16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Setelah jujur pun kamu tetap sama, berlari sejauh mungkin sampai aku lelah dan berpikir untuk menyerah."

Elon menyugar rambut cokelat gelapnya ke belakang. Selama lima belas menit menunggu kehadiran guru untuk mata pelajaran kedua, tetapi belum ada tanda-tanda pria paruh baya yang kerap kali menenteng dua buku paket Fisika tebal di sisi badan. Selain itu, dia juga sedang berpikir bagaimana cara mengajak Gasa ke tempat sepi tanpa menyulut emosi cowok itu.

Mata sayunya melirik Gasa di kursi barisan belakang. Tadi pagi teman sebangkunya pindah tempat duduk. Dia tahu betul prihal kekecewaan Gasa, mengingkari janjinya untuk menjaga rahasia cowok itu pun adalah kesalahan fatal yang dia perbuat. Namun, ketika mengingat respons Cila, dia jadi sedikit lega. Setidaknya apa yang ditakutkan oleh sahabatnya itu tidak terjadi, bukan?

Dia mengenal betul tabiat Cila, jika memang hal tersebut pantas membuat hatinya sakit, maka gadis itu akan marah. Akan tetapi, Cila justru merasa bersalah.

"Saudara sepupu yang aneh," kekehnya di akhir kalimat.

Lama dia memantapkan hati agar bangkit dan menghampiri Gasa di tempat duduknya. Setelah dipikir-pikir, sahabatnya bahkan tidak pernah mau melihat wajahnya. Mantap kaki melangkah, dia harus memberanikan diri ke barisan belakang. Tak lupa, dia juga menyiapkan ancang-ancang untuk menghindari hadiah bogem mentah jika cowok itu benar-benar tidak bisa mengontrol emosi. Elon juga tidak ingin menunda terlalu lama memberi penjelasan sebab semakin ditunda keadaan bisa memburuk seiring berjalannya waktu.

"Sa, gue pengen ngomong sesuatu sama lo," ucap Elon. Susah payah wajah datar dia perlihatkan, tetapi beberapa detik kemudian dia jadi tersadar bahwa Gasa tidak menyukai ekspresi demikian, katanya terkesan arogan dan menyentil emosi.

Benar dugannya, Gasa sama sekali tidak merespons. Cowok itu sengaja menyibukkan diri dengan ponsel dan tak lupa memainkan sebuah gim agar dia segera pergi. Namun, Elon tidak lantas menyerah. Kali ini dia mengeluarakan jurusa andalan yang mampu membuat Gasa berfokus pada satu hal.

"Tentang Cila," tekannya pada saat menyebut nama gadis itu.

Gasa kontan berhenti memainkan ponsel, tanpa mendongak dia berjalan keluar kelas disusul Elon dengan wajah semringah karena usahanya berhasil. Dari belakang, Elon mencoba merangkul sahabatnya dan Gasa gesit menepis tangan itu. Elon sama sekali tidak kesal, apalagi marah. Baginya, kemarahan Gasa adalah hal wajar, dia hanya perlu menjelaskan segalanya agar keadaan bisa membaik seperti sedia kala.

"Rooftop," tukas Elon ketika cowok di depannya berhenti. Dalam hati, dia tertawa karena tidak memberitahu ke mana mereka akan pergi. Barulah saat melihat kerutan di dahi Gasa, dia berucap remeh dan tak lupa sedikit tertawa guna membuat cowok itu semakin jengkel.

Perlahan Elon membuka pintu besi di depannya lalu melangkah keluar, begitu pun Gasa. Terpaan angin kontan menyapa mereka berdua. Remaja berambut cekolat gelap itu memandang lapangan sekolah dari atas gedung serba guna, sedangkan Gasa sibuk dengan segala macam pikirannya. Lama saling diam, terjebak dalam zona pikiran pribadi.

Elon membiarkan Gasa menikmati angin sepoi-sepoi terlebih dahulu biar sahabatnya bisa mencerna dengan jelas apa yang hendak dia sampaikan nanti. Setelah puas bersenang-senang dalam sunyi, Elon mulai membuka percakapan.

"Sori karena gak bisa jaga rahasia lo. Gue tau kalau gue gak berhak bilang kayak gitu ke Cila. Tapi, percaya sama gue kalau yang gue lakuin itu demi lo."

Gasa menyenderkan punggung pada tembok putih samping pintu seraya bersidekap dada. "Demi gue? Dengan buat Cila merasa gak nyaman karena gue suka sama dia?" tanyanya seraya memberi tatapan tajam.

Bukannya semakin merasa bersalah, Elon malah tertawa renyah. Di akhir tindakannya, dia meringis saat melihat netra Gasa semakin geram, seperti pisau yang telah diasah pinggirnya hingga mengilap. Tak mau ambil pusing, cowok yang kini telah melonggarkan dasi sekolah itu menghampiri Gasa dan berhenti tepat di hadapan sang sahabat.

"Lo mau tau apa reaksi Cila?" Elon tersenyum sinis sembari menepuk pundak Gasa sebanyak tiga kali.

Gasa menepis tangan tersebut. "Udah selesai? Gue mau pergi sekarang."

"Dugaan lo selama ini salah, Sa. Cila sama sekali gak marah sama lo, dia bahkan merasa bersalah karena biarin lo tersiksa gara-gara dia. Sepupu lo cuma gak nyangka aja lo bisa nyimpan perasaan buat dia." Jeda sejenak sambil menghela napas pendek. "Dia merasa jahat banget karena gak bisa ngenalin sisi perhatian lo. Cila nganggap semua itu hanya karena kalian saudara sepupu."

Seketika amarah Gasa menyurut, darahnya tak lagi mendidih seperti beberapa menit lalu karena harus meladeni segala tingkah dan ucapan Elon. Ternyata penjelasan itu cukup membuatnya terenyuh. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa, di satu sisi ingin menjelaskan sendiri mengenai hal tersebut kepada Cila, di sisi lain dia tidak mau Cila terbebani akan perasaannya.

Tanpa diminta, kejadian semalam menyambangi otaknya, saat Aritma memberi sebuah pertanyaan yang membuatnya tak bisa berkata-kata. Tanpa sadar, dia membuang napas lelah. Seharusnya dia tidak perlu memikirkan hal itu, tetapi pekataan Aritma terdengar serius meskipun gadis itu tak pernah melanjutkan ucapannya, bahkan Aritma tertawa malam itu, layaknya bercanda.

"Jadi, lo mau gimana sekarang?" Suara Elon menginterupsi kegiatan melamunnya.

"Gue ... gak tau," pasrahnya, "mungkin gue bakalan biarin dia sendiri dulu, gue gak mau Cila merasa gak nyaman karena gue."

Elon tertawa kencang. "Are you sure? Is that you, Gasa that I know?"

Gasa mendengkus seraya berkacak pinggang. "Lo pikir gue apaan? Gini-gini gue ngerti perasaannya."

"Iyain, dah, yang bisa ngertiin Cila. Ngomong-ngomong lo udah gak marah lagi, kan, sama gue?" Elon memicingkan mata.

"Gue masih kesel sama lo."

"Idih, kayak cewek aja."

***

Aula serba guna yang tak jauh dari gedung perpustakaan mulai diisi oleh siswa beralmamater hijau tua. Mereka semua disibukkan tugas masing-masing. Ada yang melihat-lihat kondisi ruangan dan mulai menafsirkan jumlah pengunjung. Ada yang mengambil kursi tak terpakai di gudang sebelah kanan aula. 

Cila pun tak kalah sibuk. Sedari tadi gadis itu memijat pangkal hidung sembari menggigit pulpen. Sesekali dahinya berkerut saat menghitung estimasi anggaran yang akan diadakan untuk acara besar tersebut. Berulang kali dia menghela napas panjang  ketika salah menuliskan daftar kebutuhan pada selembar kertas.

Dia sedang tidak fokus meskipun beberapa kali mencoba memusatkan perhatian pada pekerjaannya sekarang. Ini semua karena cerita Aritma saat makan siang tadi.
Tak dapat terbendung lagi, Aritma langsung bercerita panjang lebar setelah menghabiskan semangkuk bakso dengan kuah merah di hadapannya. Gadis itu sampai-sampai berpindah duduk di sebelahnya yang masih mengunyah gado-gado secara lambat.

Cila memang tidak bisa mengunyah dengan cepat, itu karena dia tahu makanan harus ditelan dalam keadaan benar-benar halus. Siswi Ilmu Pengetahuan Sosial yang menganut keras masalah kunyah mengunyah makanan ala siswa Ilmu Pengetahuan Alam.

"Lo masih penasaran gak sama sesuatu?" Aritma menaikturunkan kedua alisnya dan tak lupa menampakkan senyum yang membuat darah Cila seketika mendidih.

"Menurut lo?" Gadis berikat rambut ekor kuda itu berujar judes.

Aritma tersenyum malu-malu. "Gue bener-bener manfaatin waktu buat PDKT sama Gasa, Cil," bisiknya. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana perjuangan Aritma agar bisa menormalkan detak jantung yang kian menggila hanya karena memikirkan kejadian semalam. Memang tak ada kejadian romantis, tetapi bagi Aritma mengajak Gasa merupakan pencapaian luar biasa.

Tidak sadar, Aritma menggigit bibir kuat-kuat karena takut berteriak histeris, sementara Cila menggerutu karena ungkapan sahabatnya sama sekali tak membuatnya tergugah untuk menggali lebih dalam.

"Cila, kok, diem aja," tegur Aritma.

Menghela napas pendek, Cila menumpukan kepala pada tangannya yang kini bertindak sebagai penyangga, tak lupa memiringkan posisi duduk agar bisa melihat Aritma leluasa. "Ya jelasin, dong. Masa iya gue harus nanya dulu ke lo."

"Heheheh. Iya, sih. Jadi, semalam gue jalan sama Gasa ke mall. Gue gak nyangka dia bakalan nerima permintaan tolong gue."

Cila mengernyit. "Minta tolong?"

Aritma mengangguk cepat sambil meminum segelas es teh. "Lo masih ingatkan nyuruh gue buat luangin waktu buat PDKT sama Gasa lewat SMS itu? Gue berani banget minta tolong ditemenin untuk beliin lo buku, dan dia mau," jeda sejenak, cewek berambut panjang itu meraup oksigen banyak-banyak. "Gue gak sekadar PDKT. Tenang aja, gue tetap beli buku, kok. Gue gak nyangka, Cil, sepupu lo mau-mau aja pergi bareng gue. Eh, bukunya ada di tas, nanti gue kasih sebagai ucapan terima kasih."

Cila membuang napas pendek, tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin ini maksud Elon melarangnya membantu Aritma PDKT dengan Gasa. Elon tidak mau dirinya kebingungan seperti ini. Aneh, sejak kapan dia bingung masalah Aritma dan Gasa? Harusnya dia tidak perlu peduli.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro