03 · Gala dan Angin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Angin, angin apa yang rasanya asin, hayo?

🍣

"Kaa-san (ibu), aku mau ikut!"

"Haish, sssttt! Gala! Sudah Ibuk bilang kan, kalau di luar rumah itu kamu harus panggilnya 'Ibuk'. 'Ibuk'!"

Wanita dengan rambut hitam tergulung itu duduk di hadapan gue. Mukanya ngeblur, gak jelas.

"Tapi... Kaa-san...."

"Gala! Ini bukan di rumah Obaa-chan (nenek) lagi! Kamu harus berbicara dengan bahasa Indonesia. Dan Gala, Ibuk nggak bisa di sini lebih lama lagi, Ibuk harus pergi. Sana masuk, duduk tenang sama Ibu Batak. Jangan membantah, ya?"

Gue lupa waktu itu persoalannya apa, kenapa Kaa-san, nyokap gue, keburu banget pergi dan keukeuh nitipin gue sama Ibu Batak marga Hutapea itu.

Gue juga nggak inget alesan gue ogah banget ditinggal. Kenapa ya? Apa karena gue ada feeling kalo itu momen terakhir gue ketemu sama Kaa-san, nyokap gue?

Gue juga nggak paham kenapa nyokap nggak nitipin gue aja di rumah Obaa-chan (nenek).

Ah, iya, tunggu! Gue inget!

Waktu itu pas banget momennya Baa-chan (nenek) kena penyakit cacar! Kalo nggak salah, Baa-chan wafat seminggu kemudian. Apa nyokap gue pergi buat ngerawat dia, ya?

"Gala!" panggil Ibu Batak Hutapea. Gue cuek. Gue malah genggam lengan jaket nyokap kenceng-kenceng.

"Jess, cepat masuk." Gue denger Ibu Batak merintah anak gadisnya, Jesslyn, yang seumuran sama gue dan sedag mengintip dari pintu ruang tamu. Sepertinya drama gue sama Kaa-san nggak cocok jadi tontonan anak di bawah umur.

Detik berikutnya gue inget bisa ngerasain tangan Ibu Batak yang narik-narik lengan gue.

"Nggak mau! Kaa-san! Okaa-san!!"

Ibu Batak tentu aja punya power cukup kuat untuk narik lepas gue, bahkan nyiduk badan kecil gue kalo dia mau. Tapi gue berontak sekuat tenaga, ngebuat Kaa-san dengan tega ikutan ngelepas paksa lengan gue. Doi setengah nahan nangis, gue liat. Gue juga otomatis mewek waktu itu, maklum, masih bocil.

"Jaa, ne, Gacchan (udah, ya, Gala sayang)." Kaa-san berkata singkat sebelum buru-buru masuk ke dalem taksi. Dan gue pun cuma bisa liat taksi itu pergi sambil lanjut nangis.

🍣

Gue merem sedetik, ngerasain embusan udara itu. Asin.

Telinga gue juga nangkep suara deburan ombak yang sayup-sayup nganter gue balik ke realita.

Tiap kali gue reminisi, nginget lagi potongan-potongan memori dari jaman gue bocah, rasanya makin lama, semuanya tuh jadi makin jelas.

Kayak serpihan puzzle yang mulai bisa lo rangkai ketika nalar lo udah mateng. Ketika lo udah dewasa.

Orang lain mungkin ngerasa, luka sama trauma itu momok yang patut ditakuti. Penyebab depresi. Harus disembuhkan. Harus move onhealing, dan bla-bla-bla.

Tapi nggak bagi gue.

Sebab, buat gue, memori-memori pait yang kata orang disebut luka itu, bentuk past tense dari trauma itu, adalah identitas diri gue. Kenangan-kenangan itu yang ngebentuk hidup gue.

Itulah kebenaran dari eksistensi gue.

Nggak perlu sentimental dan ngedrama. Gue nggak baper kok tiap nginget-nginget itu semua. Malahan lega, yang ada, ketika gue bisa ngerangkai logika dari potongan ingatan gue di masa kecil.

Lo pernah gitu juga, nggak?

Nginget dulu ada potongan kejadian, dan baru terjabarkan ketika lo udah dewasa.

Lega 'kan?

Nah ya udah, sama.

"Bang Gala," panggil suara alto lembut yang familiar di kuping gue. Suara yang selalu bikin hati gue adem.

"Kok di sini? Nggak pake jaket? Nanti masuk angin." Tuh, lagi, walopun dia bawel, tapi tetep bikin adem.

Gue noleh ke sumber suara itu. Rasanya kayak flashback ke dua puluh tahun lalu, pas gue kenal ni bocah, waktu itu dia umur tiga tahun, lucu dan gemesin. Sekarang juga masih lucu dan gemesin, sih, menurut gue.

"Tika," sambut gue. Dia senyum, gue ikut senyum.

Namanya Tika, Mustika Lim. Dia satu asuhan sama gue, di rumah Ibu Batak, bareng sama beberapa belas anak-anak lainnya. Sebagian dari kami punya mata sipit, wajah oriental, dan nama yang nggak nasionalis. 

Mustika sendiri keturunan Sunda-Tionghoa. Sunda-nya sih nggak apa-apa. Tionghoa-nya ituloh, yang bikin dia dan keluarganya jadi inceran massa 2 tahun sebelum tahun 2000. Taulah, insiden apa.

Rumah Ibu Batak jadi safehouse bagi kami, anak-anak yang nggak beruntung karena dilahirkan dengan wajah yang salah, di negara yang salah, pada timing yang salah pula.

Lambat laun, julukan Ibu Batak itu mulai berubah jadi Ibu Panti. Sampe sekarang juga kita masih awkward kalo disuruh manggil nama aslinya. Palingan 'Ibu' aja gitu, yang sopan. Seenggaknya, tiap hari raya kami semua masih rajin mudik ke rumah Bu Panti. Dia udah ngerawat kami seperti anak-anaknya sendiri.

Tika, salah satu bocah yang udah gue anggep sebagai adik sendiri, adalah cinta pertama (huek!) sekaligus perempuan paling deket di hidup gue—setelah Baa-chan (nenek), Kaa-san (nyokap), dan Ibu Panti, of course.

Kok gue geli ya bilangnya, cinta pertama, di-mix sama kata "adek". Hihhhh. Tapi toh, gue sama Tika emang nggak ada hubungan darah. Ah auk ah, gelap! Intinya, gue lumayan sayang sama cewek ini. 

"Bang," panggil Tika. Gue noleh. Kayaknya barusan gue bengong lagi.

"Aku tadi dapet telepon dari Chef Faris, nanyain kabar Abang...."

"Oh," jawab gue. Singkat padat dan sepenuhnya berbanding terbalik sama otak gue yang sekarang lagi meleduk-leduk karena ngedenger namanya.

"Aku bilang Abang baik-baik aja, dan butuh waktu lebih lama sebelum siap untuk balik ke Jakarta."

"Oh." Gue ogah balik ke Jakarta.

"Aku rasa... nggak ada salahnya Abang coba telepon balik Chef Faris, ngobrol sebentar aja."

"...." 

Kali ini gue nggak nge-oh-in Tika. Dia udah tau apa yang ada di pikiran gue. Gue nggak mau. Gue malu.

Jujur, pertemuan gue dengan Chef Faris dan Raka lima tahun lalu itu udah ngubah hidup gue, seratus lapan puluh derajat, jadi lebih baik; terdidik, terarah, ber-skill, dan terhormat.

Kalo lo kepo apa jawaban gue sama tawaran Chef Faris untuk sekolah kuliner sama dia, ya jelas gue jawab 'iya' lah! Lo kira gue bego, ngelewatin kesempatan emas macem begitu?

Ah, tapi iya sih. Gue bego.

Waktu itu, padahal mereka udah baik-baikin gue banget, Chef Faris ngurusin ujian paket C gue, Raka bantuin gue belajar, terus mereka ngurus beasiswa untuk kuliah gue, dan ngasi gue tempat tinggal sekontrakan bareng sama Raka dan satu temen cowok lagi namanya Oky.

Cuma gue bego banget sumpah waktu itu. Gue sering bolos kuliah, sering ngilang pas praktikum, sering ngulang dan nggak lulus kelas yang menurut gue 'nggak asik' atau terlalu susah.

Satu-satunya kelas yang gue seriusin adalah kelasnya Chef Faris, out of respect, yang waktu itu berfokus sama masakan oriental. 

Matkul yang paling gue suka tentu aja sushi. Bukan karena gue alay dan ngerasa sushi-lah yang mempersatukan gue dan Chef Faris-Raka loh, ya! Gue cuma demen aja karena bikinnya gampang.

Demikian, kelakuan gue sendiri yang pilih kasih dan ngentengin perkuliahan berdampak sama IPK gue yang akhirnya jeblok di angka 1,33. Kurang bego apa, coba?

Akhirnya, pas Raka lulus dan lanjut ke pelayaran bareng Chef Faris tiga tahun lalu, gue masih tertinggal sendiri di kampus. Gue drop out pada semester itu. 

Berbekal skill dan pengetahuan tentang sushi dan ikan-ikanan, gue balik ke Jakarta.

Hidup gue sempet makmur di sana, puncaknya kerja jadi kepercayaan keluarga Krisna untuk ngelola resto sushi mereka, KK Sushiya. Dan itu juga yang sampe ke telinga Chef Faris. Dia bangga, katanya. Tapi entah kenapa, gue enggak.

Gue tetep ngerasa sebagai anak bego yang nggak tau diuntung. Bisa-bisanya gue dikuliahin gratis tapi malah mangkir. Apa masih pantes gue ditanya-tanyain sama Chef Faris yang udah terlalu baik sama gue?

Sekarang, liatlah gue, terasing di pulau terpencil yang lepas dari daratan Jawa, ngejar-ngejar Tika yang walopun masih care abis sama gue, tapi sekarang udah jadi istri orang sekaligus ibu beranak dua. Ternyata selain berbakat jadi orang bego, gue juga bakat jadi bucin tersesat.

"Tik." Entah kenapa gue manggil namanya.

"Gue masih pengen di sini." Ah, akhirnya kata-kata jujur keluar dari mulut gue.

Tika nyentuh lengan gue. Gue merinding.

"Nggak apa-apa, Bang. Abang boleh di sini sampai kapan pun. Aku cuma minta, Abang sesekali kabari Chef Faris. Dia kelihatan sekali kangen sama Abang."

"Ya. Nanti." Nah, yang ini bohong lagi. Dan Tika kayaknya tau.

Mustika langsung melangkah ngejauhin gue, sadar usahanya buat ngebujuk gue sia-sia.

🍣

Oh iya, kalo lo masih nggak paham, angin apa yang asin? Jawabnnya ya angin laut!

Nggak lucu? Ya udah, lagian gue bukan badut. Mau apa lo??




a / n

Beb bab beb, aku yang mantan wibu dan anak jurusan Bahasa pas SMA ini mau coba ngasah ulang skill basa jepun ku yang naujubillah ngawurnya ini ya... 

Maaf jangan dibuli plis. Ditimpuk pake koreksi aja, boleh. He-he.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro