14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku tahu. Caramu bertindak adalah caramu menolak."

Seorang gadis berkaos merah dipadukan celana olahraga berwarna hitam berdiri memandang langit malam bertabur bintang. Jari telunjuknya terangkat, mencoba menghitung benda langit yang tampak kecil jika dilihat dari bumi. Sesekali dia meringis kala gagal berkonsentrasi menuntaskan tindakan konyolnya.

Lelah berdiri, Cila terduduk di atas rerumputan dan kembali melanjutkan pekerjaan tersebut. Lima belas menit berlalu, dia membaringkan badan tanpa memedulikan pakaiannya akan kotor. Saat sedang asyik menghitung bintang, bunyi decitan pagar menginterupsi. Dia kontan mengubah posisi menjadi duduk.

"Eh, lo, sini duduk," sapa Cila sembari menatap pergerakan si tamu.

"Emang pengen duduk." Elon langsung menjatuhkan badan tepat di sebelah Cila. "Gue pengen ... bilang sesuatu."

Embusan napas pendek dan berat keluar dari lubang hidung gadis itu. Dia sedang tidak ingin memusingkan hal yang tidak mungkin terjadi, tetapi bisa membuat pikirannya tak tenang. Kenapa juga Elon harus membawa-bawa Gasa dengan berjuta pertanyaan?

"Tentang Gasa lagi?" Cila membuang napas. "Denger, dia sepupu gue dan gak mungkin suka sama gue. Kalau lo ... mungkin gue percaya, tapi kalau Gasa? Jangan ngaco!" Belum apa-apa dia sudah langsung melayangkan protesan hingga membuat Elon terkekeh.

"Aelah, sensi banget. Tapi, kali ini serius. Jadi, dengerin gue," pinta Elon sungguh-sungguh.

Cila kembali terduduk, kedua lengan dijadikan bantal kepala. Tanpa menengok apa yang sedang dikerjakan Elon, dia menyahut ogah-ogahan. "Ya udah, gue dengerin."

Tanpa menunggu jeda lama, cowok itu juga melakukan hal serupa—membaringkan diri tepat di sebelah sahabatnya—lalu membuka percakapan ke arah seharusnya dia berucap.

"Intinya jangan pernah menghakimi perasaan seseorang, Cil. Cinta gak ada yang tau mau jatuh di mana. Jatuh cinta bukan kendali kita, tapi kendali si empunya perasaan." Elon memulai dengan nasihat, bermaksud agar Cila bisa memahaminya perlahan-lahan tanpa emosi membludak.

Namun, dia yakin saat ini pikiran gadis itu sedang tidak tenang karena sudah membahas hal demikian ketika di taman sekolah. Jadi, kemungkinan untuk terkejut tidaklah seberapa.

Cila tidak menjawab, gadis itu hanya mendengarkan saksama, menggali tiap makna kata hanya untuk menemukan ke mana arah pembicaraan ini. Tak butuh waktu lama, dia mengerti sekarang. Jantungnya berdegup kencang, darah mengalir deras, perasaan aneh itu bisa Cila rasakan, dan dia memohon pada Tuhan agar bisa keluar dari keadaan yang menghimpit dada dari menit ke menit.

"Gasa suka sama lo dari SMP. Jangan tanya kenapa dia suka, dia aja gak tau kenapa bisa suka sama sepupunya sendiri." Elon terkekeh di akhir kalimat. "Dan dia sebenarnya gak pengen lo tau," lanjutnya.

"Kenapa?" Cila berujar lirih. Dia memejam, merasakan pening yang tiba-tiba menghantam kepala.

"Dia gak pengen lo menjauh dari dia. Lo gak akan, kan?" Permohonan maaf terus terlontar dari dalam hati untuk Gasa. Elon khawatir jika sahabatnya itu tidak ingin melihatnya lagi. Apakah dia salah bertindak kali ini?

Salahkah usahanya agar sang sahabat tidak tersiksa lagi dengan perasaan yang telah bersemayam dalam waktu lama? Dia ingin Gasa tidak memendam dan sakit terus-menerus. Setidaknya Gasa tidak terlalu terbebani lagi karena ketidakpekaan Cila, hanya itu. Dia ingin keduanya bersikap dewasa dalam menghadapi hal semacam ini. Lebih baik jujur sekarang daripada tak pernah sama sekali.

"Gue ... gak tau. Kenapa dia suka sama gue? Ini gak mungkin dan gak boleh." Cila bergumam.

Angin semakin bertiup kencang hingga membuat keduanya bergidik kedinginan. Segera Elon menarik Cila memasuki rumah.

"Udah gue bilang kalau lo ataupun manusia lain gak bisa kontrol perasaan seseorang. Itu bukan kendali kita, Cil."

"Tapi, dia sepupu gue. Gue gak pernah berpikir kalau dia bakalan suka sama gue." Cila berhenti berderap ketika tiba di di depan pintu rumah. Dia beralih duduk di kursi teras dalam keadaan kacau balau. Alih-alih marah, dia justru merasa bersalah. "Lon, gue gak tau gimana sakitnya jadi Gasa."

Elon terkejut ketika mendapati Cila meneteskan air mata. Di luar ekspektasi, ternyata gadis itu tak menunjukkan emosi negatif, melainkan empati. Seperti telepati, dia mengetahui bahwa saat ini Cila sedang merutuki kesalahannya yang tak menyadari arti sikap Gasa untuknya.

"Gue pengen marah, Lon! Gue gak mau dia larut sama perasaan itu untuk gue. Tapi, kenapa gue gak bisa," kesalnya seraya menghapus air mata yang keluar tanpa diminta. Dadanya kian sesak.

"Gue serahin semua sama lo, Cil. Gue tau lo bisa ngatasin semuanya. Gue pamit." Setelah berujar demikian, Elon lantas pergi meninggalkan Cila dalam balutan kebimbangan dan kesedihan.

"Gue ... harus gimana, Lon," lirih gadis itu, berusaha terbebas dari sesak yang terus menghimpit dadanya.

Di tempat lain, Aritma tak henti-hentinya memandang parkiran mall sebab tak sabar bertemu seseorang. Dia masih tidak menyangka cowok itu akan menyetujui ajakannya. Senyuman manis tidak pernah luntur sejak menginjakkan kaki di sini. Tubuh berbalut dress selutut dan hanya menutup lengannya sedikit membuat penampilan gadis itu semakin anggun. Jujur saja, dia tak pernah tampil seperti ini untuk seorang cowok sebelum melihat Gasa dengan tindakan manisnya untuk Cila.

"Mungkin gue benar-benar suka sama lo," gumamnya tanpa memudarkan senyuman.

Waktu terus bergulir dan Gasa belum juga menampakkan batang hidungnya. Siapa yang tak khawatir jika menunggu seseorang selama tiga puluh menit lamanya? Dengan perasaan campur aduk dia meraih ponsel dari dalam tas kecil lalu menelepon cowok itu. Alibi mengajak Gasa untuk membeli buku ternyata memberi keuntungan berlipat ganda. Dia bisa memiliki nomor ponsel cowok itu.

Aritma membaca kata 'berdering' pada layar, tetapi Gasa tidak kunjung menjawab. Dia menggigit kuku, gugup sendiri. Gasa tidak mungkin mengingkari janji, bukan?

Di tempat lain, Gasa mematung di luar pagar rumah Cila. Matanya memerah akibat menahan amarah. Dia tidak mungkin salah dengar, telinganya baik-baik saja. Dengan langkah-langkah lebar dia mendekati Elon yang baru saja keluar dari pekarangan rumah sepupunya, dan dalam sekali entakan kepalan tinju sudah mendarat mengenai ujung bibir sahabat kecilnya.

"Sialan! Gue percaya sama lo, tapi kenapa lo bongkar semuanya." Emosi semakin membuncah. Gasa tak ada niat meredam kemarahan meski Cila sudah berada di dekat mereka, menampakkan wajah terkejut dan mungkin benci karena dia telah melakukan kekerasan.

"Sa! Sadar, dia Elon teman lo. Kenapa jadi mukulin dia?" pekik Cila. Untung saja malam ini ibunya sedang mengunjungi tetangga yang tengah sakit di komplek sebelah bersama mamanya Elon, jadi dia tidak segan-segan meneriaki Gasa.

Gasa membuang muka, enggan menatap Elon yang meringis kesakitan. Dia melihat jelas darah mengalir dari sudut bibir cowok itu, tetapi dia tidak peduli. Sekarang hanya ada ketakutan yang mengerubungi benaknya, kejengkelan ikut terselubung dalam balutan kerisauan. Pada akhirnya, cowok bermata legam itu menarik rambut frustrasi, lantas berteriak berusaha mengeluarkan sesak.

"Lo," pekiknya tertahan sembari menunjuk Elon yang hanya mampu menunduk menahan sakit. "Gue percaya sama lo, tapi ke--"

"Gue gak pengen lihat lo kesiksa sama cinta diam-diam lo itu. Kita udah dewasa, apa salahnya mengakui?" potong Elon, matanya menatap datar cowok berkemeja kotak-kotak merah-hitam di hadapannya.

"Sialan!" umpat Gasa lagi.

"Cukup, Sa!" Cila menjerit. "Elon gak salah. Minta maaf sama dia dan pergi dari sini! Gue gak mau lihat lo." Entah sejak kapan gadis itu menangis, yang jelas Cila semakin sesak. Dia tidak marah Gasa menyukainya, dia marah karena sepupunya memilih memukul Elon.

"Gue kecewa sama lo, Sa," lirih Cila, lalu berlari memasuki rumah, lantas membanting pintu. "Kenapa gue nangis," keluhnya seraya menghapus air mata.

"Ini semua gara-gara lo!" Gasa pergi meninggalkan Elon sendirian yang hanya bisa menatap nanar sahabatnya.

Mungkin Gasa pernah berniat akan mengakui perasaannya pada Cila. Namun, tidak sekarang. Dia tidak siap dan tidak mau mendengar penolakan untuk saat ini. Namun, tindakan Elon justru memperkeruh suasana. Tujuan awalnya mendatangi Cila untuk memberikan kue kesukaan gadis itu malah tidak jadi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro