MONO

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading~

.
.
.

“Memey, anak mama yang paling keren!”

Seperti sebuah rutinitas tahunan, Mama selalu mangatakan kalimat serupa setelah menerima rekap nilaiku. Aku bisa melihat wajah sumringahnya ketika walikelasku bahkan baru melontarkan kalimat pembuka. Biar kutebak. Lima atau enam mata pelaran dengan nilai sempurna?

Wajah Mama masih secerah matahari siang. Kali ini apa? Beberapa nilai seratus rasanya terlalu sederhana untuk mendapatkan seluruh senyum Mama. Aku sendiri sudah terbiasa. Tentu saja, aku menghabiskan hari-hariku dengan belajar dan selalu memotong jam tidur pada minggu ujian hanya untuk mengulang materi pelajaran. Deret nilai sempurna adalah imbalan yang wajar. Jadi Mama harusnya tidak super lebay begini.

Aku menatap mama dengan penuh tanya setelah ia melepaskan pelukannya.

“Jangan pasang tampang suram gitu, Mey,” keluhnya sambil mengeluarkan dua lembar kertas tebal yang terselip di rapot kemudian memajangnya tepat di depan hidungku. “Lihat, nih. Kamu gak cuma juara kelas, tapi juga juara paralel! Siapa sih yang tidak bangga punya anak cerdas?”

Aku menerima kertas itu dan memperhatikannya lekat-lekat. Namaku terpampang jelas ditulis dengan font paling besar ‘CELINE MEYTA’. Tertera dua predikat berbeda pada setiap kertas, sebagai Juara Paralel 1 dan Peringkat 1 Kelas X MIPA 6. Aku membacanya berulang kali. Tanda tangan kepala sekolah dan stempel logo sekolah menjelaskan padaku bahwa dua kertas itu bukan lelucon.

Hatiku berdesir. Sulit untuk menahan kedua sudut bibirku agar tidak membentuk lekuk senyum. Tidak pernah sekalipun terpikir dalam benakku mendapatkan posisi ini di SMA.

Memang bukan pertama kali aku mengecap predikat juara paralel. Namaku pernah disebutkan kepala sekolah untuk posisi itu setahun lalu saat kelulusan SMP, dan aku menerima medali penghargaan di saksikan seluruh murid dan wali murid.

Walaupun kali ini tidak ada sambutan atau acara perayaan, tetap saja rasanya berbeda. Aku bersekolah di salah satu SMA tersohor di Bekasi, lho. Mendaftarnya saja harus bersaing dengan seribu siswa SMP dari seluruh penjuru kota. Tentu yang berhasil lolos adalah siswa-siswi yang perjuangannya tidak kalah keras dariku.

Menerima sertifikat ini rasanya seperti mimpi. Oke, sepertinya aku jadi tertular virus lebay Mama.

"Eh, Bu Angel belum pulang?"

Sapaan lembut itu menyadarkanku jika aku masih di koridor depan kelasku. Seorang wanita dengan setelan gamis nan anggun keluar dari ruang kelas diikuti anaknya Mira.

Aku menurunkan kedua sertifikat itu, membiarkan sisi tulisannya menghadap tubuhku. Kulakuan dengan perlahan selagi Mama dan Ibunya Mira berbicara. Bukan apa-apa, aku tidak nyaman orang lain melihat bukti prestasiku, walaupun pada Mira sahabatku sendiri.

Soalnya kita tidak pernah tau apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Bisa saja ketidak sengajaanku mengekspos sertifikat membuatku dicap sombong.

“Iya, nih, Bu. Anaknya masih kaget dapet sertifikat paralel.”

Astaga, Mama!

Aku menatap tajam walau mungkin tidak akan disadarinya. Aku tidak menyangkal, tapi masa iya sih mama membahas prestasi saat menjawab sapaan orang yang sudah lama tidak bertemu.

“Selamat, ya, Celine. Kamu memang berhak jadi juara,” kata Ibu Mira.

“Terima kasih, Tante.” Meski suaraku terdengar kikuk dan masih meras bersalah,  kesopanan tetap harus kujunjung tinggi.

Selanjutnya aku tidak begitu mendengar apa yang dikatakan Mama. Sampai suara Ibu Mira menyapa telingaku lagi.

“Celine mah, Bu, kalo diajak Mira main ke rumah pasti bawa buku pelajaran. Padahal santai-santai atau nonton film di rumah saya juga tidak apa-apa.”

“Memang begitulah. Nggak di ruang TV, ruang tamu, dimana-mana pasti ada bukunya Celine. Sengaja gitu biar dia bisa baca dimanapun dia mau.”

“Bagus, Bu. Mira jadi ada yang bantuin belajarnya karena ada Celine.”

Mereka membahas tentangku? Tidakkah mereka sadar yang baru menerima rapot tidak cuma aku? Ada Mira juga! Ayolah jangan melebih-lebihkan. Aku cuma anak yang tahu belajar.

Aku menatap Mira dengan was-was. Hatiku masih merutuk pembicaraan yang berpotensi menyinggung Mira. Aku takut dia akan marah padaku. Nanti siapa yang ingin menjadi sahabatku lagi? Melihat satu-satunya anak yang setia mendengarku berbicara tentang Dalton sampai Aristoteles ya cuma Mira.

“Eh, Tante dengar Mira itu anak OSIS, ya?” Itu Mama yang berbicara.

“Iya, Tante. Alhamdulillah, aku juga dapat sertifikat 'Best Leadership' tahun ini.”

Congrats, Mira!”

Tidak tahu deh suaraku terdengar sekeras apa tadi. Senyumku terbit lebih cerah dari sebelumnya. Ini baru Mira yang kukenal. Sikapnya yang terus terang serta percaya diri yang tinggi sering kali membantuku dalam banyak situasi. Seperti saat ini contohnya.

“Keren banget. Tante berterimakasih, berkat kamu juga Celine jadi lebih aktif. Tante suka sedih lihat dia belajar terus, jadi no life.”

Ghost! Mama yang benar saja.

Perbincangan berakhir tak lama setelah itu. Mira dan ibunya pamit sebab harus menjemput Reyhan—adik Mira yang masih SD.

Aku dan Mama memutuskan pulang juga. Untuk sampai ke parkiran, aku mengarahkan Mama memotong jalan lewat lapangan basket. Rute koridor penuh sesak dengan wali murid dan anak-anak mereka, belum lagi kelasku berada di bagian belakang. Aku bisa tertinggal dalam kerumunan karena jalanku lambat.

Nah, kan. Melewati jalan yang bebas hambatan saja aku tertinggal beberapa langkah. Dari sini aku bisa mengamati punggung Mama. Bahunya tidak lebar, hanya saja punggungnya tegap dan cara jalannya begitu mantap.

Belajar di sekolah yang menjadi incaran mempertemukanku dengan banyak manusia dari berbagai golongan. Kebanyakan mereka dari kelas menengah atas. Tampak jelas saat ini, pakaian wali murid yang hadir bila kutaksir bisa bernilai jutaan.

Meski demikian, Mama juga tidak kalah keren. Dengan balutan pakaian kerja serta rambut yang di sanggul rapi membuatnya terlihat seperti orang penting yang siap membeli seluruh sekolah ini.

Berbanding terbalik denganku. Jika Mama akan melahap apapun yang ada di hadapannya, aku cenderung menghindari segala sesuatu yang akan membuat halangan untukku di masa mendatang.

Mobil mengeluarkan bunyi piip saat mama mematikan alarm penjaganya.

“Mey, kamu mau makan apa hari ini? Gimana kalo kita jalan-jalan dulu. Ke mall atau kulineran?”

“Memangnya Mama nggak kerja? Masih pukul sepuluh mama bisa ijin terlambat.”

“Astaga. Kamu nih, Mey. Ini kan hari bahagia kamu. Dapet juara paralel itu pencapaian, lho, karena sudah berjuang selama setahun penuh. Harus kita rayakan! Ini namanya Self reward.”

Yah, dan lagi Mama memang suka perayaan walaupun hanya sekedar makan bersama.

“Mama nggak masak aja? Kita bisa lebih hemat.”

“Pilihan buruk. Mama malas masak.” Mama memutar kemudinya keluar dari parkiran sekolah, “kenapa kamu susah sekali sih di ajak keluar? Kalau begitu Mama aja yang tentukan. Kita having fun seharian ini.”

Having fun yang mama maksud adalah mengitari mall seharian atau menempuh perjalanan panjang dengan bunyi klakson di jalan raya hanya untuk mencari makanan paling enak. Bisa saja kita bolak-balik Jakarta-Bekasi jika Mama sedang niat.

“Terserah Mama,” kataku dengan penuh kepasrahan.

“Gitu, dong. Anyway Mama lagi pengen Chinese Food. Kita ke resto yang biasanya aja, ya.”

“Mama hari ini enggak kerja malah menghamburkan uang.”

“Bolos kerja sehari nggak bikin kita jatuh miskin, Mey. Kalaupun iya, kamu masih bisa minta Papamu.”

“Lalu Mama?”

“Mencari orang lain tentu saja.”

Mama tertawa renyah, tetapi aku tidak menyukai ide itu.

.
.
.

To Be Continued~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro