ʙᴀʙ ᴛɪɢᴀ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• ᴄᴏᴍғᴏʀᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

"Kau serius?" tanya gadis yang kini menatap pria yang ia ketahui bernama Aiden itu dengan mata yang melebar, kaget.

"Kau tidak perlu berteriak seperti itu."

"Aku betul-betul minta maaf. Tadi aku benar-benar tidak sengaja, kemudian aku ... kau tahu, 'kan? Lalu ...." Rhea berusaha menjelaskan meski tidak begitu yakin dengan apa yang tengah ia jelaskan. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah jalan, seolah tengah menceritakan kejadian semenit lalu pada Aiden.

"Aku tahu." Aiden setengah tertawa, kacamata yang ia kenakan bahkan sampai turun kembali dan terpaksa tangannya harus mendorong benda itu agar pas bertengger di hidung bangirnya.

"Sebaiknya kau pulang. Jangan katakan apa pun pada bibimu jika roti-roti itu berakhir di jalan, ia akan sedih mengetahuinya." Aiden melanjutkan.

"Bagaimana kau tahu bibiku akan sedih? Sepertinya dia bukan orang yang mudah untuk merasakan sedih." Gadis itu bertanya, kepalanya sedikit miring, menuntut jawaban dengan cara menggemaskan bagi Aiden.

"Banyak hal yang sulit kita rasakan, tapi tidak untuk rasa sedih. Terkadang itu datang bahkan karena hal sepele sekalipun, apalagi jika sudah bekerja keras membuat roti, tetapi justru berakhir di tempat sampah." Aiden menjelaskan. Tangan kanannya masuk ke dalam saku celana kemudian menyenderkan bahu pada dinding cafe yang masih tutup.

Pada dasarnya, Rhea memang suka berbicara. Berbicara apa pun. Satu kali waktu ia pernah membuka percakapan tentang bintang. Jika sebetulnya bintang setiap waktu ada, kenapa hanya malam hari benda angkasa itu terlihat? Atau ia mempertanyakan, bagaimana suatu negara menghitung jumlah penduduk? Apa mereka yakin data itu betul-betul akurat? Bagaimana jika terlewat satu? Apakah orang yang tidak masuk hitungan menjadi warga negara asing di negaranya sendiri?

Kemudian setelah sekian lama ia tidak berbicara, Rhea bertemu dengan Aiden. Pria yang senantiasa menjawab pertanyaan yang ada di kepalanya.

"Sudah? Aku serius, sebaiknya sekarang kau pulang. Kau butuh minum untuk menenangkan keterkejutanmu tadi, sayangnya cafe ini belum buka."

Rhea mengangguk. "Baiklah. Aku pergi. Terima kasih atas pertolongannya, Tuan."

Aiden mengangguk pelan ketika Rhea melambaikan tangan sebagai tanda pamit. Hingga gadis itu berbalik, Aiden kembali menepuk punggungnya.

"Hei!"

"Iya?" Rhea segera berbalik ketika merasakan sentuhan pada pundaknya.

Aiden terlihat ragu. Pria itu bahkan mengusap tengkuk, memilih kata paling pas yang akan disampaikan pada gadis berusia delapan belas tahun itu.

"Tidak. Aku akan memesan roti lagi besok, pastikan kau membawanya tanpa masalah. Oke?"

Rhea tidak tahu kenapa, tetapi mendengar ucapan Aiden membuat sudut bibirnya tertarik ke atas, bahkan tawa kecil mengudara bersamaan ujung mata yang menyipit. "Baiklah! Aku tunggu pesananmu besok."

Rhea kembali melambaikan tangan lalu melangkahkan kaki dengan mantap untuk pulang ke toko roti milik pamannya. Mengabaikan tatapan menelisik wanita tua berambut putih, pemilik toko bunga yang ia lewati.

Memang nasib menjadi warga baru, ia tidak punya banyak kesempatan memiliki teman sebaya di sini. Gadis sebaya Rhea kebanyakan sibuk kuliah di pagi hari, malamnya mereka menghabiskan waktu untuk belajar atau main dengan teman-teman yang mereka sudah miliki, atau pun jika ada, pastilah mereka tidak akan mau mengenal Rhea yang sudah dicap sebagai pembawa virus pemati ekonomi itu.

"Kenapa bajumu kotor?"

Rhea yang baru saja melewati pintu kaca toko roti menoleh. Menatap Christina yang kini berdiri di counter pembayaran dengan tangan yang terlipat di depan perut sembari menatapnya.

"Ada sedikit kecelakaan, Bi." Rhea menjawab penuh rasa takut. Kepalanya menunduk, menatap ujung sepatu yang kotor karena terguling tadi.

"Kecelakaan? Bagaimana bisa? Lalu bagaimana dengan pesanan roti-rotinya? Apa pelanggan itu marah karena rotinya rusak? Atau dia akan meminta ganti rugi? Astaga! Baru kuminta tolong seperti itu kausudah buat masalah."

Rhea yang hendak berkata jujur akhirnya mengikuti saran Aiden untuk berbohong. Setidaknya itu akan mengurangi amarah Christina untuk hari ini dan sambil berdoa semoga pria berkacamata itu menepati janjinya untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada sang bibi.

"Roti-roti itu aman, Bi. Aku mengalami kecelakaan sepulang aku mengantar pesanan itu."

"Baguslah. Bukan aku tidak peduli padamu, Rhea. tapi kondisi ekonomi kami belum stabil, terlebih ayahmu meninggalkan sisa hutang yang harus segera dibayar. Kita harus menghemat pengeluaran." Christina berkata ringan, sembari mengelap etalase kaca wanita itu sesekali mendengus.

Perkataan Christina itu membuat efek luar biasa pada dada Rhea. Rasanya seperti ada sebuah batu besar yang dihujamkan pada dada yang membuat ia kesulitan bernapas. Ia baru satu hari di sini, tetapi Christina sudah dua kali mengingatkan bahwa gadis yang ada di depannya itu adalah beban untuk keluarganya.

"Aku akan bekerja di sini untuk melunasi hutang keluargaku." Pelan saja, tetapi jawaban Rhea membuat sang bibi menghentikan aktivitasnya.

Ia menatap Rhea dengan kening yang berkerut kemudian melempar lap kain yang ia gunakan ke etalase. "Kau marah dengan perkataanku? Kau pikir aku berbohong soal hutang-hutang ayahmu?"

"Bu-bukan begitu, Bi ...."

"Apa? Apa kau ingin mengatakan bahwa ayahmu yang terbaik? Atau kami mengambil keuntungan dari kematian orang tuamu? Begitu? Kau seharusnya sadar bahwa sekarang kau sudah tidak punya apa-apa lagi!" Christina melangkah lebar-lebar, mendekati Rhea kemudian mendorong bahu gadis yang kini semakin menunduk itu dengan jarinya.

Rhea tidak bisa berbuat apa-apa, yang gadis itu bisa lakukan hanyalah menunduk, menutupi wajahnya yang kini sudah basah dengan air mata. Delapan belas tahun bukanlah waktu yang cukup untuknya menjadi sebatang kara.

"Bukan itu maksudku, Bi! Aku hanya tidak ingin menjadi beban bagi Bibi juga Paman. Karena itu aku mau memilih bekerja untuk melunasi hutang ayah. Itu tanggung jawabku, bukan tanggung jawab Paman."

Teriakan itu membuat napas Rhea terengah-engah, ia mengusap air matanya secara kasar meski tahu bahwa itu akan kembali mengalir deras untuk beberapa saat.

Mendengar teriakan keduanya, Allan segera datang. Edith dan Cameron pun turut serta menghampiri dan mematung ketika melihat ibu mereka tengah adu mulut dengan sang sepupu.

"Ada apa ini?" tanya Allan penuh khawatir. Kepalanya menoleh ke arah Rhea dan Christina secara bergantian, seolah menuntut jawaban dari kedua belah pihak.

"Tanyakan pada keponakan tersayangmu itu!"

Christina hanya mengucapkan sebait kalimat sebelum berbalik dan meninggalkan Allan bersama Rhea yang masih setia menangis. Edith dan Cameron mengikuti langkah ibunya, meninggalkan Rhea hanya berdua dengan Allan.

Setelah hanya berdua, Rhea menjatuhkan dirinya, berjongkok dan menangis di depan Allan. Gadis itu tidak tahu langkah apa yang harus ia ambil dalam situasi seperti sekarang ini.

"Kau bisa ceritakan apa yang terjadi, Rhea?" Allan ikut berjongkok, mengusap anak semata wayang dari kakak tercintanya yang baru saja tiada.

Pilu, Rhea bahkan tidak sanggup meski hanya untuk membuka suaranya di depan Allan. Baginya, biarlah ia mendapat perlakuan buruk asal jangan nama Adam yang harus buruk di depan Rhea. Adam mungkin buruk di mata orang lain, tetapi di mata Rhea, pria itu adalah ayah terbaik yang pernah ia miliki.

"Aku berjanji akan melunasi semua hutang ayah, Paman," ucap Rhea di sela isaknya.

Wajah Allan seketika menegang, pria itu tidak menyangka bahwa keponakannya akan berkata seperti itu, terlebih dengan ekspresi pilu. Ia sudah berjanji pada Adam bahwa ia akan menjaga Rhea dan merahasiakan semua masalah Adam dari Rhea. Namun, sepertinya Christina tidak mau itu terjadi.

"Paman minta maaf atas ucapan Bibimu. Aku jamin ia tidak akan mengatakan hal seperti itu lagi. Untuk masalah hutang, kau tenang saja. Itu bukan tanggung jawabmu." Mata Allan berkaca-kaca. Pria itu mengusap kepala Rhea dan membawanya berdiri.

"Istirahatlah, Rhea. Apa kau mau membantu Paman besok berbelanja? Paman akan membelikanmu bayi kepiting yang bisa kita masak! Kau mau?" Allan berusaha membujuk Rhea.

Semenjak kepergian kedua orang tuanya, Allan belum pernah melihat Rhea tertawa. Padahal dulu, setiap Allan berkunjung ke rumah Adam, gadis itu selalu menyambutnya dengan ceria. Bahkan Allan merasa lebih dekat dengan Rhea ketimbang kedua anaknya.

Oleh karena itu, ketika mendapati Rhea yang menangis, pria yang hampir menyentuh kepala lima itu ikut merasakan sesak di hatinya.

"Ta-tapi bagaimana dengan Bibi?" Rhea bertanya ragu.

"Kita hanya akan pergi berdua besok. Apa kau mau membantu Paman tua ini membawa belanjaan?" Allan menyunggingkan senyum.

Rhea ikut tersenyum ketika melihat Allan. Gadis itu bahkan menyeka air mata yang masih tersisa di wajahnya sebelum mengangguk menjawab pertanyaan Allan. Allan tertawa, pria paruh baya itu merapikan rambut Rhea yang berantakan seraya menepuk pundaknya beberapa kali.

"Sekarang kau tidur. besok kita berangkat pagi-pagi sekali."

Sekali lagi Rhea mengangguk. Gadis itu tersenyum kemudian mengambil tangan Allan untuk dicium sebelum pamit naik ke dalam kamar. Sempat berpapasan dengan Edith, tetapi perempuan yang seumuran dengan Rhea dan tengah fokus menjadi mahasiswa semester awal itu seperti tidak peduli terhadap apa pun yang terjadi.


ʙᴜᴀᴛ ᴋᴀʟɪᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴍᴇʀᴀsᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ ᴀᴋᴀɴ ʙᴇʀᴀᴛ, ᴊᴀɴɢᴀɴ ᴋʜᴀᴡᴀᴛɪʀ! ᴋᴀʀᴇɴᴀ ᴀᴋᴜ sᴜᴅᴀʜ ᴛᴏʙᴀᴛ ʙᴜᴀᴛ ʙɪᴋɪɴ ᴀʟᴜʀ ʙᴇʀᴀᴛ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro