Senandika di Sudut Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika kau tidak mendapatkan apa yang kau inginkan saat ini, percayalah Allah telah menyiapkan sesuatu yang jauh lebih baik lagi suatu saat nanti

"Mbak."

Suara lembut itu meraih tanganku, menggenggamnya erat.

"Nggak penting orang lain menganggap keberadaanmu atau nggak, menganggap kamu berharga atau nggak. Tapi untuk keluarga ini, Mbak sangat berharga," ujar Bunda dengan seberkas kilau di sudut netranya, sehabis membaca salah satu artikel yang lewat di sosial media beliau.

Aku menghela napas panjang. Berusaha tidak tenggelam dalam melankoli yang akhirnya hanya menambah kesesakan di dadaku sendiri. Hampir lima bulan sejak pertama kali merasa depresi karena ambisi yang hancur dan harga diri yang terinjak, pembelaan Bunda akhirnya bisa membuatku sedikit berpikir jernih. Meski hingga saat tulisan ini dibuat, masih saja ada airmata yang menggantung di pelupuk saat teringat kejadian yang membuatku cukup terpuruk.

Silly thing. Ya, aku tahu ini mungkin hanya perasaan bodoh yang dengan bodohnya pula memerangkapku sedemikian lama. Self esteem dan self worth-ku jatuh ke titik terendah. Merasa seperti sampah, tidak berguna, tidak berharga dan tidak berhak ada untuk menjalani hidup.

Aku tahu sejak dulu, ambisius selalu ada dalam setiap jalan yang kupilih. Tapi aku tidak pernah tahu, ternyata ambisi itu pula yang menyeretku dalam lorong frustrasi yang panjang ini. Bila biasanya aku menyesal karena melewatkan sebuah kesempatan begitu saja, kali ini aku sangat menyesal karena telah mencoba. Dan aku tidak tahu, ternyata sesakit ini rasanya ....

Aku kalut, sungguh. Tiap kali rasa 'tidak penting' itu menyelimuti benak, membuatku menangis berjam-jam di pagi yang masih terlalu dini, memaksaku untuk tidak memejamkan mata. Belum lagi bayang-bayang kematian entah bagaimana ikut menari di sudut pikiran. Satu yang kutahu, aku tidak boleh berdiam diri. Maka kumulai menghubungi sahabat-sahabat. Meminta pegangan dari mereka. Meski akhirnya hanya satu-dua yang secara tepat mengerti rasa frustrasi ini.

Bahkan Bunda menyuruhku langsung berkonsultasi pada ahlinya, yang kutolak dengan halus. Yah, meski saat ini justru kurasakan urgensi konsultasi itu saat perasaanku terasa semakin pekat dan panjang.

Sampai suatu hari, postingan snapgram seseorang yang concern soal mental health menyentakku keras; "Keberhargaan diri itu datang dari diri sendiri. Sejauh mana kita bisa sayang, menerima dan menghargai diri sendiri. Bukan datang dari orang lain."

Aku sadar, akhir-akhir ini beberapa hal yang membuat depresi ini semakin memekat berasal dari diriku sendiri. Aku yang tidak menghargai waktu, aku yang tidak kredibel, dan terkesan abai pada banyak hal. Berlindung pada perasaan 'tersakiti' dan 'depresi' yang berlarut-larut.

Aku stuck. Keberfungsianku terganggu. Produktifitasku kacau. Selama bulan-bulan itu, aku tak bisa menikmati apapun yang dulunya menjadi pelarian di kala penat. Apalagi sikap kerasku untuk tidak menuliskan kejadian buruk itu karena tak ingin ia terngiang lebih lama.  Aku tahu, sikapku itu akan menyakitiku. Dulu juga seperti itu.

Tapi kali ini, semakin lama aku mendiamkannya dengan bercerita secara lisan pada orang-orang, kesesakan itu tak juga berkurang. Feel-ku hilang seketika. Project besar yang seharusnya selesai sejak akhir tahun lalu, hingga kini terbengkalai begitu saja. Belum lagi rasa tertekan dari pekerjaan membuatku merasa 'tersiksa' saat harus menggoreskan kata.

Akhirnya aku menyerah. Menuliskan sakit hati itu dengan airmata berderai. Melerai kesesakan itu dalam rangkaian kekata penuh amarah. Lalu alih-alih mempublikasikannya, tulisan itu kuhapus begitu saja. Dua kali. Setidaknya ada satu eunoia dan satu fiksi realis yang membantu mengurai emosi.

Dan nyatanya hanya itu yang kubutuhkan. Saat orang-orang di sekitar tak lagi bisa memahami betapa perasaanku tak lagi berbentuk. Aku sadar, yang kubutuhkan hanya waktu. Waktu untuk menata semuanya kembali seperti semula. Hingga di satu titik aku bisa terbiasa, dan menerima.

Duhai, sampai pada titik ini rasanya kuingin merutuki kebodohanku yang begitu naif. Sibuk pada perasaan sendiri, sibuk melihat kemalangan diri di masa lalu hingga tak memandang apa yang Allah berikan padaku sebagai gantinya.

Satu posisi kuat dalam sebuah event bergengsi, dan satu keanggotaan penting dalam event krusial lainnya. Belum lagi kesempatan emas untuk menghasilkan karya antologi prestisius di tahun ini. Dan aku masih saja terpuruk bak seorang pesakitan tak berguna?

Di sisi lain, harusnya sekelumit syukur itu terpanjat di sudut hati karena keterpurukan ini bukan dipicu oleh keluarga. Berapa banyak orang di luar sana yang memiliki masalah pada psikisnya karena keluarga yang tidak mendukung. Membanding-bandingkan. Menuntut kesempurnaan.

Seseorang pernah pula berkata padaku; "Tidak penting apa yang orang lain katakan. Yang paling penting hanyalah orang tua kita sudah cukup bangga dengan apa yang kita lakukan."

Sejatinya, aku sudah sangat lelah dengan semua deraan emosi dan perasaan ini yang semakin lama semakin tidak masuk akal. Aku hanya ingin hidup normal. Tak menyimpan rasa sakit hati, apalagi dendam. Aku ingin memandang mereka sama kembali. Seperti dulu.

Keberhargaan diriku terletak pada diriku sendiri. Perasaan dan benakku pun hanya aku yang bisa menguasainya. Maka aku harus bergegas untuk berbenah. Mengambil kesempatan demi kesempatan yang Allah bentangkan di hadapan. Dan meninggalkan kenangan pahit jauh di belakang.

Sudut hati yang mulai lapang, 12 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro