Takdir Penggores Kisah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa kau percaya, Rin?"

"Pada apa? Kutukan omong kosong itu?"

"Iya, writing cruel," bisik Fika pelan, kabut ketakutan menyelimuti matanya.

Aku mendengus sebal. Akademi kepenulisan bergengsi ini berubah mencekam sejak seminggu yang lalu. Koridor mendadak sunyi jika sudah menyentuh pukul lima sore. Kelas malam ditiadakan. Keamanan asrama diperketat. Tak ada yang diperbolehkan
meninggalkan asrama sampai masa pelatihan berakhir.

"Mungkin, itu cuma kebetulan Fik," sanggahku.

"Kebetulan? Mati dengan kondisi persis seperti yang ditulis kau sebut kebetulan?"

Aku terdiam. Sebenarnya aku sudah merasa janggal sejak kematian Raka seminggu yang lalu. Penulis genre thriller asal Depok itu ditemukan tewas di bawah pohon beringin dengan tusukan dahan tajam di dadanya. Persis seperti cerpen yang sedang ia garap.

Lamunanku dibuyarkan oleh teriakan dari lantai dua. Fika refleks menggenggam tanganku. Mata kami saling bersitatap. Aku melirik jam tangan. Ini baru pukul setengah lima. Bukankah para siswa masih diperbolehkan berada di luar asrama?

"Itu ... itu suara apa, Rin?"
Aku menggeleng. Beberapa siswa bergegas menuju lantai dua. Fika beringsut mendekat. Meski takut, tak satu pun dari kami beranjak pergi.

"Rini! Segera lapor ke pengawas. Ada insiden lagi," teriakan Kak Dika membuatku mengambil langkah seribu menuju kantor.

*---*---*

Aku memalingkan wajah. Tak tega melihat paras cantik Tiara yang pucat pasi. Penulis terbaik genre romance itu meregang nyawa dengan selembar kain yang menjerat lehernya. Persis seperti kisah tokoh yang ia tuliskan. Aku sempat membaca jurnalnya beberapa hari lalu.

"Kutukan karya sedang berjalan," ujar Kak Dika setelah pemakaman Tiara selesai.

"Kutukan itu sungguhan, Kak?" tanyaku.

"Menurutmu? Ketika kita memutuskan untuk menjadi penulis, kita tak hanya menggoreskan takdir untuk tokoh yang kita tuliskan. Tapi juga ... takdir kita sendiri."

*---*---*

Kematian misterius dua penulis terbaik di akademi ini membuat isu kutukan karya semakin tersebar. Banyak siswa kelas thriller yang takut melanjutkan tulisannya. Beberapa mengganti tulisannya dengan sudut pandang orang ketiga. Siswa kelas romance bahkan membuat ultimatum untuk tidak memasukkan unsur kematian dalam cerita mereka. Semua waspada dengan segala kemungkinan. Dan jika kutukan karya itu benar, seharusnya tak ada lagi korban.

"Fika...!" Suaraku memantul di dinding koridor lantai satu.
Jam besar yang tertempel di tengah gedung pelatihan sudah menunjukkan pukul empat lewat lima puluh. Hanya tersisa sepuluh menit sebelum gerbang asrama ditutup. Ke mana Fika? Ia tak terlihat sejak kelas terakhir sore ini. Aku mencoba menyusuri kelas satu per satu. Sampai di ujung koridor, aku menemukan pintu perpustakaan terbuka. Terdengar suara rintihan lemah dari dalam. Aku menerobos masuk.

"Fika...!" Aku menjerit. Fika tergeletak dengan nadi di pergelangan tangan kanan yang hampir putus. Entah oleh apa. Tapi yang pasti bukan dengan silet atau benda tajam lainnya.

"Apa yang terjadi, Fik?" tanyaku panik.

"Berhati-hatilah dengan apa yang kau tulis, Rin. Karena kau nggak pernah tahu, takdir apa yang a ... kan da ... tang pa ... damu,"Ucap Fika dengan napas terputus-putus. Lalu ia terdiam. Tak tersisa tanda-tanda kehidupan dari tubuhnya.

"Fika!" Aku kembali berteriak. Air mata jatuh tak tertahankan. Tak jauh dari tempat ia duduk, ada sebuah jurnal tergeletak. Jurnal itu milik Fika. Dengan tulisan tangannya yang khas. Aku menutup mulut. Ngeri. Sekarang, aku tahu kesalahan apa yang telah ia perbuat.

'Aku mau berhenti menulis. Aku ingin pulang.'

Dua kalimat itu tertulis rapi di jurnal milik Fika. Bulu kudukku merinding saat menyadari tulisan itulah yang membekas luka di tangan kanannya. Keinginan Fika terwujud. Persis seperti apa yang ia tuliskan.

Cikarang, 14 Mei 2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro