Chapter 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ekspresi kaget hanya terlihat dari sisi Dandy, sedangkan Clairine lempeng-lempeng aja dengan bibir manyun yang membuat rasa penasaran Dandy menggelora.

"Dandy salah apa, pa?"

Matthew kembali tersenyum, anak kesayangannya sudah tumbuh menjadi pria muda yang tampan, sayangnya dia kadang-kadang nggak pakai logikanya untuk berpikir, atau mungkin logikanya nggak jalan karena perasaan cinta.

"Maksudmu gimana, Nak?" Matthew kurang paham dengan apa yang ingin disampaikan anak kesayangannya.

Dandy menggaruk kepala heran.

"Tadi papa bilang papa akan ke sini kalau pikiran lagi semrawut blunder gitu. Papa ke sini artinya pikiran papa lagi blunder, kan? Terus papa ajak Dandy ke sini, artinya Dandy yang buat pikiran papa semrawut, nggak, sih?"

Clairine mengulum senyum, dia senang melihat dua manusia di depannya berinteraksi. Walaupun keduanya minim ekspresi, terlalu datar menjadi manusia. Namun, dia sadar kalau mereka saling menyayangi.

"Oh, kamu terlalu banyak pikiran, Nak. Papa suka tempat ini, nyaman dan tenang. Lagipula, terjamin juga keamanannya. Ada pengawal-pengawal papa di sini. Kamu tahu sendiri situasi sekarang lagi panas-panasnya, cuaca udah panas, ditambah kasus yang ada. You better go with my bodyguard, son. For your own safety."

Dandy menghela napas panjang. "Pa, kalau ini buat papa lebih rileks, Dandy nggak masalah dengan adanya pengawal. Tapi, nggak usah terang-terangan ngikutin Dandy bisa, kan? Malesin aja kalau jadi pusat perhatian. Lagian yang lebih membutuhkan perlindungan khusus kan papa, bukan Dandy. Rekan kerja papa atau saingan bisnis papa, nggak tahu wajah Dandy, kan?"

"We never know that, son. Better to be carefull. We know that better than anyone else, right?"

Wajah Dandy berubah murung. "Papa masih takut kejadian yang menimpa adek terjadi lagi?"

Pria itu menunduk, tersenyum sendu. "It was my fault, son. I should protect your mother better than before, especially because she was pregnant. I lost your brother or sister because of that accident."

"Pa, at least mom still alive. I still need mom and you. Please, take care yourself. Lagipula, itu karena saingan bisnis papa yang brengsek. Bisa-bisanya mau celakain mama biar papa mundur. Orang gila itu pantas dipenjara. Cuman ya papa mesti sadar kalau saingan bisnis itu mati satu tumbuh seribu, jangan berhenti waspada, pa."

Matthew tersenyum tipis. Rasanya dia ingin membeberkan kelanjutan tentang orang itu ke Dandy. Namun, masih ada beberapa hal yang ingin diurus sendiri sebelum mengatakan kebenarannya. 

 "Ya, papa tahu. Kita bisa makan dulu, sambil papa bahas apa yang mau disampaikan."

Pada akhirnya Matthew tidak jadi mengatakan apa yang ada di pikirannya, dia masih ingin menikmati pemandangan di hadapannya, wajah ceria anak yang sering bertengkar dengannya. Anak yang sama keras kepala dengannya, anak yang ingin dia lindungi sepenuh hatinya.

Berbeda dengan senyuman hangat di wajah Matthew, Dandy menatap Matthew dengan satu alis terangkat sedangkan Clairine tersenyum kaku. Wajah Clairine memucat, jantungnya berdegup kencang, badannya keringat dingin. Rasanya dia ingin kabur dari tempat ini, sayangnya dia sudah diberi kepastian untuk dibantu jika dia membantu. Sial memang.

"Clairine, kenapa? Diem amat. Biasanya juga berisik. Lagi sakit perut? Salah makan? Apa karena kebanyakan makan? Rakus sih jadi orang," ejeknya puas.

"Ish, berisik. Udah makan aja, laper ini," balas Clairine kesal.

Matthew senang melihat interaksi keduanya, mereka terlihat jauh lebih dekat daripada yang dia kira. Sudah lama dia tidak melihat Dandy dan Clairine di satu tempat yang sama. Matthew lebih sering bertemu Clairine dibanding anaknya yang gemar kabur dari Matthew. Setiap kali ditanya Matthew kenapa dia melakukan hal ini, pasti akan dijawab semua ini demi kebaikan mereka berdua. Ayah dan anak yang gemar bertengkar, beradu debat dan mempertahankan pendapat masing-masing.

Mengingat semua pertengkaran itu dan melihat anaknya sekarang berada bersamanya, dan disampingnya ada seorang wanita muda yang dikenalnya dari dia masih kecil. Semua terlihat begitu indah dan menyenangkan.

"Kalian cocok," gumam Matthew senang. Wajahnya terlihat cerah, semoga saja Dandy tidak memberontak dengan ide yang akan dia sampaikan nanti.

Mendengar gumaman itu membuat Clairine dan Dandy langsung menatap dengan bibir melongo ke arah Matthew. 

"Hah? Ih, papa bilang apa, sih?" tanya Dandy dengan bulu kuduk merinding.

"Apa? Papa bilang kalian cocok, emang salah? Nggak ada yang salah dengan pernyataan papa barusan. Kalian memang cocok. Lagipula, kamu juga nggak lagi dekat dengan siapa-siapa, kan? Kenapa kamu nggak nyoba sama orang yang ada di dekat kamu? Clairine contohnya," lanjut Matthew senang.

Sayangnya, Dandy dan Clairine tidak sesenang itu. Entah kenapa dia merasa ini adalah tanda-tanda bahaya dan inilah yang membuat perasaannya tidak tenang sedari awal mengetahui ajakan pertemuan dari Matthew hari ini.

"Pa, papa nggak tahu soal itu. Papa nggak tahu Dandy lagi dekat sama siapa, lagipula Dandy dan Clairine udah kenal dari jaman kuda, dari masih kecil banget. Kita teman baik, Dandy sayang sama Clairine, tapi sebagai saudara."

Matthew terdiam untuk beberapa saat sebelum kembali tersenyum menyeringai. "Kamu yakin cuman anggap Clairine sebagai saudara? Yakin nggak lebih?"

Clairine menggaruk kepalanya, berada di situasi semacam ini kurang menyenangkan. Entah kenapa dia merasa ingin nimbrung dalam percakapan ini, tapi takut hal ini hanya akan menambah buruk suasana.

"Pa, biarkan Dandy pikirkan soal ini. Ini tentang masa depan Dandy, masa depan yang akan Dandy jalani sendiri. Kita sudah bahas ini sebelumnya, kan?"

"Soal kamu mau kerja di luar, kan? Iya, sudah. Kita bertengkar cukup lama karena itu. Kamu tetap bersikeras mau kerja di luar, padahal papa berharap kamu mau melanjutkan posisi papa di perusahaan ini. Perusahaan yang papa dan mama rintis dan jaga sekuat tenaga, kamu tahu sendiri apa taruhan yang sudah kami berikan, kan? Nyawa, Nak. Bahkan nyawa adikmu sendiri lenyap karena hal ini dan kamu masih bersikeras mau kerja di tempat lain?"

Dandy mengepalkan tangannya kuat, menginggit bibir bawahnya kuat. Rasa bersalah kembali menghampirinya, dia ingin menebus rasa bersalahnya dengan melanjutkan perjuangan Matthew. Namun, ada seseorang yang membuatnya ingin tetap bertahan di tempatnya bekerja sekarang. Bersamanya dia merasa menjadi manusia seutuhnya, menjadi lebih hidup dan bahagia dibanding terkurung dalam sangkar emas.

"Kenapa diam? Sikap keras kepalamu ini dari siapa, sih? Papa dan mama tidak pernah membantah perintah orang tua kami. Kenapa kamu jadi keras kepala model gini? Apa ini semua pengaruh dari rekan kerja di toko itu?"

Mata Dandy membola, bibirnya melongo. Keringat dingin mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Ketakutannya menjadi kenyataan, tapi dia berusaha tetap stay cool.

"Maksud papa apa?"

Matthew menyeringai, dia tahu anaknya luar dan dalam. "Airine. Apa ini semua karena Airine? Orang kelas rendah yang membuat anak kesayangan papa jadi pembangkang model gini. Apa dia orangnya?"

Kalau memungkinkan, Dandy mau masuk ke pintu kemana saja dan menghilang sementara waktu. Dia akan mengajak Airine dan hidup bersama, ke tempat dimana tidak seorang pun mengenal mereka berdua. Hidup damai hinga akhir hayat. Sayangnya, dia masih berada di tempat ini dengan kenyataan jika Matthew sudah tahu tentang tempat kerja dan orang yang paling dia sayang setelah mamanya, yaitu Airine.

-Bersambung-



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro