Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mobil jeep putih berhenti di sebuah pelataran halaman rumah megah di atas bukit. Rumah bercat putih dengan nuansa klasik dan sentuhan tradisional, mengundang decak kagum siapa pun yang melihatnya. Empat orang turun dari mobil tersebut membawa tas ransel masing-masing di punggung. Mereka mengamati rumah besar di depannya. Tampak megah juga penuh misteri.

"Kamu yakin rumah ini yang dikatakan orang-orang itu?" Tanya Bela sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Yakin banget. Aku dan Dian pernah survey ke sini, yaa meski tak sampai masuk ke dalam." Surya menjawab tanpa menatap Bela. Dia sibuk mengagumi arsitektur rumah megah di depannya.

"Rumahnya megah banget loh. Nggak ada serem-seremnya. Aku sih bakal betah tinggal di sini." Vian mengamati setiap jendela yang berada di sisi kiri. Jendela berukiran dedaunan dengan gaya aristokrat. Mungkinkah pemilik rumah ini keturunan bangsawan? Pikir Vian.

"Huu ... belum aja kamu dicekik pas tidur nanti," celetuk Bela mencibir. Vian mendelik yang kemudian dibalas pelototan gadis manis berwajah bulat itu.

"Sudah, kalian jangan mulai!" Kandisha dengan malas menegur dua orang tersebut.

Dengan langkah hati-hati, ia bergegas menapaki undakan tangga teras yang menghubungkan halaman dengan teras utama. Semakin dekat dengan pintu rumah, hatinya bergetar tak menentu. Entahlah, seakan-akan rumah ini sangat familiar dengannya.

Melihat Kandisha telah mendahului mereka, ketiganya segera menyusul, mengekor di belakang gadis berkepang dua tersebut.

Sesampai di teras utama, Kandisha menghela napas. Jantungnya berdegap, irama yang tak senada tetapi entah mengapa menggetarkan rasa yang kuat. Rasa ingin segera memasuki rumah ini.

"Kenapa tak ada orang-orang?" Surya menengok ke kanan dan kiri. "Kata Dian akan ada orang yang menyambut kita. Mengapa tak ada satu pun."

Kandisha menghela napas jengah. Dian. Bagaimana mungkin Surya begitu percaya pada wanita itu. Jika Dian memang ingin membantu mereka, setidaknya pasti wanita metropolitan itu akan menyarankan mereka menginap di hotel yang nyaman.

"Tidak usah mengharapkan bantuan wanita itu," ketus Kandisha menghentikan Surya yang akan kembali berucap.

Vian dan Bela memelototi Surya. Gemas. Kenapa pria itu tak peka juga bahwa Kandisha tentu saja tak menyukai segala hal yang berhubungan dengan Dian. Mana mungkin ada wanita yang bersedia mendengarkan semua hal tentang wanita lain yang merebut calon suaminya.

"Bego lu ya," bisik Bela sambil menyodokkan sikut ke lengan Surya.

Surya meringis dan mencebik, tetapi dia menunduk merasa tak enak hati. Dia melupakan hal sensitif ini. Melihat Kandisha yang mematung di depan pintu, membuat rasa bersalah itu semakin membesar.

Vian maju selangkah, menyejajari Kandisha. Wanita itu tidak terlihat sedih, tetapi mengamati ukiran di pintu masuk. Pada akhirnya ia pun ikut mengamati ukiran tersebut.

"Ini ... huruf apa ini? Aneh, ini bukan huruf sansakerta." Vian mengamati dalam-dalam.

Mendengar apa yang diucapkan Vian, Bela dan Surya maju berdesakan dan mendorong Vian ke belakang. "Hei! Rese kalian," cerca pria berambut sebahu itu.

Lain dengan ketiga temannya, Kandisha mengamati huruf-huruf itu dengan kerutan di dahinya. Ia begitu familiar dengan huruf-huruf ini. Namun, di mana ia melihat huruf ini?

"Kau datang, maka kusambut. Kau pergi, tak akan pernah bisa kulepas lagi. Masuklah, maka kau akan menemukan jawabannya."

Vian, Bela, juga Surya menoleh pada Kandisha. Bibir wanita berkepang dua itu bergumam merdu membaca huruf-huruf aneh yang berada di pintu.

"Kau bisa membacanya?" tanya Bela takjub. Vian kembali mengamati pintu itu, kemudian kembali menatap Kandisha.

"Aku tak tahu, hanya saja ... entah mengapa aku seakan mengenal huruf ini." Telunjuk Kandisha mengelus ukiran huruf-huruf tersebut.

Saat mereka masih fokus meneliti huruf-huruf tersebut, suara langkah kaki yang diseret memasuki pendengaran. Serentak empat kepala itu menoleh ke kiri. Di sana, ujung tembok kiri, sosok kakek-kakek berjalan pincang tengah berjalan menuju arah mereka. Pandangannya redup bahkan tak terlihat emosi apa pun di wajahnya.

Ketika jarak mereka telah dekat, seukuran tiga langkah, sang kakek berhenti. Dia mendongak, meneliti satu persatu wajah tamu-tamu. Hingga kemudian, dia berhenti lama menatap wajah Kandisha. Perlahan, bibirnya mengukir sebuah senyum penuh makna. Ia kemudian merogoh saku celana hitam, mengambil sebuah kunci antik berukiran huruf aneh, yang bertuliskan 'Kandisha'.

Dahi Kandisha mengerut. Tiba-tiba saja rasa sakit seakan-akan menghantam dada. Tangan kanan gadis itu terangkat lalu menepuk dadanya perlahan. Mengapa ini begitu sesak?

"Ini kuncinya," sahut kakek tersebut sambil memandang Kandisha. Kandisha tak menghiraukan kata-kata sang kakek. Vian menatap kakek tua di depannya dengan ragu.

"Anda penjaga rumah ini?" tanyanya. Sang kakek mengangguk.

"Kalian diijinkan menginap di rumah ini, tetapi ingat ... jangan bertindak sembarangan."

Surya mengangguk, kemudian berkata, "Teman-teman kami yang lain akan datang beberapa saat lagi. Maafkan saya yang baru mengatakan hal ini, tetapi info ini baru saya terima ketika sudah sampai di sini."

Vian, Bela, bahkan Kandisha kini menoleh pada Surya. "Teman-teman yang mana, yang kau maksud?" Bela berkacak pinggang. Surya terlihat bingung menjelaskan. Pria itu menggaruk belakang lehernya.

"Di—Dian," akunya. Vian melotot, Bela mencibir, Kandisha menghela napas jengah. Surya sekali lagi merasa bersalah.

"Aku nggak bisa nolak, selain dia ...." Surya menoleh pada Kandisha, kemudian menutup bibirnya erat-erat. Dia benar-benar serba salah. Di satu sisi, Dian adalah sepupunya, sisi lain dia adalah tim kerja Kandisha. Surya tak bisa menolak permohonan Dian, karena gadis itu selalu menjual nama Hadi, yang merupakan manajer langsung proyek ini. Sedangkan Hadi, pria itu merupakan mantan tunangan Kandisha.

"Sudahlah, ayo kita masuk." Kandisha telah memutuskan. Gadis itu menghadap kakek tua yang masih mengamatinya dengan seksama.

"Bolehkah aku mengetahui siapa nama Bapak?" tanya Kandisha.

"Panggil saya, Ki Yakta. Rumahku tak jauh dari rumah ini. Ada jalan setapak di belakang rumah ini, ujung jalan itu terhenti pada sebuah gubuk kecil. Kau bisa menemuiku di sana." Ki Yakta menyerahkan kunci pada Kandisha. Memandangnya penuh arti, kemudian berbalik berniat pergi.

Kandisha masih tertegun ketika Ki Yakta berhenti, kemudian menengok kembali padanya. "Kunci itu dapat kau gunakan untuk membuka seluruh ruangan di rumah ini. Namun, hanya kau yang dapat membukanya. Ingatlah hal ini." Ki Yakta kembali berbalik.

"Jika bukan Kandisha? Apa yang akan terjadi padanya?" Vian dengan lantang bertanya. Bela kemudian menyodok rusuk pria itu, memelototinya ganas. "Udel sableng!" cemoohnya. Vian memeletkan lidah pada Bela sebelum fokus kembali pada Ki Yakta.

"Aku hanya berpesan, jangan pernah berniat melanggar aturan ini." Ucapan pria tua itu lirih, tetapi terdengar ke telinga masing-masing orang. Membuat jantung mereka menggigil ketakutan.

Setelah menyaksikan kakek tua itu kembali pergi. Empat pasang mata memandangi kunci rumah berbentuk aneh di tangan Kandisha.

"Kalian mau mencoba?" tawar Kandisha. Vian melotot, Bela segera melangkah mundur, hanya Surya yang terlihat berminat, tetapi takut dengan ucapan Ki Yakta.

"Kamu aja deh, Sha!" Bela memandang Kandisha dengan bibir mengerucut. Dia adalah teman dekat Kandisha. Meski mungkin dua pria itu tak akan percaya jika menjelaskan hal-hal mistis yang berkaitan dengan Kandisha, Bela sangat mempercayainya. Sebab Kandisha lebih pendiam daripada yang lainnya serta dikatakan gadis aneh, semua itu karena kemampuan abnormal yang dimiliki gadis itu. karena itu, ketika Ki Yakta menjelaskan tentang kunci rumah hanya boleh Kandisha yang memegangnya, Bela tak akan pernah menyangsikan.

Tepat ketika Kandisha akan membuka kunci pintu, mobil jeep berwarna hitam memasuki halaman rumah. Keempatnya menoleh, menyaksikan kepongahan pengemudinya. Setelah mobil berhenti sempurna, kedua pintu mobil membuka. Dua orang, pria dan wanita yang berpakaian modis keluar dengan senyum manis tersungging di bibir masing-masing.

"Apa-apaan dia," desis Bela. Sama halnya dengan Bela, Vian mendecak tak suka. Kandisha mengalihkan pandangan, kembali fokus membuka kunci. Hanya Surya yang menyambut kedua orang yang datang itu, Dian dan Hadi melangkah saling merangkul. Sesekali Hadi membisikan sesuatu ke telinga kekasihnya, yang kemudian ditanggapi cubitan manja Dian.

Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan Bela dan Vian, tetapi ketika mereka berniat akan masuk, langkah mereka terhenti ketika Dian menarik bahu Bela.

"Kalian buta tidak melihat bos di sini," sentaknya. Bela melotot, lengannya ditahan Vian ketika dia akan menerkam Dian. "Jangan buat ulah," bisik Vian.

"Du, du, duu ... manusia bar-bar." Dian bersedekap, memandang angkuh pada Bela.

"Sudahlah, Sayang. Ayo kita masuk," ajak Hadi sambil merangkul pinggang Dian. Pandangannya menoleh pada Kandisha yang tak acuh dengan kehadiran mereka. Wanita berkepang dua itu bahkan tengah mengambil ponselnya, mengetik sesuatu di sana. Sepertinya tengah membalas sebuah chat. Melihatnya begitu cuek, Hadi merasa marah pada gadis membosankan itu. Pria itu semakin merapatkan tubuh Dian, lalu menarik masuk kekasihnya.

Melihat suasana menegangkan barusan, Surya menghela napas. Dia kemudian melirik mobil Jeep hitam milik Hadi, mendesah kesal, lalu beranjak turun untuk menurunkan barang-barang Dian dan bosnya. Sudah menjadi kebiasaan, dan Surya tak bisa protes sama sekali.

Vian menarik Bela mengikuti Kandisha masuk. Mereka bersisian mengapit Kandisha yang tengah mengamati ruang tamu. Perasaan familiar itu kembali lagi. Namun, dia menggelengkan kepala. Merasa tak mungkin bahwa dia pernah ada di sini.

Wusshh!

Sepoi angin bertiup dari arah jendela. Melambaikan gorden putih tipis yang bertengger di sana. Angin sejuk yang terasa mendamaikan, tetapi Kandisha merasakan sesuatu yang lain. Dingin dan panas di saat bersamaan. Gadis itu mengusap tengkuk perlahan.

"Aku mau kamar yang itu, kamar utama. Pasti besar." Suara manja Dian terdengar. Viand an Bela menoleh melihat tingkah menjijikan gadis bergincu merah itu. Kompak, mereka memutar bola matanya.

"Pilih sesukamu sayang," ucap Hadi semakin membuat Bela ingin muntah. Dian terkikik, ia kemudian menatap Kandisha dengan angkuh sebelum heelsnya berdetak melangkah ke arah kamar utama.

Tangan gadis itu terayun, kemudian kemari kanannya menggenggam pegangan pintu. Menekan tuas, lalu mendorongnya dengan penuh semangat. Namun, bukannya pintu terbuka, tiba-tiba saja Dian memekik dengan jeritan keras. Ia langsung melepaskan pegangan pintu,. mundur beberapa langkah hingga terjerembab ke lantai.

Hadi bergerak maju dengan cemas. Segera menopang tubuh kekasihnya yang terlempar. "Sayang, sayang ... kau baik-baik saja?" Dian meraung memegang tangan kanannya yang tiba-tiba saja memar.

"Aku tak tahu ... huuuu, pintu itu aneh. Pintu itu seperti ada aliran listriknya." Di sela-sela tangis, Dian menjawab sambil memandang pintu dengan ketakutan.

Hadi mengernyit heran. Bela tersenyum puas, Vian mengerutkan bibir menahan senyuman. Hanya Kandisha yang tak menampilkan emosi apa pun. Mata gadis itu memandang pintu berwarna coklat pekat tersebut. Gagangnya berbentuk kepala singa, sedangkan pada tubuh pintu terdapat ukiran huruf-huruf aneh serupa di pintu masuk.

'Dalam setiap hembusan napas, namamu terucap. Untuk membalas kasihmu, kupersembahkan singgasana ini untuk sang permata suci.'

Detak jantung Kandisha kembali berdetak cepat. Seolah-olah, kalimat yang terukir di sana ditujukan untuknya semata. Air mata berlinang pada pelupuk, menetes perlahan, mengalir menyusuri garis-garis pipi. Entah mengapa, ia merasa 'pulang'. Pada rumah yang sebenarnya, pada hati yang sesungguhnya.

Sepoi angin kembali berhembus perlahan, berbisik dalam senandung detak jantung. Kandisha memejamkan matanya, merasakan pelukan tak kasat mata. Begitu hangat symphony yang berdengung ditelinganya. Bisikan yang tak ia sadari telah lama dinantikan.

"Cintamu dan cintaku, tak pernah mati, wahai rastajingga."

Bersambung 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro