Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rasanya sungguh menyebalkan saat dia bangkit dari ranjang dan merasa badannya panas. Tenggorokan gatal, mata pedih, kepala pusing dan dirinya merasa enggan bangkit dari ranjang. Vanesa mengutuk dalam hati karena terkena flu. Hari ini banyak yang harus dia kerjakan, pembukaaan toko Bu Tuti dan Sean yang harus disuntik imunisasi. Semalam dia sudah merasa tidak enak badan tapi karena banyak dokumen yang harus diperiksa, dengan terpaksa Vanesa lembur. Dia bergeming meski Ronald berkali-kali mengingatkannya untuk istirahat lebih awal. Sekarang, kekeraskepalaannya membawa bencana, flu! Jika tahu akan begini, lebih baik dia tidak lembur.

Vanesa meraba dahinya yang panas. Bangkit dari ranjang dan berjalan terhuyung menuju kamar Ronald. Meski enggan dia membutuhkan pertolongan suaminya sekarang.

"Kaaak, bangun. Sudah siang!" panggilnya dengan suara serak. Sementara tangannya mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban. Dia mengetuk lebih keras lagi.

"Kak Ronald!"

Menunggu beberapa menit tidak ada tanda-tanda sang penghuni kamar akan bangun. Menghela napas, Vanesa memegang gagang pintu dan merasa takjub saat tahu pintu tidak dikunci.

Bagian dalam kamar remang-remang. Tidak ada lampu menyala hanya mengandalkan penerangan dari sinar matahari yang mengintip melalui jendela dengan gorden sedikit tersingkap. Menajamkan mata, Vanesa melihat Ronald tergolek di atas ranjang. Tidak memakai baju jika tidak salah lihat. Ragu-ragu sejenak dia menghampiri dan mencolek lengan Ronald.

"Kaak, bangun. Sudah siang," gumam Vanesa.

Dia menggelengkan kepala saat Ronald tetap tidur tengkurap tanpa reaksi. Dengan gemas dia mendekatkan mulutnya ke kepala Ronald dan mencubit lengan Ronald sambil berteriak.

"Kak Ronald, bangun!"

Entah kaget karena teriakannya atau merasa sakit karena cubitan, reaksi Ronald sungguh di luar dugaan. Dia berbalik dengan cepat, tangannya terulur meraup tubuh Vanesa. Sekali sentak Vanesa jatuh ke atas dadanya.

Kikuk dan kaget, Vanesa merasakan dada telajang Ronald. Mendadak tubuhnya makin panas.

"Vanesa? Ada apa?" tanya Ronald setengah sadar. Sementara Vanesa meronta dalam pelukannya.

"Kak, lepaskan aku."

Ronald mengamati istrinya yang meronta dan seperti tersadar dia meraba dahi dan wajah Vanesa.

"Badanmu panas," ucapnya serak.

"Iya, karena flu. Makanya cepat bangun, bantu aku mengurus Sean," rintih Vanesa. Terselip nada kesal di sana.

Ronald mengulum senyum. Tanpa diduga mempererat pelukannya pada Vanesa yang sekarang benar-benar kaku karena tidak bisa bergerak. Terperangkap dalam pelukan suaminya.

"Kak, ada apa ini? Lepaskan aku."

Terdengar helaan napas panjang dari mulut Ronald.

"Jangan bergerak, Vanesa. Sebentar saja, biarkan aku memelukmu. Kangen rasanya mendekapmu dalam pelukan dan mencium aroma tubuhmu."

Jantung Vanesa berdetak tak karuan. Tubuhnya seperti terpanggang. Untuk sesaat dia tergoda meletakkan kepalanya di atas dada Ronald dan merasakan kehangatan di sana. Lalu dia tersadar bahwa dia bukan dalam keadaan benar untuk bermesra-mesraan. Ronald yang sekarang bukan Ronald yang dulu pernah dia puja. Napas dan pelukannya masih sehangat dulu tapi cintanya tidak lagi sama.

"Jangan ngaco, Kak! Bangun! Lepaskan aku kalau nggak mau kugigit!" Sekuat tenaga Vanesa meronta.

Ronald mendesah lalu melepaskan istrinya perlahan. Matanya sayu dalam keremangan. Dia hanya diam saat melihat Vanesa bangkit dari atas tubuhnya dan merapikan rambut serta pakaian yang berantakan. Bukankah Vanesa terlihat menggiurkan dalam keremangan? Pikir Ronald getir.

"Vanesa," desahnya penuh damba.

"Bangunlah, Kak. Jangan terus menerus bermimpi. Ada Sean menunggu." Dengan ketus Vanesa menjawab lalu berderap keluar kamar.

Sementara Ronald memandang kepergian istrinya dengan merana. Ada kehangatan yang bangkit saat mencium aroma tubuh Vanesa. Ada perasaan mendamba yang sedari dulu dia pendam untuk Vanesa. Mengabaikan rasa kecewa dan bersalah, Ronald bangkit dari ranjang. Sungguh cara bangun tidur yang buruk, gerutunya dalam hati.

***

Sepeninggal Ronald ke kantor, Vanesa kembali tergolek di atas ranjang. Ronald bersikeras menyuruhnya ke dokter tapi dia menolak. Untunglah ibu mertuanya yang baik hati datang dan membantunya mengurus imunisasi Sean. Sekarang dia sendirian di rumah, dan setelah memakan sarapan serta meneguk obat dia mencoba tidur kembali.

Santi datang saat hari menjelang siang. Sambil mengoceh panjang lebar, dia membantu Vanesa membuat bubur untuk makan siang. Memaksa bahkan mengancam Vanesa agar mau dibawa ke dokter.

"Kenapa Ronald tetap ke kantor sementara dia tahu kamu sakit?" gumam Santi sambil mengaduk bubur di dalam panci.

"Karena cuma flu, Santi. Bukan sakit keras sampai harus ditungguin seharian. Dia kan perlu kerja."

"Tetap saja, harusnya dia datang membawamu ke dokter," sanggah Santi tidak puas.

"Dia menelepon tadi, sepuluh menit sebelum kamu datang. Menawarkan untuk mengantar ke dokter tapi aku nggak mau."

"Nah kan, kamu memang yang badung. Badan panas tinggi tetap kekeh untuk istirahat."

Vanesa hanya mengangguk, membiarkan sahabatnya mengomel panjang lebar menumpahkan kekesalannya. Ini memang kesalahannya, sudah terkena flu tapi masih jual mahal dan menolak uluran tangan Ronald. Jika keadaan tidak membaik sampai sore, dengan terpaksa dia harus ke dokter. Dia tidak ingin menulari Sean dengan penyakitnya.

"Aku dengar Kakak Ronald datang dari Malaysia?"

Vanesa mengangguk. "Iya, akan menetap di Jakarta untuk beberapa bulan."

"Anak dan suaminya? Dibawa atau nggak?" tanya Santi ingin tahu.

Vanesa menggeleng. "Sendirian dia."

"Wanita aneh," gerutu Santi.

Vanesa tidak menanggapi tapi membenarkan ucapan Santi. Jika tidak salah dengar Anisa punya suami dan seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun. Dia rela meninggalkan anak dan suaminya sendiri demi tinggal di Jakarta untuk jangka waktu lama, pasti ada suatu masalah. Apakah mungkin berkaitan dengan keinginannya membuka usaha di sini? Bukankah dia pernah menyebut-nyebut akan membuka kantor konsultan di Jakarta? Bekerja sama dengan Natali yang telah lebih dulu sukses? Vanesa tidak mengerti, lagi pula itu bukan urusannya.

Sementara Santi terus menerus bergerak untuk membantu Vanesa merapikan rumah dan memasak. Vanesa sang tuan rumah, duduk manis di meja makan dan menyantap bubur yang dimasakkan untuknya. Ayah dan ibunya sudah menelepon begitu tahu dia sakit tapi dia meyakinkan mereka jika sakitnya hanya flu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sebelum Santi pulang, Vanesa meminta bantuannya untuk mengantarkannya memeriksakan diri ke dokter. Demi Sean agar tidak tertular. Untunglah dokter mengatakan jika dia hanya terkena radang tenggorokan ringan dan hanya perlu beristirahat dengan cukup. Sepeninggal Santi, Vanesa kembali tertidur.

***

Ronald memandang handphone di tangannya dengan bingung. Dia tidak mengerti kenapa Vanesa tidak menjawab teleponnya. Apakah mungkin sedang tidur? Melihat keadaannya tadi pagi sebelum dia tinggalkan, bisa jadi istrinya sedang tergolek lemah. Rasa khawatir berlebihan membuatnya hilang konsentrasi dalam bekerja.

Saat dia memutuskan ingin menelepon sekali lagi, mendadak handphonenya bergetar. Nama Natali tertera dalam layar. Dengan senyum terkulum dia mengangkatnya.

"Iya, Nyonya cantik. Ada yang bisa kubantu?"

Terdengar tawa renyah dari seberang sana lalu suara Natali yang merdu terdengar di kuping Ronald.

"Hai, cowok ganteng. Sedang sibuk tidak?"

"Kenapa tanya-tanya begitu?"

Kembali Natali tertawa. "Kalau memang nggak terlalu sibuk, mau ngajak kamu ngopi. Ada waktu tidak?"

"Kapan?"

"Sore ini, jam empat. Café tempat kita dulu biasa bertemu, bagaimana?"

Ronald mengernyit, memandang jam dinding di depannya lalu mendesah sebelum menjawab.

"Maaf, aku nggak bisa."

"Kenapa? Sibuk? Bagaimana kalau pulang kerja?"

"Bukan, istriku sedang sakit. Hari ini aku ingin pulang cepat."

"Oh, parahkah?"

"Nggak, cuma flu."

"Baiklah. Lain kali kalau begitu."

Ronald mendengar nada kecewa dalam suara Natali tapi mau bagaimana? Tetap saja istrinya yang harus diutamakan. Dengan sigap dia merapikan dokumen yang berserakan di atas meja, menulis perintah untuk Jery di atas memo kecil dan menempelkannya di layar komputer. Jery yang saat ini sedang melakukan kunjungan keluar, akan mengerti tugas apa yang harus dia lakukan saat membaca memonya.

Tidak lama pesan dari Vanesa masuk, mengabarkan jika dia sudah ke dokter diantar Santi dan panasnya juga sudah turun. Berucap syukur dalam hati, Ronald mengemasi tasnya dan berniat pulang. Sebelum itu, dia akan menjemput Sean lebih dulu dari rumah orang tuanya.

Ronald terpaksa memarkir mobilnya agak jauh dari rumah karena persis di depan pagar rumahnya ada sebuah mobil lain terparkir. Dengan perasaan heran dia mengambil Sean dari kursi bayi yang dia letakkan di tengah mobil. Menggendong sambil menenteng tas kerjanya.

Apa yang dia lihat dan dia dengar membuatnya marah. Seorang laki-laki berdiri di depan pagar dan berkata keras-keras pada istrinya. Bukankah Vanesa sedang sakit? Kenapa dia keluar untuk bicara dengan Vico? Lamat-lamat dia dengar percakapan mereka.

"Sayang, kamu sakit. Terlihat pucat, ayo. Aku antar ke dokter."

"Vico, aku baik-baik saja. Sudah ke dokter, lagi pula kenapa kamu percaya omongan Santi, sih?" jawab Vanesa ketus. Ada nada kesal terselip di sana.

Mau nggak mau Ronald merasa senang mendengar istrinya marah. Laki-laki itu memang kurang ajar.

"Aku ingin mengurusmu, Sayang."

"Vico, jangan macam-macam. Please, pergilah."

Tidak tahan dengan adu argumen yang dia dengar, Ronald berdehem. Sejenak, keterkejutan menghiasi wajah Vanesa dan Vico.

"Aih, anak Mama. Sini gendong."

Mengabaikan Vico, Vanesa mengulurkan tangan dan meraih Sean dalam pelukannya. Sementara Vico dan Ronald saling berpandangan penuh pertentangan. Jika bisa dilihat dengan mata telanjang, ada kobaran api yang membara di antara dua laki-laki di depan Vanesa.

Vanesaa membawa Sean masuk ke dalam. Ronald mengikuti di belakangnya dengan Vico tak mau kalah. Mengekor mereka.

Sementara Vanesa membawa Sean masuk ke kamar, Ronald dan Vico berdiri berhadapan di ruang tamu. Ronald sama sekali tidak ingin mempersilahkan Vico duduk. Pun sebaliknya, Vico lebih suka berkeliling ruangan, mengamati hiasan di dinding daripada duduk di sofa.

"Coba katakan, apa mau kamu? Emang nggak lihat kalau Vanesa itu sudah bersuami?" tegur Ronald.

Vico menoleh padanya dan menjawab pelan. "Pernikahan terpaksa, kamu pikir aku tidak tahu kalau dia terpaksa menikahimu karena desakan orang tua?"

Sesaat Ronald tertegun. Sama sekali tidak menyangka dengan jawaban Vico. Ruang tamu sunyi, hanya terdengar suara celoteh Sean dari dalam kamar dan Vanesa yang bicara sama-samar dengannya.

"Apa pun alasannya, kini dia milikku. Emang nggak bisa kamu kendalikan keinginanmu untuk menemuinya?"

Mendadak Vico tertawa terbahak-bahak. Berkacak pinggang dan berseru pada lawan bicaranya.

"Manis sekali omonganmu, berpura-pura sebagai suami penuh cinta yang bertanggung jawab. Kamu pikir aku nggak tahu kalau dulu kamu mengkhianatinya? Menghancurkan hatinya? Jika bukan karena bersamaku, Vanesa tidak akan lagi sama!"

"Aku sedang berusaha memperbaiki kesalahanku. Mencoba merebut hatinya kembali. Bisakah kamu biarkan kami sendiri?"

Vico meringis mendengar kata-kata Ronald. Dia menatap terang-terangan dan menantang. Ronald sendiri tidak mau kalah.

"Kalau aku tidak mau? Kamu mau apa? Dari awal aku sudah tegaskan ke Vanesa jika aku akn tetap mengejarnya."

"Sungguh laki-laki tak tahu diri," desis Ronald marah.

"Enak aja kamu bilang begitu! Harusnya kamu ngaca jika yang tidak cukup tahu diri itu kamu!" tuding Vico dengan kesal. Tangannya menunjuk ke muka Ronald. "Lihat dirimu, seorang duda dengan anak yang bermimpi mendapatkan cinta Vanesa kembali. Setelah menyakiti dan mengkhianatinya? Ngaca!"

Ronald mengeram, mendekati Vico dan mencengkeram kerah kemejanya.

"Berani-beraninya kamu bilang gitu! Itu hakku, dia istriku!"

"Istri terpaksa!" teriak Vico tepat di muka Ronald.

"Kamu nggak ada hak bicara begitu!" sembur Ronald.

Saat keduanya berhadapan dengan marah membara, terdengar sentakan napas dari belakang. Vanesa datang dengan sapu di tangan. Tanganya berkacak pinggang, memandang ke dua laki-laki di depannya dan menghardik marah

"Kalian berdua berisik! Keluar dari rumahku! Menganggu anakku saja!"

Tanpa disangka Vanesa mengayunkan sapu di tangannya dan memukul dua lelaki di depannya secara bergantian.

"Aduh, Vanes. Sakit," teriak Ronald sambil menghindar.

"Kalian pikir ini lapangan? Bisa seenak jidat berantem di sini?" omelnya tak peduli.

"Sayang, kenapa kamu memukulku? Sakitt, aww," teriak Vico sambil meghindar.

Vanesa membuka pintu depan dan menunjuk dengan garang pada Ronald dan Vico.

"Keluar kalian berdua! Sekarang!

"Sayang, jangan gitu," rintih Vico.

"Mau aku pukul lagi? Apa kalian tidak sadar membuat anakku ketakutan?" geram Vanesa.

Tanpa aba-aba dia kembali memukuli Ronald dan Vico. Hingga membuat keduanya tak tahan dan menghambur keluar.

"Nah, sekarang kalian mau berantem atau saling tonjok, lakukan di halaman," teriak Vanesa. "Kalau masih tidak puas, aku suruh polisi datang! Dasar, bebal semua!" Dengan sekali sentak, Vanesa membanting pintu hingga tertutup.

Ronald dan Vico memandang pintu yang tertutup dengan tatapan tidak percaya. Ronald bahkan masih bisa merasakan sakitnya pukulan Vanesa di lengannya. Vanesa yang manis, mengamuk! Sungguh hebat wanita itu. Keheranannya makin membesar saat melihat Vico tertawa terbahak-bahak.

"Lihat, kan. Betapa hebat Vanesaku. !" Dengan tawa masih terdengar dari mulutnya, Vico pergi meninggalkan Ronald sendiri.

Ronald memandang kepergian Vico dengan heran. Beralih pada pintu rumahnya yang tertutup rapat. Baru kali ini dia terusir dari rumahnya sendiri. Itu karena dia membuat keributan dan Vanesa tidak menyukainya. Ronald menggelengkan kepala dan duduk di undakan depan pintu. Merenungkan betapa garangnya Vanesa saat mengusir mereka. Semua dia lakukan demi Sean, demi melindungi kenyamanan bayi kecil mereka.

"Aku laki-laki dewasa yang terbawa perasaan karena cemburu. Dia wanitaku, cinta dalam hidupku. Ada laki-laki lain yang menginginkannya dan aku cemburu," gumam Ronald sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Lembayung senja menggantung di langit. Burung-burung kembali ke sarangnya. Sayup-sayup Ronald mendengar celoteh tawa anaknya dari dalam rumah. Dia duduk sendiri dan terpekur, merasa seperti pecundang karena cinta.

"Mili, aku tak pernah bisa melupakan Vanesa."



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro