II. Story of Kediri pt 2 : Selesai ...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

xoxoxoxoxo
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
Mystery/Thriller
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxo

Bertaut.

Kedua tangan itu bertaut.

Menjalin sebuah ikatan batin yang kuat.

Membuat mereka seolah tak terpisahkan.

Terhubung oleh benang yang kuat dan terlindung oleh selapis kaca anti peluru.

Kuat, kokoh.

Tapi suatu hari kaca itu retak.

Keputusan sepihak yang menghancurkannya, membuat yang telah terbelah pergi.

Yang dulu bersama kini telah terpisah.

Namun ia tau sejauh apapun ‘dia’ pergi, ‘dia’ tetap akan kembali.

Karena,

Hanya ini rumah yang ‘dia’ punya.

“Ya, kita akan kembali. Kita akan berlari bersama dan mencari tempat untuk berteduh dari teriknya matahari. Dengar, sejauh apapun kau pergi ingat bahwa kau tak pernah sendirian. Aku selalu ada bersamamu, selamanya.”

Angin tak lagi bertiup.

Ilalang – ilalang itu telah hancur. Mati.

Langit di atas gelap, tapi hujan tak kunjung turun.

Hanya ada air mata.

Dan sebuah uluran tangan.

“Belum terlambat untuk kembali, kau masih bisa melakukannya percayalah padaku. Sakit yang kau rasakan dapat kurasakan juga, begitu menyiksa, begitu menyesakkan.

“Ini keputusan kita. Bukan salahmu untuk pergi, bukan salahmu ikatan ini retak.

“Aku menyayangimu separuh diriku, separuh aliran darahku.”

Akhirnya hujan turun perlahan.

Membuat air mata tak lagi terlihat.

Membasahi tanah yang semula kering.

Menghanyutkan penyesalan.

“Kita akan menyelesaikan apa yang tak sanggup diselesaikannya.”

~

“Baginda ada surat untuk anda.” Aku menghentikan kegiatanku saat Gamapanji masuk ke ruang kerjaku.

“Surat? Aku tidak ada pertemuan untuk hari ini.” ucapku seraya membuka gulungan yang kini ada di atas mejaku.

“Seingatku tidak Baginda,

kenapa anda tersenyum?”

Aku berdehem dan mengembalikan ekspresiku seperti semula. “Bukan apa-apa Mahapatih Gamapanji, bisakah kau menyiapkan dua lusin pasukan dengan prajurit terlatih dan bisa dipercaya untukku?” pintaku.

Mahapatih di depanku memandang aneh dengan ekspresi penasaran yang tersirat jelas dari raut wajahnya. “Baiklah Baginda, sesuai perintah anda. Saya pamit.”

Aku beranjak menuju barisan lukisan keluarga Kerajaan Kediri, menuju lukisan keluargaku, dengan sayatan besar yang ditorehkan seseorang-walau sekarang sudah dijahit oleh pengerajin kerajaan- di sana.

“Kenapa kau mengirimkan surat ini padaku? Bukankah seharusnya kau datang sendiri kemari?” gumamku pada seseorang dalam lukisan.

Yang tersenyum dengan manisnya, yang terlihat sempurna di lukisan itu. “Aku terima ajakanmu, Dena.”

~

Di sinilah aku, berdiri di tengah tanah lapang yang indah dengan dua lusin pasukan siaga di belakangku dan seorang mahapatih terlatih di sebelahku.

Aku tersenyum menatap orang dengan kerudung di seberang sana, berdiri di tengah tujuh orang lainnya. Hanya delapan orang.

“Baginda, apa maksudnya ini? Kenapa membawa dua lusin pasukan melawan delapan orang?”

Aku melirik mahapatihku. “Mereka bukan orang biasa mahapatih, pendekar hebat yang telah dikecewakan dan ditempa di alam liar bukan orang yang bisa dikalahkan oleh pasukanku.”

“Maksud anda?” aku hanya menatapnya, tak berniat menjawab pertanyaanya.

“Bagaimana mereka bisa-”

“Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Bertarunglah mahapatih, demi aku dan demi Kediri.”

Ia membungkuk hormat padaku. “Sendika dawuh, Gusti.”

“DENGAR ! KALIAN JANGAN LENGAH !! KITA LEBIH BANYAK, PERCAYALAH KITA AKAN MENANG !!” teriakku yang memicu teriakan semangat dari pasukanku.

Bohong.

SERAAAAAANNGG !!!” dengan satu teriakan dan acungan pedang dariku mereka berhamburan di depanku.

Kupacukan kudaku menuju satu satunya orang yang memakai kerudung, yang masih setia berdiri di tempatnya meski teman-temannya sedang berjuang.

Aku mengibaskan pedangku seraya melompat turun dari kuda yang tengah kutunggangi.

“Kita bertemu lagi,”

Tepat mengoyak jubah hitam yang dikenakannya, menampakkan wajah yamg telah lama tak kulihat.

“Dena.”

Tatapan kami bertemu.

Mata yang sama,

yang memandangku sepuluh tahun yang lalu

“Airlangga.” Ucapnya dingin. Ia memanggilku dengan nada yang sama, tapi dengan aura yang berbeda. Aura pembalasan dendam.

“Keluarkan pedangmu Dena, kita bertarung untuk menemukan siapa pencurinya.”

“Kau pencurinya Airlangga, sang tupai yang mengatakannya padaku.” Sahutnya tegas.

Aku tersenyum, bahkan ia masih mengingatnya. Benarkah kau benar-benar pergi dari Kediri saat itu?

Aku menghindar sesaat sebelum keris Dendadya menusuk leherku. “Tapi kali ini aku takkan menggunakan pedang kayu, Airlangga.”

Kami bertarung seperti saat itu, menggunakan pedang seperti saat itu, tapi kini Dendadya memegang sebilah keris peninggalan kakekku.

Dan aku menggenggam sebilah pedang dari pandai besi terbaik. Kami bertarung di sebuah tanah lapang menggantikan taman istana.

Dan kini Dendadya tak memukulku dengan pedang kayunya, tapi benar benar menusukku dengan kerisnya.

Aku menebaskan pedangku agar ia menjauh. Sial !! Kenapa terasa sakit !

“Apakah cukup sakit Airlangga?” ucapnya seraya berjalan mendekat padaku.

Cting!

Aku menebas kerisnya saat Dendadya mengarahkan keris itu kepadaku dan mengarahkan mata pedangku ke lehernya, beberapa centi sebelum menyentuh kulitnya.

“Tidak cukup untuk membuatku menyerah Dena.”

Kami bertarung tanpa memperdulikan sekitar, yang ada dipikiranku hanya mengalahkan kakakku dan …

“Bagaimana Airlangga? Menyerah?” kami terenggah, melompat mundur untuk memperluas jarak.

Aku mengangkat pedangku bersiaga. Tubuhku sakit, rasa nyeri masih terasa dari luka tusukan yang dibuat Dendadya di awal pertarungan kami.

“Masih butuh bertahun-tahun bagimu untuk membuatku menyerah Dena.” Aku masih sempat menarik ujung bibirku, hanya sekedar membuatnya tersinggung.

“Cih sombong.” Dendadya menyerangku lagi, kali ini dengan sebilah belati di tangan kirinya, belati pemberian ayahanda.

Kami menyerang bersamaan, ia mengincar lengan kiriku, aku menebas pundak kanannya.

Srat!

Pipi kananku panas dan terasa perih setelahnya, aku tak menyangka ia akan menebas pipiku saat kuhindari tusukan kerisnya.

“Adik sialan.” umpatnya dengan tangan tersampir ke pundak, dimana sayatan pedangku berhasil melintang hingga tulang selangkanya, membuat keris yang dipegangnya terjatuh.

“Aku tak mengerti Dena kenapa kau meninggalkan kerajaan saat itu, ini sudah sepuluh tahun berlalu. Apa kau tak ingin kembali?” ucapku.

Dendadya menatapku sengit. “HAH ?! Kembali? Untuk apa Airlangga? Untuk menjadi selirmu?!”

Aku tertegun, sepuluh tahun yang lalu aku pernah mengatakannya. Mengatakan pada kakakku untuk menjadi selirku, agar ia tak pergi dari sisiku. Kenapa sekarang terdengar ironis?

Aku tersenyum miris-gagal karena rasa perih di pipi kananku- kemudian menatapnya serius.

Aku dapat sebuah rencana.

“Dena aku memiliki sebuah penawaran untukmu. Kalahkan aku di sini dan kembali dengan tahta raja di tanganmu,” aku sengaja melebarkan jeda kalimatku.

“Atau pulang bersamaku, dengan gelar sebagai selirku.”

Aku tau benar jawabannya.

“Aku lebih baik mati.” Ucapnya dingin.

Hari ini,

Aku merelakan semuanya.

Menyerahkannya pada takdir,

yang akan kami tentukan dengan senjata.

Aku bersiap dengan pedangku dan Dendadya dengan belatinya.

“Aku akan berdiri sebagai raja, di atas mayatmu Airlangga.”

Aku tersenyum tipis. “Aku menunggu saat-saat itu.”

Ini sudah selesai.

Jleb !!

Crat !

Itu adalah sebuah taman yang indah, dengan karpet hijau dari rumput dan sebuah pohon rindang di tengahnya.

Aku dan Dena selalu kemari hingga larut, melakukan apapun yang ingin kami lakukan.

“Dena.” aku memanggil kakak kembarku yang tengah asik dengan bacaannya.

“Dena !” kunaikkan suaraku saat ia tak juga menoleh padaku.

“Dena !!”

Akhirnya aku berteriak.

“Aku mendengarmu Airlangga, tak perlu berteriak.” ia menoleh dan menutup buku bacaannya. “Kenapa?” tanyanya.

“Kudengar ayahanda akan menjodohkanmu, jadi … apa kau akan pergi, Dena?”

Ia menatapku sejenak kemudian mengacak rambutku dan memberikan senyum lembutnya.

“Sudah tak usah dipikirkan, ayo pulang atau Mahapatih Ranusukma akan memarahi kita karena membuat ibunda khawatir.”

Aku mengangguk dan membereskan barangku kemudian menyusulnya yang berjalan di depanku, meraih tangannya.

Tapi langit merebut perhatianku, membuatku melepas genggamannya.

“Dena lihat langitnya berwarna merah.” aku menunjuk langit di atas.

Dena berhenti dan ikut mendongak menatap langit. “Ya, warna kesukaanmu kan, Airlangga.”

Benar,

Aku menyukai warna merah.

Semerah mawar …

Tidak

Semerah darah,

yang kini mengalir di depan mataku.

Cantik.

“Ayo, kita pulang.”

.

xoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
Part 2 by : deanvanovkill_
xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
xoxoxoxoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro