Ronald akan tetap membiarkan kamu bekerja."

"Ma, masalahnya aku menganggapnya hanya sebagai kakak sejak dia pernah menikahi kak Mili."

Vanesa meraih Sean dan menggendong di pinggangnya. Membuai anak kecil montok di tangannya dengan ciuman dan belaian.

"Mama yakin, cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu, Sayang. Demi Sean, demi almarhum kakakmu. Seandainya, Mama berada dekat di kota ini, Mama yang akan merawat Sean tanpa merepotkan kamu."

Vanesa tidak menjawab, tangannya sibuk menggelitiki perut keponakannya dengan pikiran melayang pada orang tuanya. Papa lebih suka tinggal di kampung dan mau nggak mau mamanya ikut menemani. Sementara Sean harus ikut bersama Ronald. Mereka berharap dengan Vanesa menjadi istri Ronald maka akan ada ibu yang mengurus Sean.

Aku bukan wanita pengganti, yang digunakan hanya saat dibutuhkan. Pikir Vanesa muram.

Setelah pembicaraan mereka yang seperti tidak mencapai titik temu, Bu Tini bangkit dari duduknya dan berpamitan. "Mama pergi dulu ke rumah tantemu, pulangnya nanti agak malam. Tolong kamu jaga Sean ya?" pinta ibunya sebelum pergi.

Sepanjang sore, Vanesa mengasuh keponakannya yang lucu itu. Dua hari lagi dia harus kembali bekerja. Dengan waktu yang tersisa selama cuti dia ingin memuaskan waktunya dengan mencintai dan menyayangi Sean. Hal yang tidak mungkin dia lakukan saat sudah kembali bekerja. Menggendong bayi kecil di lengannya merupakan kebahagiaan tersendiri.

Bel pintu berbunyi saat Vanesa baru saja selesai memandikan Sean. Dia menatap daster hijaunya yang basah kuyup. Mendesah pelan dan meraih bayi di pinggangnya. Dia pikir mungkin itu mamanya yang pulang lebih cepat. Jadi tanpa memedulikan penampilannya yang acak-acakan, Vanesa pergi membuka pintu.

"Mama, kok pulang lebih cepat?"

"Vanes?"

Vanes mendongak, memandang sosok laki-laki yang terlihat letih tapi tampan dalam balutan kemeja putih. Ada jas yang tersampir di lengan kiri dan tas hitam di tangan kanan.

"Eh, Kak Ronald?" Dengan gugup Vanes membuka pintu dan membiarkan Ronald masuk ke dalam rumah.

"Hai, Sayang. Sini ikut, Papa?" Ronald bicara pada bayi di pinggang Vanesa. Tanpa sungkan meraih anaknya dan membuainya dalam pelukan.

Sadar dengan penampilannya yang acak-acakan, Vanesa buru-buru berjalan menuju kamar mandi. Tangannya bergerak cepat membersihkan peralatan mandi keponakannya yang berantakan, lalu menyemprot air untuk mencuci lantai agar tidak licin dengan selang air di tangannya.

"Tinggalkan saja, Vanes. Biar nanti aku yang mengerjakan."

Vanes mendongak, memandang Ronald yang berdiri di pintu kamar mandi dengan anak yang mulai tidur di pundaknya.

"Nggak apa-apa, Kak. Vanes sekalian mau mandi, tolong tidurkan Sean di kamar, ya?"

Tanpa menunggu jawaban Ronald, Vanes menutup pintu kamar mandi dan bersandar di dinding. Memejamkan mata, menghela napas panjang. Kehadiran Ronald yang tiba-tiba seperti menggoyahkan hatinya. Dia meraba jantungnya yang berdetak kencang lalu melangkah pelan menuju pancuran. Untuk mengguyur tubuh dan pikirannya.

Kejutan menantinya saat keluar dari kamar mandi, Ronald sudah menunggu dengan secangkir kopi panas yang terhidang di atas meja.

"Minum dulu, Vanes. Kalau aku tidak salah ingat, ini kopi robusta kesukaanmu."

Diam-diam Vanes melirik Ronald yang belum mengganti bajunya. Begitu duduk dia meraih cangkirnya yang mengepul. Aroma kopi sedikit menenangkannya.

"Kita sudah beberapa waktu menghindari ini tapi mungkin ini saat yang tepat untuk bicara."

"Maksud Kakak apa?" tanya Vanes pelan.

"Aku tahu, keluargamu dan keluargaku mendesak agar kamu menikah denganku demi Sean."

"Lalu?"

"Maukah kamu mempertimbangkannya? Menikah denganku?"

Vanes mendongak dari atas cangkirnya, memandang Ronald yang berdiri bersandar pada meja makan. Meski tiga tahun sudah berlalu tapi dalam pandangan Vanes, Ronald masih sama tampannya seperti dulu. Hanya berubah lebih matang dan dewasa. Tatapan matanya masih membius seperti saat mereka pertama bertemu.

"Kamu jelas tahu jawabanku, Kak," ucap Vanes pelan.

"Kenapa? Apa karena aku dulu meninggalkanmu untuk menikah dengan Mili?" tanya Ronald hati-hati.

"Itu masa lalu, nggak ada hubungan sama hari ini. Dulu kita berpisah juga secara baik-baik," tukas Vanesa.

"Itu dia, dulu kita berpisah demi Mili. Karena tubuhnya yang lemah dan sakit-sakitan makanya kita berdua rela berpisah demi dia. Harusnya kamu tahu bahwa aku tidak pernah bisa melupakanmu, Vanes."

"Jangan bicara sembarangan! Itu bagian masa lalu kita," sergah Vanesa tajam. Dia berdiri dari tempatnya dan berjalan menuju jendela dapur yang terbuka. Matanya melayang pada bunga gardenia putih yang tertanam dalam pot di teras dapur.

"Aku sudah punya kekasih," ujar Vanes pelan. "dan aku tidak akan meninggalkannya demi kamu, mantan suami kakakku."

"Bagaimana jika demi, Sean? Apakah kamu bersedia?"

Vanes menoleh dan sedikit berjengit, merasakan sentuhan halus di lengannya. Selesai mandi, dia sudah mengganti dasternya dengan blouse renda tapi tetap saja, sentuhan Ronald membangkit sesuatu rasa dalam dirinya. Dia bergeser dengan tidak nyaman saat menyadari jika Ronald berdiri sangat dekat dengannya.

"Please? Pikirkan sekali lagi, tolong lakukan demi Sean," bisik Ronald membujuk.

"Kamu terlalu egois, Kak."

"Iya, memang. Demi kamu, demi Sean, aku akan bersikap seegois mungkin. Merebutmu kembali dari pacarmu atau siapa pun itu."

Malam itu, sebelum Vanes pamit pulang dari rumah Ronald. Sebuah diary biru diberikan untuknya. Vanes tahu itu adalah diary almarhum kakaknya, Mili. Sepanjang perjalanan, di dalam taksi, Vanesa membaca diary dengan penuh perasaan. Hingga dua paragraf terakhir mematahkan hatinya.

Maafkan Kakak, Sayang. Pada akhirnya apa pun yang ditutupi pasti akan terbuka bukan? Rahasia itu, jika sebenarnya kamu dan suamiku dulu saling mencintai dan kalian mengalah demi aku. Aku seorang wanita penyakitan dan jatuh cinta setengah mati pada kekasih Adiknya sendiri.

Beribu-ribu maaf, Kakak ucapkan sekarang. Seandainya aku bisa memutar waktu, tentu aku akan lebih tahu diri dengan tidak mengganggu hubungan kalian. Ronald seorang laki-laki yang baik, meski dia tidak mencintaiku tapi tidak pernah sekali pun menyakitiku. Jika terjadi sesuatu padaku, kamu tahu kan kondisi kesehatanku bagaimana? Kembalilah pada Ronald, demi dirimu dan diriku. Karena kita sama-sama mencintainya. Kakak mohon, Vanes.

Vanes mendekap diary biru di dadanya, menahan air mata yang jatuh membasahi pipinya. Dalam pikirannya berkecamuk banyak hal, Ronald, Sean dan juga dirinya sendiri. Tangannya gemetar saat mengambil handphone-nya yang bergetar. Dia mengenali nomor yang tertera di sana.

Berdehem sebentar untuk memulihkan suaranya sebelum menjawab sopan. "Halo?"

Terdengar suara seorang wanita dari ujung sana. Nyaris dua puluh menit dia mendengar si penelepon bicara tanpa bantahan, Vanesa menutup handphone dan menangis lebih keras. Tidak peduli jika sopir taksi memandangnya heran. Diary biru ditambah telepon yang baru saja diterimanya membuat hati Vanesa luluh lantak.

Dengan gemetar dia memencet nomor telepon yang dihafalnya. Tepat saat mobil menuju belokan terakhir ke rumahnya.

"Halo, Vanes?" Suara laki-laki yang dalam menerima panggilannya.

"Aku bersedia menikah denganmu, Kak. Ayo, kita menikah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro