18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku memang ditakdirkan sebatas menyukai tanpa memiliki."

Cila mematung, tidak menyadari Langit berada di tengah-tengah posisinya dengan sang sepupu. Fokus gadis itu hanya tertuju pada Gasa yang menurutnya bersikap aneh, tidak seperti biasanya. Senyum tipis, sebelumnya dia tak pernah mendapatkan senyum itu dari Gasa, yang dia tahu Gasa selalu heboh jika ada sedikit saja bahaya hampir melukainya. Apa semua karena tindakan Elon semalam?

Tanpa sadar, rutukan demi rutukan dilayangkan untuk takdir. Mengapa posisi seperti ini harus ada di antara mereka? Lalu, mengapa pula Gasa tidak bertindak seperti biasanya? Toh, semalam dia hanya kesal karena sikap kasar cowok itu kepada Elon. Sekali lagi dia mendongak, ingin bersitatap dan mencoba menggali keakraban dengan cara menatap wajah sepupunya. Namun, tampaknya cara tersebut tak berhasil karena tiba-tiba Aritma muncul di hadapan cowok itu.

"Ada yang sakit, Sa? Bagaimana sama lo, Cil? Lo baik-baik aja?"

Dapat Cila lihat dengan jelas bagaimana raut khawatir itu tersuguh dan sangat tulus dari Aritma. Dia hampir melupakan sebuah fakta bahwa sahabat karibnya menyukai Gasa. Perlahan-lahan, dia memundurkan langkah. Semakin ke belakang, rasanya jarak kenyamanan semakin renggang antara dirinya dan sang sepupu. Sedih, tentu saja. Terbiasa bersama kehebohan dan penjagaan Gasa jelas tak dapat dia singkirkan begitu cepat. Dia hanya merasa kehilangan, tidak lebih.

Gadis itu berbalik badan, enggan melihat isi aula. Tugasnya sudah beres untuk hari ini. Dia butuh tenaga ekstra untuk melanjutkan tugas. Nanti malam semua panitia dan anggota OSIS harus hadir untuk gladi bersih karena pembukaan ulang tahun SMA Merah Putih akan diadakan esok pagi.

"Cila, lo mau ke mana?" Langit mencekal pergelangan tangan gadis itu. Sebagai ketua OSIS, dia tentu sangat mengkhawatirkan setiap anggotanya. Terlebih Cila hampir saja mendapatkan luka serius akibat permintaannya.

"Gue pengen pulang," tutur gadis itu, terdengar sangat lemah.

"Gue anterin, ya," pinta Langit, harap-harap cemas.

Cila tertawa kecil sembari menepuk pundak ketuanya sebanyak tiga kali. "Tuh, muka santai aja kali. Gue baik-baik, kok. Gak usah repot-repot, gue bisa pulang sendiri."

Dia tahu kekhawatiran Langit tidak main-main, dan dia sangat bersyukur karena banyak orang yang selalu memperhatikan keselamatannya, meskipun di satu sisi dia selalu merasa merepotkan orang lain.

"Cila, lain kali hati-hati, dong." Aritma tiba-tiba nimbrung setelah yakin Gasa baik-baik saja.

Dalam hati, Cila tertawa sebab sekarang Aritma sudah bisa meletakkan sisi kekhawatirannya bukan hanya untuk sahabatnya yang penyakitkan, melainkan untuk orang yang gadis itu sukai.

"Iya, gue baik-baik aja. Kan, tadi Gasa yang jadi kasur." Lebih baik ngelantur daripada kaku. Dia benci suasana canggung.

"Ayo, Cil. Lo gak boleh nolak, gue anterin pu—"

"Biar gue yang anterin pulang," cela Gasa.

Meskipun telah menolak belasan kali, Gasa tetap bersikeras mengantarnya. Seharusnya Cila bertanya banyak hal kepada Gasa, tetapi yang dia lakukan hanya membisu, sesekali membuang napas pendek. Kini keduanya berjalan menyusuri koridor sekolah. Hanya tersisa anak-anak OSIS tengah berlalu lalang di sekitar lapangan.

Gadis itu menunduk lesu ketika merasakan kehampaan menelusup ke hatinya. Bagaimana tidak hampa jika orang yang selalu cerewet saat bersamanya, sekarang malah diam bak patung bernyawa.
Sekelebat kejadian di aula merebak, dia tidak menyangka Gasa akan berbicara.

Saat itu, Cila dapat melihat jelas Aritma menampakkan raut sedikit kecewa. Aritma patut merasa seperti itu sebab Langit juga menawarkan bantuan serupa, bahkan lebih dulu. Akan tetapi, Gasa dengan senang hati menawarkan diri.

"Gue gak percaya sama orang lain … buat anterin sepupu gue."

Begitulah ucapan sang sepupu kala Langit bersikeras mengantarnya. Cila tak mampu berkata-kata, menggeleng pun tak bisa karena keterkejutan mengambil alih kesadaran. Barulah dia tersadar ketika Aritma menepuk pundaknya, menyuruh gadis itu berhati-hati dan beristirahat.

Memikirkan Aritma, dia jadi tidak enakan sebab dia berjanji akan membantu gadis itu PDKT, tetapi dia malah menghancurkan momen kebersamaan dua sejoli itu tadi. Harusnya gue nolak. Tanpa sadar dia berdecak hingga membuat Gasa menoleh ke arah gadis itu.

"Kenapa?" Gasa bertanya seraya memelankan langkah, sengaja dilakukan.

Suara berat itu refleks membuat Cila gelagapan. Lagi-lagi dia harus memperbaiki detak jantungnya. Jangan salah paham, dia hanya terkejut, tidak lebih. Butuh waktu beberapa menit untuk menjawab meskipun cuma mengatakan tidak apa-apa.

Gasa berhenti bergerak, mau tidak mau Cila juga melakukan hal serupa. Bedanya, Gasa berdiri menghadap Cila, sedangkan yang ditatap justru menghadap koridor kosong nan panjang di depannya.

Entah mengapa, Cila ingin segera berlalu dari sini secepat mungkin. Namun, semua hanya keinginan belaka karena tatapan cowok berseragam berantakan yang tak lain adalah sepupunya sudah mengunci segala pergerakannya hanya dengan tatapan tenang milik cowok itu.

"Gue rasa kita perlu bicara," tuturnya.

Cila tak lantas menjawab. Dia sibuk memikirkan tiap kata yang 'kan diucapkan. Gadis itu menggigit bibir dalamnya, tanda sedang berpikir keras padahal untuk sementara Gasa hanya membutuhkan anggukannya.

"Cil, lihat gue," pinta Gasa, terdengar memohon. "Gue minta maaf karena … udah melanggar janji."

Sudah terdeteksi pernyataan tersebut pasti dia dapatkan cepat atau lambat. Sial, Cila hanya menyediakan anggukan untuk merespons ucapan tadi. Seluruh saraf tiba-tiba menjadi kaku, lidah pun kelu, tak mampu berujar. Semua terasa aneh baginya. Segala tindakannya sekarang juga berasal dari petuah Elon. Cowok itu mengatakan bahwa perasaan seseorang bukan kita pemiliknya, dan kita tidak bisa melarang seseorang jatuh cinta, bukan?

Jika saja Elon tak pernah berkata demikian, mungkin sikap kekanak-kanakan ikut andil dalam menyikapi perkara yang tak seberapa ini. Cila mendesah panjang, persoalan yang dihadapi kini terlalu dibubuhi banyak drama. Tanpa sungkan meski diliputi sedikit kecanggungan, gadis itu mendorong bahu sepupunya. Dia berusaha terlihat sesantai mungkin menanggapi keseriusan Gasa.

"Udah, gak usah dibahas. Lagian perasaan suka itu hak lo. Kalau gue larang berarti gue melanggar hak asasi manusia. Ini negara demokrasi, lo bebas mau suka sama siapa aja, tapi jangan harap gue bisa suka balik sama lo," tuturnya tanpa rasa bersalah sama sekali.

Gasa tertawa kencang, sampai-sampai remaja itu memeluk perut. Bukannya merasa bersedih, dia justru merasa tergelitik mendengar ucapan Cila. "Iya, iya, ini negara demokrasi. Gak papa kalau lo gak bisa suka sama gue sekarang, nunggu nanti aja juga gak papa," paparnya setelah bersusah payah meredakan tawa.

"Sa, gue serius. Gue gak ada niatan buat suka sama lo saat ini dan nanti." Cila berucap tegas agar Gasa tak menaruh harapan apapun lagi untuknya.

Hening, mereka berdua saling tatap dalam kebiasuan, saling menyelami kesungguhan dari binar mata yang tersuguh. Bagi Gasa, waktu seolah berhenti sebab terlalu hanyut ke dalam tatapan mata gadis itu, sedangkan Cila justru merasakan hal sebaliknya, waktu terasa berjalan cepat, menariknya untuk berhenti melakukan acara tatap-tatapan yang membuatnya geli sendiri. 

"Ya udah, gak papa kalau lo gak suka sama gue. Masih ada Aritma yang bisa gue gaet," putus cowok itu lalu kembali mengayunkan langkah, meninggalkan Cila dalam keadaan melongo.

Buru-buru gadis berambut ekor kuda itu berlari menghampiri Gasa, ingin memastikan sesuatu. "Lo kemarin jalan berdua, kan, sama Aritma?"

Sambil menaikkan salah satu alis, Gasa berujar santai. "Iya. Kok, tau? Mata-matain gue?"

"Enak aja!" serunya, terlihat sangat jengkel. "Aritma yang bilang sendiri sama gue. Eh, jangan-jangan lo udah tau kalau dia—"

"Suka sama gue. Elah, udah keliatan. Lumayan, sih. Semoga aja gue bisa move on ke dia." Ada rasa tak rela, tetapi dia harus menerima kenyataan bahwa Cila tidak akan pernah menyimpan rasa untuknya.

Berat berkata seperti itu. Seperti ada beban menghimpit hatinya. Gasa tidak akan pernah tahu rasanya pura-pura bercanda dalam rasa sakit jika tidak menyukai Cila. Gadis ini adalah alasan hadirnya segala perasaan menyakitkan dan menyenangkan di hati.

"Aamiin," teriak gadis itu, kemudian tertawa kencang dan tak lupa menyuarakkan cie-cie untuk sepupunya.

Gasa cuma tersenyum menanggapi sebab hatinya sedang tidak ingin dipaksa bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro