DEKA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading~

.
.
.

Pada akhirnya aku hanya bisa menuruti apa yang dikatakan Papa. Duduk bersamanya di kursi penumpang sambil memangku bekal pindang ikan mas yang tadi. Ibu berpesan katanya untuk lauk barang kali Mama belum makan.

Aku sungguh bisa pulang sendiri, tidak perlu diantar begini. Jika bukan karena Ibu yang meminta dengan raut memohon, aku tak akan mau.

Oke, aku terdengar seperti gadis labil yang durhaka.

Selama di sana, Ibu mengajariku cara merajut. Itu hobi barunya. Ibu merasa kesepian karena tidak ada siapapun di rumah, Papa bekerja dan Ryan entah kemana.

Kehadiranku menjadikan rumah lebih ramai. Ya, walaupun hanya ada kita berdua. Tapi Ibu bisa bercerita banyak hal tentang topik hangat yang terjadi di sekitar komplek.

Kuingat Ibu tampak bersemangat menceritakan jika ada tetangga baru uang punya anak laki-laki seusiaku. Perangainya Sabtu  dan tutur katanya lembut, orang pindahan dari Sukabumi. Ibu berencana mengenalkan kupadanya.

Tentu saja kutolak mentah-mentah. Alasan agar temanku bertambah. Aku ini masih bisa cari temen sendiri kok. Bahkan ada enam orang yang hobi merecoki hari-hariku.

Setelah melakukan perjalanan dalam kebisuan, akhirnya mobil Papa tiba di depan rumah bergaya ....

Aku mengambil tasku yang berada dikursi belakang, bersiap untuk turun.

“Baik-baik sama Mama ya, Mey.”

“Iya. Papa juga.”

Aku tidak repot-repot untuk menawarkan papa untuk mampir. Ia akan mampir sendiri jika mau. Lagipula sudah malam, Papa yang bucin akut sama Ibu pasti akan bergegas kembali ke pelukannya.

Aku memasuki pekarangan rumah. Lampu teras menyala. Hal yang terlambat kusadari, jika mobil Mama tidak ada di garasi.

Aku melangkah semakin dekat. Pot lidah mertua dekat pintu, tempat biasanya aku meletakkan kunci cadangan terjatuh dari meja, tanahnya jadi berceceran. Keset di pintu juga terhempas tak beraturan.

Aku mengernyitkan dahi. Apa ada yang sengaja menerobos masuk? Pencuri? Perampok?

Kusambar payung dari gantungan piranti di garasi, menggenggamnya erat. Payung ini punya ujung runcing, efek untuk menembus bagian tubuh yang lunak lebih memungkinkan daripada sapu.

Pintunya tertutup, tapi tidak terkunci. Jantungku berdetak cepat mengalirkan darah ke seluruh tubuhku. Sial, aku takut.

Satu langkah awal memasuki rumah. Aman. Aku melirik kesana kemari, takut bila komplotan pencuri itu menyisakan satu orang untuk di dekat pintu. Terus mengendap-endap lebih dalam. Aku berusaha menjaga agar tetap tenang.

Hal pertama yang aku pikirkan adalah mencari saklar lampu. Aku meraba-raba tembok, namun  tidak kunjung ketemu. Tanganku sedikit gemetar. Entah kenapa tembok jadi terasa lebih dingin dari biasanya.

Dapat!

Kugenggam payung itu semakin erat sampai buku-buku jariku memanas.

Tuhan, tolong lindungi aku. Ampuni dosaku. Sampaikan maafkan pada Papa jika aku mati di sini.

Dengan sisa-sisa keberanian yang kupunya, aku berhasil menyalakan lampu ruang tamu.

Sendi lututku melemas. Rasanya kakiku bertukar dengan jelly. Tidak ada yang terjadi, rumahku masih tampak bersih. Tidak ada kekacauan seperti rumah yang habis di rampok.

Aku melihat sepasang kaki mengintip dari balik sofa. Aku bisa melihat celana jins hitam melekat dari sebagian kakinya yang terlihat.

Ryan?!

Sudah jantungan setengah mati, rupanya yang kudapati sekarang hanya Ryan yang tertidur di sofa. Ngapain sih dia di sini?

Gaya tidur Ryan tampak aneh. Satu kakinya bertumpu pada kepala sofa, dan satunya lagi menjulur ke lantai. Hoodie biru dongkernya juga teronggok mengenaskan. Menyisakan kaus putih kusut yang terangkat setengah, menampilkan perut ratanya.

Sejak kapan dia disini? Aku tidak melihat motor Kawasaki KLX miliknya dimanapun. Untung aku belum memanggil tetangga untuk membantuku.

“Abang bangun. Lo ngalain di sini. Pindah kamar sana.”

Aku menusuk-nusuk pelan betisnya dengan ujung payung. Tidak ada belas kasih, sebab d8a sudah mengacak-acak teras. Otomatis akan menjadi pekerjaan tambahan untukku. Niatku untuk berleha-leha raib sudah.

Aku mengambil Hoodie dekat tubuhnya.

“Dav, tambah lagi anjing.”

Aroma menyengat tercium saat dia mengigau. Bisa-bisanya dia mabuk. Ini bahkan baru setengah sepuluh malam.

Aku mendecih. Sudah syukur dikasih uang sama Papa, malah dipakai hal tidak berguna. Akan kusampaikan pada Ibu, sekali-kali mulut Ryan harus dijejali cabai biar kapok. Anak SD saja tahu mabuk itu tidak baik.

Yah, memang kapan Ryan mau belajar dewasa? Dia akan selamanya jadi bayi.

Ngomong-ngomong Mama belum pulang juga. Apa mengambil lembur lagi?

Mama tidak seharusnya bekerja sekeras ini. Sudah kukatakan ratusan kali untuk mengurangi lembur, tetapi Mama terlalu keras kepala.

Aku mengirimkan pesan pada Mama.

“Lembur lagi, Ma?”

*“nggak, Mey. Tadi lagi ada acara sama temen kantor. Mama udah jalan pulang, kok.”*

“Oke. Hati-hati di jalan.”

'Mama harus lembur biar kita bisa makan makanan enak.’ Alasan yang sama setiap kali kuperingati. Tentu saja Mama tidak sungguhan mau makan enak, aku semakin dewasa dan kebutuhanku semakin banyak. Itu yang menjadi beban untuk Mama. Yah, dapahal hidupku juga masih tanggungan Papa. Aku akan lari padanya jika sudah mendesak.

Aku kemudian berjalan menuju dapur untuk meletakkan pindang ikan mas ke kulkas. Barangkali bisa dihangatkan untuk sarapan besok.

Sebelum beranjak ke kamar, aku harus membereskan kekacauan di teras lebih dulu. Sangat disayangkan tatanan lidah mertua Mama jadi berantakan.

Kucoba membangunkan Ryan sekali lagi untuk memintakany pindah ke kamar. Merepotkan. Kalau mau ambruk langsung ke kamarnya saja bisa tidak sih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro