Ngo Oi Lei

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanum menghentakkan kaki, mengacak rambutnya kesal. ''Lalu masalahnya di mana Na? Selama janur kuning belum melengkung, berarti masih milik bersama.''

''Masalahnya aku cewek. Masa iya harus aku duluan. Mau di taruh di mana mukaku.'' Hana tersenyum kecut.

''Buang aja di empang biar dimakan lele.'' senyum Hanum mengejek. Mereka sedang berdebat kusir. Bagi Hanum tak masalah kalau perempuan duluan yang mengutarakan isi hatinya. Katanya emansipasi? Bukan berarti perempuan murahan atau gampangan.

''Kalau di tolak gimana?''

''Untuk hasilnya mau di terima atau nggak yang penting udah usaha, daripada di pendam dan jadi bisul, tapi emang butuh kesiapan.'' Hanum tau kalau Hana adalah perempuan yang kuat, berkali-kali sahabatnya itu terjatuh tapi selalu mampu bangkit lagi.

''Aku benci ibu tiriku karena dia sudah merebut ayah, lalu apa bedanya nanti kalau aku melakukan hal yang sama pada Sawala.'' Hana menatap sendu.

Hanum tak habis pikir, di depannya seperti bukan Hana yang selama ini dia kenal, Hana yang kuat dan terkadang egois. Kini sahabatnya terlihat rapuh.

''Dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir,'' Hanum meniru ucapan Cu Pat Kai, ''Kalau kapalnya tak datang, kamu yang harus berenang,'' lanjutnya lagi.

Hana hanya mengangguk. Terkadang pilihan yang salah malah membawa kita ke tempat yang benar. Apa salahnya di coba.

*****
Hana mengetuk-ngetukkan telunjuk pada meja kaca di depannya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menopang dagu. Matanya memandang ke arah perempuan yang tengah memunggunginya. Menatap punggung yang selama ini ikut berjasa dalam hidupnya.

''Tumben kamu pesen kue ke sini.'' suara itu membuyarkan lamunan Hana.

''Biar dikasih murah, atau malah gratis sekalian.'' jawab Hana datar.

Perempuan itu membalikkan tubuh, tersenyum hangat ke arah keponakannya. ''Masa kamu ngasih yang gratisan buat ibumu.''

Hana hanya mengangkat bahu, tak acuh.

Hana sedang memesan kue di toko roti milik Bibinya. Sebuah toko kecil karena hanya salah sebuah cabang. Walau tak lengkap, tapi toko itu yang paling dekat dengan rumahnya. Besok ibunya ulang tahun. Ia sudah menyiapkan kado, tinggal memesan kue.

Ibunya wanita terhebat. Sejak kedua orangtuanya berpisah puluhan tahun yang lalu, Rasika memilih jadi orangtua tunggal. Walau ada beberapa laki-laki yang mendekatinya, tapi ia tolak. Rasika tak ingin memberi ayah tiri pada anak-anaknya.

Sekuat tenaga ia banting tulang. Menjadi ayah sekaligus ibu. Hana dan Raka adalah tabungan masa depan Rasika. Apa yang ia tanam, itupula yang nanti akan ia petik.

Mereka hanya bertiga. Setiap ada yang ulang tahun, membeli kue donat dan bakso adalah hal yang sangat luar biasa. Sedari kecil Rasika mendidik anaknya hidup sederhana, karena mereka memang tak memiliki apa-apa selain rasa saling memiliki satu sama lain.

Makan dengan ikan asin itu hal yang biasa, telor mata sapi dengan kecap juga sudah istimewa. Menjadi bahagia bukan karena serba sempurna atau semua yang di inginkan tercapai. Bahagia itu kalau telah hancur, tapi masih baik-baik saja dan bangkit kembali.

Secara materi, Hana dan Raka telah membahagiakan ibunya. Mempunyai kehidupan yang lebih layak. Mereka tak perlu pusing lagi memikirkan esok mau makan apa. Hana tak menyerah, baginya jangan merusak kebahagiaan masa depan dengan alasan masa lalu yang hancur.

Apa yang di alaminya belumlah ada apa-apanya di bandingkan perjuangan ibunya. Ibu yang selalu menjadi tempat Hana pulang.

''Hana.''

Panggilan itu membuyarkan lamunan Hana. Suara yang sudah sangat di kenalnya. Ia berbalik memandang si pemilik mata teduh.
''Kalau aku katakan, aku cinta kamu. Apa kamu mau putusin Sawala?''

1 detik ...
2 detik ...
3 detik ...

Hana segera berlalu sebelum mendapat jawaban.

-------------------------------------------------------------------
11:10 pm
Gempas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro