--

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di wajahmu kulihat bulan
Menerangi hati gelap rawan
Biarlah daku mencari naungan
Di wajah damai rupawan

Di wajahmu Kulihat Bulan  ~ Sam Saimun

-------------------------------------------------------------------

''Na. Kamu jangan terlalu fokus sama ayam-ayam lah. Cari suami kenapa?''

''Cari suami di mana Bu. Nanti Nana juga ketemu jodoh. Ada kanan, ada kiri. Ada gula, ada semut. Ada Nana, ada Ibu. Tinggal nunggu waktu aja.''

''Nunggu waktu sampai kapan? Ibu sudah tua, takut nggak bisa nimang cucu.''

''Ibu ngomongnya gitu sih.'' Hana bangkit. Muka, tangan, dan kakinya di tekuk. Obrolan sebelum tidur yang sering mereka lakukan.

*****
Setiap gadis pasti akan menjaga penampilan, apalagi kalau di dekat laki-laki gagah dan tampan. Tapi lihatlah sekarang. Hana seperti tikus tercebur got. Badan berkeringat, rambut kusut masai, muka berminyak. Hana mendesah pasrah. Ia mengendus ketiaknya, takut bau badan juga bau ayam.

Tanjung duduk di depan Hana sambil menikmati kelapa muda. Ia memandang Hana yang sedang serius dengan kertas-kertas di tangannya. Sudah beberapa hari ini ia gelisah meyakinkan hatinya, bahwa yang ia rasa mungkin hanya sesaat. Hembusan angin menyadarkan Tanjung kembali berpijak.

''Sudah. Ini totalnya.'' Hana menyerahkan nota pembelian. Mereka sering bertemu. Terlalu sering malah. Hana tau bahwa hatinya sudah tak baik-baik saja. Karena, dengan segala pesona yang laki-laki itu miliki mudah baginya untuk mencintai seorang Tanjung Umbara.

Langit yang tadi cerah, tiba-tiba menumpahkan airnya. Hana berlari, bergegas mengangkat jemuran kering milik para pekerja, sementara mereka mungkin sedang sibuk dengan tugasnya. Salah satu kesulitan berternak ayam potong adalah masalah cuaca. Tadi panas lalu turun hujan mendadak apalagi kalau di sertai petir gampang membuat ayam stres dan mati.

Hana tak memikirkan ayamnya lagi. Ia tersenyum. Tuhan sedang memberinya kesempatan lebih lama menikmati hujan dengan seseorang yang telah mencuri hatinya.

''Hujan gini, coba kalau ada kopi, jagung dan kacang rebus atau bakso. Pasti nikmat.'' mereka saling memandang. Sedari tadi Tanjung mengamati aktivitas Hana. Perempuan itu begitu lincah. Ia hanya tak tau apa yang di lakukan Hana hanya untuk menutupi rasa canggungnya.

Hana memandangnya dengan matanya yang besar dan indah, bulu matanya lentik, wajahnya putih. Walau Hana bukan perempuan paling cantik yang pernah di lihatnya, tapi Tanjung terkesima.

''Di sini nggak jualan. Kalau kopi, bisalah,'' jawab Hana. Jantungnya berdetak lebih kencang. Tanjung memandangnya dengan tatapan matanya yang teduh, alisnya tebal, dan ada lesung pipi di sebelah kanan waktu tersenyum, Hana jatuh cinta.

Hana merasa heran. Biasanya kalau hujan begini, Bagas, pak Yono dan yang lain pasti ribut meminta Hana untuk di buatkan kopi dan cemilannya. Tapi sekarang mereka entah hilang kemana.

''Kau suka bola?'' Tanjung melihat jersey  yang dikenakan Hana.

Hana mengangguk. ''Banget, tapi dulu. Sekarang udah jarang nonton.'' Hana melirik jersey  yang dikenakan. Ada logo di dada sebelah kiri berwarna merah dan hitam. Club  yang didirikan pada tahun 1899 oleh Alfred Edwards dan Herbert Kilpin.

''Pasti cuma nonton yang nonton kan.'' Tanjung tersenyum jahil. Ia teringat seseorang yang tak suka olah raga sepak bola.

''Kau percaya kalau aku mantan Defender  yang sangat di andalkan.'' Hana tersenyum mengingat kenangannya dulu. Hana dan sahabat-sahabatnya adalah pesepak bola wanita level kampung. Hana yang mengidolakan Paolo Maldini, Andin yang suka Totti, Anita yang tergila-gila pada Kaka, Sekar yang gagal move on dari Shevchenko sampai menamai anaknya Sheva, dan Hanum yang di mabuk cinta dengan Batistuta.

Mereka sering juara antar kampung. Tapi akhirnya di bubarkan. Karena penonton yang kebanyakan laki-laki tak menikmati bola yang di perebutkan, mereka lebih menikmati dua buah bola yang lebih kecil di balik jersey pemain.

''Aku punya sebuah cerita,'' ucap Hana.

''Apa.''

''Suatu hari ada seorang gadis muda yang sangat cantik bernama Maya Tilis. Dia berniat membeli mobil bekas, tapi dia ngotot nggak mau balik nama. Kau tau kenapa?''

Mereka terus mengobrol, tak tau bahwa ada segerombol orang yang sedang menahan dingin dan lapar.

''Pak Yono. Aku bener-bener udah nggak tahan. Sampai kapan kita harus ngumpet.'' Bagas menggerutu. Dia berdiri kemudian mendorong Pak Solihin dari tempat persembunyian. Dia ingin segera berlari menikmati hujan bersama Hana. Tak masalah baginya walau hanya akan jadi obat nyamuk.

-------------------------------------------------------------------
6:30 pm
Gempas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro