Chapter 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keringat membanjiri kening Airine. Kerutan di dahinya kerap kali terlihat, berulang kali dia mengusap perutnya dengan ekspresi menahan rasa nyeri. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, dan dia masih setia melakukan tugas-tugas yang ada.

Bumi selalu mencuri-curi pandang ke arahnya, mengamati gerak-gerik wanita keras kepala itu. "Airine? Kamu ngejar apa, sih? Nggak sadar itu perut udah kroncang-kroncong daritadi? Makan, dong. Istirahat, kamu nggak tiba-tiba lupa ingatan kalau kita dikasih waktu buat makan, kan?" tegur Bumi dengan tegas kepadanya.

Airine mengangguk-angguk saja, tidak mengalihkan pandangan dari hitungan yang ada di buku kasirnya.

"Anggung-angguk aja kayak boneka di dashboard mobil. Kuping dipake nggak, sih? Masih ngerti bahasa Indonesia, kan?"

"Masih, tenang aja."

Bumi mengusap wajahnya kasar, menghadapi Airine mode keras kepala ini jauh lebih menguras kepala dibandingkan menghadapi customer yang menyebalkan. Pasalnya dia masih akan berhadapan dengan Airine hampir setengah hari, sedangkan dia hanya perlu waktu sekitar setengah jam hingga satu jam dengan pembeli yang memacu adrenalin dan emosi.

"Kenapa? Kalau kesal pergi aja Bumi. Abaikan aja aku, masih kuat kok ini. Santai aja," jawab Airine menoleh sekilas ke arahnya lalu kembali bekerja.

"Hati boleh sakit, tapi ingat logika harus jalan, Airine. Kamu kerja keras sana-sini, tapi kalau kamu nggak perhatiin kondisi kesehatan juga percuma aja. Ini kayak bom waktu, kamu bisa drop sewaktu-waktu dan pada akhirnya kamu akan cuti sementara dari pekerjaanmu. Kamu juga yang rugi, Airine. Tolong management waktunya diperbaiki lagi, telinga dipake, logika digunakan. Aku cerewet mampus kayak gini juga karena aku anggap kamu sebagai temanku yang berharga, tolong hargai aku dan hargai diri kamu sendiri," jelas Bumi panjang lebar.

Gerakan Airine menjadi melambat, laluu perlahan berhenti. "Oke, tapi kamu traktirin ya."

"Hah? Kok aku yang traktirin, sih? Bukannya biasanya kamu bawa bekal?" tanya Bumi dengan ekspresi terkejut. Sebelah alisnya terangkat, dia terlihat lebih cerah dibandingkan beberapa saat lalu.

"Iya, kan kamu yang mau aku istirahat. Jadi, kamu harus tanggung jawab. Aku mau simpan uangku sebisa mungkin. Sebagai teman yang perhatian dan nggak mau temannya sakit, mending kamu pakai uangmu untuk hal yang mulia dan berguna, salah satunya traktirin teman. Sampai sini paham, kan?" ujar Airine sambil tersenyum simpul.

Pipinya tidak merona merah seperti sedia kala, wajahnya kusam dan mata pandanya bertambah lebar saja.

Bumi tertawa pelan, "Oke, fine. Ini ponselku, kamu pilih aja di aplikasi mau pilih makanan apa aja. Langsung aja dipesan ke sini, biar hemat waktu nggak mondar-mandir ke tempat makannya langsung. Lagian aku juga males naik kendaraan kalau belum jamnya pulang," jelas Bumi lalu berlalu dari hadapan Airine.

"Ih, kabur. Oke, deh. Aku pilih makanannya ya!" seru Airine semangat. 

Sudah lama dia tidak ditraktir oleh orang lain. Perasaan yang sangat dia rindukan, saat dia tidak harus memikirkan berapa jumlah uang yang harus dia bayar dan dia hanya harus memikirkan mau makan apa tanpa ada beban biaya tadi.

Binar di matanya terpancar, dari kejauhan Bumi tersenyum lebar. "Akhirnya kamu senyum juga. Udah lama nggak lihat senyuman itu ada di wajahmu, Airine. Andai aja kamu sering-sering senyum dan ceria kayak dulu. Seandainya," gumamnya pelan lalu segera pergi ke toilet.  Ada panggilan alam yang tidak bisa dia tunda-tunda lagi, sebelum bahaya melanda.

Airine masih asik dengan pilihan makanan yang ada hingga masuk notifikasi pesan di ponsel Bumi. Sebelah alisnya terangkat, debar jantungnya semakin cepat.

"Hah? Maksudnya apa?"

Dandy

Bumi, kamu tahu soal ini? Ayahmu dan papaku ngerencanain untuk jodohin aku dengan Clairine. Aku harus apa, bro? Bingung asli :(

Rasanya dunia Airine runtuh saat itu juga. Tenaga yang sudah kembali terkumpul setelah adu bacot dengan Bumi mendadak menghilang begitu saja. Matanya berkaca-kaca, badannya gemetar, pandangannya menjadi buram oleh air mata yang berdesakan ingin jatuh.

"Ah, gitu ya? Akhirnya aku tahu kenapa papamu nggak suka sama aku. Rupanya kamu mau dijodohin sama Clairine. Iya juga, sih. Asal usulnya dia jauh lebih jelas daripada asal usulku. Dia jauh lebih cantik, berpendidikan, dari keluarga berada juga. Aku nggak ada apa-apanya dibadingkan dia, lagipula kalian sudah mengenal satu sama lain jauh lebih lama daripada aku kenal kamu, Dandy," gumamnya sambil menahan isak tangis.

Airine mengusap air matanya, dia tidak ingin menangis di depan umum, tapi rasa sesak ini semakin menjadi-jadi. Belum lagi nyeri di gigi geraham bawah dan gigi bagian ujung atas yang membuat kepalanya berdenyut nyeri. Tangannya terkepal erat, rasa pusing semakin menyebalkan dan menyesakkan dada. 

Bunyi ambulans membelah keheningan di sore hari itu, suara sirine yang mengingatkannya akan luka di masa lalu. Luka yang dia pendam rapat-rapat dan tidak pernah dia beritahukan ke siapapun. Hanya ada tiga orang yang tahu, dia dan kedua orang tuanya dulu. Kejadian yang tidak pernah dia tahu akan merubah hidupnya sedemikian rupa. Kejadian yang memicu pertengkaran kedua orang tuanya hingga hal itu terjadi.

Kilas balik masa lalu kerap kali menghantuinya, menjadi mimpi buruk dalam tidurnya. Itulah kenapa Airine tidak bisa tidur terlalu lama, karena semakin lama dia tidur maka mimpi buruk itu akan membuatnya menderita lebih lama lagi.

Tangannya masih terkepal dengan tangan yang satu lagi menggenggam erat ponsel Bumi. Dari kejauhan Bumi sudah berjalan ke arahnya. Awalnya pancaran kebahagiaan masih terpancar dari wajah ovalnya, tapi perlahan dia menyadari ada hal yang tidak beres.

"Airine? Kenapa? Kok nggak lanjutin milih makanan? Apa udah selesai milihnya?" tanya Bumi mencoba mencari tahu penyebab dari diamnya Airine.

"Eh, hah? Oh, ini," respon Airine mencurigakan di mata Bumi.

"Iya, kamu kenapa? Tadi seingatku kamu udah ceria lagi, kok sekarang murung lagi. Masa kamu balik ke setelan pabrik secepat itu?" 

Niatnya Bumi adalah mengundang gelak tawa Airine, sayangnya jokes-nya tidak berhasil. Wajah Airine dan ekspresi di wajahnya sesuram langit yang mendung. Bumi menggaruk kepala heran dan bingung.

"Airine, aku bercanda aja. Kamu kok diam-diam gini? Aku salah apa? Kamu bisa bilang apa aja ke aku, kamu sudah tahu semua rahasia aman bersamaku, kan?" bujuk Bumi supaya Airine terbuka kepadanya.

Airine menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu memberikan ponsel Bumi kepada pemiliknya. Awalnya Bumi mengerutkan kening karena tidak paham dengan maksud dari tindakan Airine. Setelah Bumi menerima kembali ponselnya dan membaca apa yang ada di layar itu membuatnya terbelalak heran.

"A-airine, ini pasti ada salah paham. Papaku nggak pernah bilang apapun soal perjodohan ini. Lagian kamu tahu sendiri kak Clairine sama Dandy temen deket dari dulu. Papa nggak pernah ada niat buat jodohin mereka, aku tahu papa selalu memberikan kebebasan ke anak-anaknya," ujar Bumi mencoba menjelaskan apa yang dia ketahui tentang keluarganya.

Airine memaksakan diri untuk tersenyum lalu menggeleng pelan. "Kenyataannya semudah itu orang berubah, Bumi."

Kilat dan petir di langit menambah kepiluan yang ada, menyisakan dua insan ini dalam suasana tegang tanpa ada penyelesaian apapun.

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro