II. Seorang Gadis Bernama GENDIS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

xoxoxoxoxo
xoxoxoxoxoxoxoxoxo
HUMOR
xoxoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxo

Gendis menengadah, melongokkan kepala dari balik kanopi. Ingin memastikan sendiri bahwa butir-butir air telah berhenti jatuh membasahi muka Bumi. Lantas bibir tipis gadis itu melengkung menyerupai bulan sabit kala menemukan fenomena alam sehabis hujan terlukis sempurna pada permadani langit. Hujan benar-benar telah usai. Gendis memberanikan diri meninggalkan tempat persembunyiannya selama satu jam terakhir, yaitu halte bus di tepi jalan raya. Seratus meter lurus ke depan adalah pintu utama perumahan elit kota ini. Yang merupakan tujuan kepergian Gendis.

"Yaaaaaah, kenapa hujannya udah berhenti?" keluh salah satu dari sekelompok bocah tanggung yang berkumpul di trotoar jalan tak jauh dari Gendis.

Seketika gadis itu menoleh dengan tatapan sengit pada mereka. Ia sudah hampir mati beku di sana menanti pemberhentian hujan tapi bocah itu justru terlihat nelangsa. Memang sejak tadi bocah-bocah dengan kepala bau matahari itu asyik menikmati guyuran hujan di tengah jalan yang lumayan sepi. Menari-nari tanpa pola menirukan sinetron India yang sedang hits di televisi. Bagi Gendis, hiburan yang mereka hadirkan cukup ampuh. Ia merasa bagai menonton sinetron secara langsung.

Gendis memutar tubuhnya sembilan puluh derajat seraya bertolak pinggang. "Heh botak, barusan kau bilang apa?" Gendis berteriak lantang. Seharusnya usia dua puluh tahun telah menjadikannya dewasa dan berpikir cukup jernih bahwa meladeni bocah alay merupakan sebuah kegiatan sia-sia. Namun tidak bagi Gendis. Dengan begitu mudahnya ia terpancing.

"Kau ingin hujan lagi? Kau ingin aku mati menggigil di sini ya?" Barisan gigi Gendis bertabrakan keras. Ia melotot demi memperkuat kesan pemarah dalam dirinya.

Alih-alih membuat para bocah itu beringsut ketakutan, mereka justru mencibir tak acuh. Mereka memalingkan bahu seolah-olah Gendis adalah sampah busuk yang harus dijauhi.

"Makanya kakak kalau keluar rumah pakai baju jangan yang kurang bahan begitu. Kan jadinya menggigil." Lalu mereka tertawa serentak seumpama Gendis adalah komika yang sedang tampil.

Seketika wajah Gendis merah padam. Ia menatap dirinya sendiri. Salahnya memang karena keluar rumah menggunakan celana jins sebatas paha bersama kaos lengan pendek yang tak begitu tebal. Tapi tidak sepenuhnya salah Gendis. Ramalan cuaca menegaskan bahwa mentari akan eksis hingga petang nanti. Omong kosong. Kekalahan telak menumbuk martabat Gendis. Ia memutar otak secepat kilat. Ia tak boleh kalah berdebat dari para bocah. Ia lebih matang dalam segala hal dibandingkan mereka.

Akhirnya Gendis mengambil batu seukuran kepal dari pinggir jalan dekat halte. Lalu mengarahkannya pada bocah-bocah itu. Tanpa buang waktu mereka pun memacu langkah menghindar dan senyum penuh kemenangan hadir di wajah Gendis.

"Orang gila!" Si bocah botak mencemooh dari kejauhan.

Gendis menggeram kesal setengah mati seraya mengepalkan tangan. Menyesal dirinya sempat menyebut mereka mirip Rahul dan Anjali ketika menari tadi. Rahul bahkan tidak plontos! Gendis melempar keras batu yang sejak tadi ia genggam menuju selokan. Dan cipratan airnya mengena tepat pada betis dan paha mulusnya. Gendis mengerang lagi. Kali ini lebih panjang. Saking kesal, ia bisa merasakan bumbungan asap mengepul dari dua lubang telinganya.

~

Gendis mengeluarkan buku dari balik kaos. Sejak tadi benda itu ia sembunyikan di sana demi melindungi perut dari serangan hawa dingin. Buku edisi terbatas tersebut harus ia kembalikan pada sang pemilik lantaran janji yang telah tersepakati. Pemiliknya bernama Raka. Rekan sekampus Gendis yang bersifat cukup aneh. Sangat aneh, lebih tepatnya. Aneh karena pria itu tak memiliki teman. Menurut keterangan dari teman-teman Gendis, Raka memiliki penyakit akut. Yaitu tak pernah beraroma harum. Sebanyak apapun ia menggunakan parfum hanya bau tak sedap yang menguar dari tubuhnya. Awalnya Gendis tidak percaya. Namun saat ia meminjam buku, segala argumen Gendis patah jadi dua. Mirip hati yang tersakiti.

Mungkin baunya masih bisa ditolerir. Tapi aromanya berhasil membuat mata Gendis perih bukan main. Sementara itu, perawakan Raka jangan ditanya. Bibirnya tebal semerah delima dan dagunya runcing. Sayang hidungnya mancung ke dalam. Sosok Raka bisa disebut ambigu. Lantaran menyebutnya tampan akan jadi dosa namun jika dikatakan jelek terasa tidak tepat. Serba salah.

Gendis menyukai Raka. Tidak mungkin. Itu mustahil. Sama mustahilnya seperti Harry Style yang bersedia menandatangani kontrak dengan perusahaan Sari Roti untuk mengisi jingle terbaru mereka. Untuk dipasang pada gerobak-gerobak roti yang berkeliling kompleks setiap pagi. Jika bukan karena kehadiran buku tersebut, Gendis takkan pernah menyadari bahwa keberadaan Raka adalah nyata adanya.

Seraya memeluk buku di depan dada, Gendis menyusuri trotoar kompleks setelah membelok dari pintu utama. Cuaca sudah kembali cerah. Arak-arakan awan tersapu dari langit hingga tak bersisa. Mentari bersinar sendirian tanpa teman. Gendis menyaksikan barisan rumah-rumah sepetak di sana tanpa selera. Lalu ia menemukan banyak orang berkumpul di dekat pos keamanan kompleks. Gendis berhenti sesaat.

"Tiga bulan lalu istri Pak RT yang menghilang. Sekarang Pak RW menghilang. Sudah pasti mereka berselingkuh." Gendis berdiri cukup dekat dengan tiga orang wanita berdaster itu. Bersama dua orang petugas keamanan berseragam, kegiatan penggibahan tersebut berlangsung cukup seru.

Gendis mendekat selangkah demi selangkah semakin memasuki area gosip.

"Mungkin karena urusan pekerjaan di luar memang sedang banyak jadi gak sempat menghubungi." Ibu yang berbeda berpikir lebih positif.

Obrolan terus bergulir hingga salah satu petugas keamanan menyadari kehadiran Gendis di sana. Seraya mengacungkan pentungan yang sejak tadi siaga di tangan, ia bertanya, "Kamu ngapain di sini?"

Sontak Gendis gelagapan. Ia mengerjap beberapa kali demi menghilangkan panik. Melirik kian kemari sembari mencari jawaban. Ia juga bingung mengapa langkahnya berhenti di pos keamanan. Padahal tujuannya masih berada cukup jauh. Gendis meringis bodoh seraya menggaruk dahi lantaran tak menemukan jawaban logis. Mereka tentu menganggap Gendis sebagai tamu tak diundang yang telah tahu banyak hal mengenai rumah tangga penduduk sekitar. Posisi Gendis tersudutkan. Dalam hati Gendis berteriak minta diselamatkan dari posisi tak menyenangkan tersebut. Sebagai imbalan ia akan mempertaruhkan gigi emas peninggalan nenek, saking ingin pergi dari situasi tersebut.
"Dek," panggil si petugas keamanan.

Gendis yang melongo segera tersadar dan menyentak, "Gigi emas."

Kontan kelima manusia pendengar itu mendeham heran. Tak mengerti arah tujuan ucapan Gendis. Alhasil mereka berpaling dari Gendis dan melanjutkan pergunjingan yang sempat terinterupsi lantaran kehadiran gadis tak jelas macam Gendis. Gadis itu pun menghela napas lega kemudian menyelipir pergi tanpa terdeteksi oleh para penghuni pos keamanan. Ia meneruskan berjalan kaki. Rumah Raka berada di ujung jalan.

~

Rumput-rumput teki menjalar liar nan bebas di halaman sepetak rumah Raka. Beberapa ilalang menguning tumbuh tinggi sejajar lutut orang dewasa. Saat Gendis menggeser pagarnya, bunyi berdecit yang berasal dari peraduan roda pagar dan rel sungguh menyakiti telinga siapapun yang mendengar. Sunyi bagai tak ada kehidupan dalam rumah berukuran sedang tersebut. Gendis melirik arloji sekilas. Terlalu siang untuk merasa ketakutan. Ini bukan film hantu dalam negeri yang keadaannya menyepi kala tokoh utama diserang hantu.

Gendis berjalan perlahan tanpa suara mirip polisi hendak menggerebek tersangka. Lantaran tingkahnya yang misterius itu, suasana mencekam terbentang menjadi selimut. Bulu kuduk Gendis meremang. Ia menghela napas lega saat tiba di beranda. Titik aman pertama telah berhasil ia tembus. Masih ada titik aman kedua, yaitu pintu. Ia harus mengetuknya agar Raka muncul dan ia bisa segera mengembalikan buku itu. Lalu pergi dan melupakan segala kengerian yang menderanya.

Gendis menarik dan mengulur napas berulang kali demi menetralkan debaran jantung. Dadanya naik perlahan kemudian melepaskan udara lewat belakang tanpa sengaja. Bunyinya keras dan nyaring. Beruntung karena tak ada siapapun di sana yang menjadi korban bau gas pelepasan Gendis. Ia terkikik sebentar lalu pandangannya berhenti pada lantai berbahan keramik yang ia pijak. Terdapat lukisan jejak-jejak sepatu dari lumpur berbaris rapi menuju ambang pintu. Seingatnya tak ada sawah padi menghampar di sekitar kompleks. Gendis pun meringis ngeri seketika. Sesuatu yang tidak beres telah menimpa Raka.

"Pria malang," Gendis membatin iba.
Gadis itu merasa lebih baik jika ia membayar denda sebanyak sepuluh juta pada Raka daripada harus berada dalam situasi membahayakan seperti ini. Raka menetapkan angka sebesar itu sebagai bayaran jika Gendis terlambat mengembalikan buku edisi terbatas tersebut. Satu lagi bukti yang menyatakan kemutlakan bahwa Raka memanglah pria aneh. Jumlah uang itu jelas terlalu besar untuk nominal denda. Bila dibelanjakan micin, uang itu akan cukup untuk membodohi seluruh penduduk dunia. Bahkan lebih.

Gendis mendebas satu kali berusaha memberanikan diri. Ia akan melakukannya dengan cepat. Bahkan ia tak perlu pamitan. Setelah buku itu ia berikan pada Raka, ia akan langsung kabur. Gendis berusaha tenang seraya kakinya menghampiri pintu. Tangannya yang gemetar dan basah karena keringat dingin bergegas mencapai kenop pintu. Tidak terkunci. Helaan napas lolos dari bibir Gendis.

Begitu daun pintu melebar, hal pertama yang Gendis temukan adalah aroma anyir darah menguar di seluruh ruangan. Lantas perut Gendis bergolak hebat. Sarapannya meronta minta dikeluarkan namun Gendis berusaha bertahan. Bau amisnya sungguh menohok hidung. Bisa dipastikan seseorang telah melakukan tindakan pembunuhan pada pria itu. Gendis menyusuri koridor rumah Raka yang dibasuhi cahaya lampu neon terang benderang. Tak lupa ia menutup hidungnya rapat dengan sebelah tangan. Dalam hati ia berspekulasi bahwa Raka mungkin telah memancing emosi seseorang lantaran bau badannya yang menyakiti mata itu. Maka dari itu ia dibunuh.

Gendis berhenti pada ambang pintu dapur lantaran bau anyir yang semakin mengental. Gendis tak tahan untuk berjalan lebih jauh lagi. Ia akan benar-benar muntah setelah ini semua berakhir. Gendis menyeru nama pria itu dengan suara tercekat saat menemukan sesosok manusia di sudut dapur.
"Raka." Suara Gendis sengau karena ia menutup hidung.

Sosok yang memunggunginya pada posisi berjongkok itu lantas menoleh. Raka berdiri seraya mengusap tepi bibir yang dipenuhi warna merah kental menggunakan ujung lengan baju. Tersisa bercak-bercak merah yang tak ikut tersapu di sekitar dagu runcing pria itu. Gendis mematung seketika. Dentum jantungnya berhenti sejenak saat matanya melirik ke balik bahu tegap Raka. Terdapat seonggok mayat lelaki terbaring penuh nestapa di sana. Lehernya menganga lebar disimbahi cairan darah. Perutnya robek lebar hingga menampakkan organ dalam yang sudah diacak-acak tak berbentuk. Lilitan ususnya bahkan tumpah ruah berantakan di lantai. Gendis berusaha menelan ludah sembari cucuran air mata ketakutan mengalir di permukaan pipinya.

Raka menghampiri Gendis perlahan-lahan. Memperpendek jarak di antara mereka dengan seringai tajam di wajah. Suasana kala itu makin mencekam lantaran kaki Gendis yang tak mau diajak berkompromi. Buku yang Gendis genggam erat terhempas ke lantai lalu ia berusaha meraih benda yang berada paling dekat dengannya untuk ia jadikan senjata.

Gendis berhasil meraih pengki berbahan plastik. Lantas ia mengerang gemas. Ia lebih berharap menemukan palu Thor ataupun tameng si tampan Kapten Amerika agar bisa langsung menghantam batok kepala Raka dan menyadarkannya. Dilemparkannya pengki ke arah Raka namun pria itu tak gentar. Gendis memanjangkan lagi tangannya meraba-raba. Nihil.

"Ayo bergabung bersamaku," ajak Raka horor.

Gendis mendeham bingung lalu menggeleng keras. "Aku vegetarian," katanya polos.

Lantas Raka tertawa menyerupai mak lampir. Ia sungguh terlihat menyeramkan. Tubuh Gendis tak henti-henti gemetaran hebat. Banyak hal berkelebat dalam kepala mungilnya.

"Siapa bilang aku mengajakmu sebagai penyantap?" tanyanya.

"Lalu?"

"Kau juga akan jadi makananku, Bodoh. Kau sudah melihat terlalu banyak. Aku tak bisa membiarkanmu hidup," oceh Raka panjang lebar.

Gendis menggeleng lagi. "Kau belum menghabiskan makananmu. Akan mubazir jika kau melahapku sekarang. Dan mubazir itu dilarang agama." Gendis menyempatkan diri memberi kultum menjelang akhir hidupnya. Mungkin kebaikan kecil itu bisa mengirimnya ke surga.

Raka tak menggubris. Ia menyergap kedua lengan Gendis sangat erat lalu mendekatkan gigi taringnya pada urat leher Gendis. Hal terakhir yang Gendis rasakan adalah pembuluh nadinya ditembus oleh benda tajam dengan sangat menyakitkan. Tak terlintas sebaris kata pun dalam pikiran orang waras manapun untuk mati dalam keadaan semengerikan itu. Termasuk Gendis. Ia bahkan belum menikah.

.

NB : Akibat teriakan Gendis sebelum ia meninggal, para warga sempat menyantroni rumah Raka. Pria itu segera dijaring ke kantor polisi. Namun ia tak dijebloskan ke penjara lantaran dokter menyatakan bahwa Raka mengidap penyakit kejiwaan serius. Demi mengurung insiden tak masuk akal tersebut dari media, pemerintah setempat sepakat meruntuhkan perumahan tempat tinggal Raka secara keseluruhan hingga rata dengan tanah. Dan membangun real estate yang baru di atas lahan yang sama bernama Sendayan Hills.

xoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
Part II by aithlubis
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro