Chapter 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hilang arah. Waktu masih menunjukkan pukul sebelas siang, sudah beberapa jam berlalu sejak pertemuannya dengan Matthew, tapi efeknya masih terasa hingga sekarang. Degup jantungnya berdegup seakan-akan dia sedang mengikuti lomba maraton.

Dunianya seakan hancur, mungkin ini terlalu lebay untuk hubungan yang bahkan tidak lebih dari sahabat, tapi di titik sedini ini dia sudah hilang arah. Datangnya sentilan kecil berupa ujaran sarkas dari Matthew sudah mampu memporak-porandakan Airine.

Airine memaksakan senyumnya, Bumi mendengkus kesal melihat Airine seperti ini. "Airine, kalau kamu capek mending istirahat dulu. Kerjaanmu daritadi ngawur semua. Kalau bos tahu kamu bisa diomelin dari sekarang sampai jamnya pulang. Ngerti bahasa Indonesia, nggak, sih?"

Airine tidak menggubris ucapan Bumi, dia masih menulis nota pembelian yang diminta pembeli. "Kuping tolong dipake, Airine. Jangan paksa aku buat ngomong kasar ke kamu."

Airine menghela napas panjang, ada seringai menyedihkan terlihat dari wajah pucatnya. "Itu hak kamu. Maki aku, bilang aku rendahan pun aku nggak akan marah, Bumi. Itu hak kamu. Aku nggak lebih dari manusia rendahan yang kocar-kacir nyari uang buat bertahan hidup. Aku nggak punya hak untuk marah."

Bumi meremas rambutnya kasar, lalu mengusap wajahnya. Dia melirik ke arah pelanggan yang sudah melipat tangan di dada. Dari sorot matanya sudah terlihat kalau batas kesabarannya hampir habis.

"Airine, denger aku. Ini demi kamu juga, pelanggan ini udah mau ngamuk, tuh. Aku bantuin biar cepet, ya. Please, jangan kayak gini. Sekarang biarkan aku bantu kamu, ini udah berapa kali kamu salah nulis di nota? Kamu nggak fokus, Airine. Istirahat bentar doang, lagian ini udah waktunya istirahat juga. Please, dengerin aku. You are gonna be fine. Please go and take short rest, cuci wajahmu, nyemil atau bikin teh manis hangat kesukaanmu. Kamu mau pesan di aplikasi pesan antar makanan juga bisa, aku yang bayarin. Tolong dengerin aku, ya?"

Airine berhenti menulis, meletakkan bulpen di atas kertas nota dan menggeser badannya biar Bumi bisa mendapat cukup ruang. Sorot matanya memperlihatkan sorot mata kecewa, matanya mulai berkaca-kaca.

Bumi segera mengambil alih tugas Airine, menulis pekerjaan tersisa secepat mungkin lalu memberikan ke pelanggan tadi. Beruntung sudah tidak ada lagi pelanggan di siang ini. Bumi punya cukup waktu untuk mengajak Airine berbicara.

Airine memilih berdiri, menaruh tangan di etalase toko, dan menatap ke depan dengan pandangan kosong. Meskipun tatapannya ke arah depan, dia bisa menyadari ada Bumi yang mendekat ke arahnya.

Airine tersenyum tipis. "Lucu, ya? Ternyata aku sangat tidak berguna. Nggak guna, sialan. Kerja keras sia-sia, badan remuk, perasaan hancur, kerja nggak beres."

Bumi memijat keningnya pelan, dia jarang melihat Airine sehancur ini. Dia cenderung menutupi diri, hanya menampilkan ekspresi bahagia. Dia tidak tahu kata apa yang tepat untuk diucapkan, ingin memeluk tapi dia takut ini akan melanggar privasinya, dia tidak ingin melewati batas.

Airine mulai menangis, menutup wajahnya dengan telapak tangan. Isak tangisnya terdengar menyedihkan, Bumi mengepalkan tangannya. Dia tahu penyebabnya, tapi dia tidak bisa bertindak seenaknya.

"You must think i am stupid, Bumi. Aku nggak tahu apa yang salah. Aku nggak tahu aku harus ngapain. Oh, aku tahu," ucap Airine lagi sambil memandang Bumi dengan pilu.

"Aku adalah kesalahan itu sendiri. Kurasa aku harus jaga jarak dulu, aku tahu kamu ada di depan toko saat beliau datang, Bumi. Nggak usah bilang ini ke Dandy, nanti hubungan mereka makin renggang."

Bumi terkejut mendengar ucapannya barusan. "Kamu tahu? Kenapa kamu diam aja? Kamu diinjak-injak, Airine. Kenapa kamu biarin kamu diinjak kayak tadi?"

Dia mulai mengeluarkan pertanyaan yang terputar di benaknya sedari pagi. Airine hanya menghela napas panjang lalu tertawa pelan.

"Bumi, ini klise. Permasalahan umum yang sangat amat klise. Kurasa nggak ada manusia yang mau harga dirinya diinjak, Bumi. Hanya saja, yang punya kuasa akan menjadi pemenangnya. Kamu tahu siapa yang berkuasa, kan? Aku bisa saja memberontak, tapi itu hanya akan menjerumuskanku lebih dalam lagi di gua penderitaan ini. Percuma, Bumi. Semua sia-sia."

"Jadi, kamu bilang kalau usahamu ngejar kerja sana-sini itu sia-sia?" tanya Bumi dengan tatapan nanar.

Mereka saling bertatapan, menunjukkan sorot mata penuh kesenduan.

"Iya, semua ini kusebut sia-sia. Mungkin Tuhan juga menyesal sudah membiarkanku hidup, karna pada akhirnya aku akan menjadi batu sandungan bagi orang lain."

Bumi menepuk pundak Airine perlahan. "Take a deep breath, Airine. Hang on little longer, okay? Kamu bukan kesalahan, usahamu tidak sia-sia. Kamu hanya belum menemukan rumahmu. Rumah tempat kamu bisa berlindung, menaruh topeng baik-baik sajamu itu dan istirahat dengan nyaman."

Airine semakin terisak mendengar tutur katanya. Badannya gemetar, Airine menangis sambil memukul dadanya keras. "Sakit, Bumi. Sakit, dadaku sakit. Kepalaku sakit," ucapnya sambil mengelap air mata dan hidung dengan kasar.

Airine mulai menangis tanpa suara, dia tidak ingin menarik perhatian orang lain. Dia tidak ingin membuat heboh dan dicap sebagai orang yang kurang perhatian, meskipun sejatinya dia ingin mendapatkan kasih sayang dari lebih banyak orang.

"Bumi, aku udah berjuang sekuat tenagaku. Aku berjuang pagi, siang, malam buat bertahan hidup. Tapi, semua sia-sia. Aku harusnya bersyukur, beliau membuatku sadar ternyata aku serendah ini. Aku seklise ini, ternyata aku tidak sekuat yang aku pikirkan. Bodoh memang, aku tidak tahu aku suka dengan siapa, kenapa aku bisa kepikiran kalau aku suka sama mas Elano dan Dandy?"

Bumi meraih jemari Airine lalu menggenggamnya erat. "Kamu bukanlah sebuah kesalahan. Ingat ini baik-baik, Airine. Semua perlu proses, tidak semua orang terlahir kaya raya, ada orang yang perlu kerja keras banting tulang pagi, siang, malam biar bisa bertahan hidup. Mungkin hasilnya tidak terlihat sekarang, tapi tabunganmu nggak akan menghianatimu. Yah, istilahnya usaha nggak akan mengkhianati hasil."

"Kamu nggak tahu, Bumi. Hasil mengkhianati usaha itu nyata adanya. Tidak semua akhir kisah berakhir bahagia, mungkin tergantung amal dan ibadah kali, ya? Aku kurang dekat sama Tuhan, apa sekalian aku akhirin aja hidup biar deket sama Tuhan?"

Speechless. "Don't dare to do that thing, Airine. Stay alive, please. Kamu masih punya kesempatan. I know this is sucks, but you still have another chance. Lagian ya, kamu nggak akan masuk surga dengan bunuh diri, kamu kira Tuhan suka hambanya mengakhiri hidup kayak gitu? Kalau Tuhan belum kasih titik, jangan kasih titik seenak jidat. Kamu masih bernafas artinya masih ada tugas-tugas yang Tuhan mau kamu kerjain, perjalanan kamu masih panjang. Tolong kalau lagi capek, jangan mikir yang aneh-aneh, oke? Cukup datang ke aku, aku temani. Kamu nggak sendirian, Airine. Kamu nggak pernah sendirian, oke?"

Airine tidak membalas ucapan Bumi, ada kiriman yang datang sehingga Airine segera mendekat dan mengecek barang yang datang. Airine meninggalkan Bumi yang masih ingin mendengar respon Airine, dia hanya ingin memastikan Airine paham dengan apa yang dia jelaskan tadi. Namun, Bumi sadar Airine juga keras kepala, nggak beda jauh dengan Dandy. Mungkin dia harus mempertimbangkan waktu yang tepat untuk menghajar Dandy supaya dia sadar kalau dia tidak bisa menggantungkan perasaan dua wanita terlalu lama.


-Bersambung-




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro