2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagaimana jika bualan menjadi kenyataan? Bukankan perkataan adalah doa?"

Sudah terhitung berpuluh-puluh kali cewek yang tak tinggi pun tak terlalu kurus itu menendang angin, kesal sendiri setelah menerima telepon dari mamanya bahwa beliau sedang berada di rumah tante—ibu dari Gasa. Katanya dia harus ke sana, tak diperbolehkan menyendiri di rumah. Dengan berat hati dia menyetujui tanpa bisa menolak.

Sebagai pengidap ITP* sedari kecil, memiliki orang tua khawatiran adalah sebuah konsekuensi. Cila tidak seperti remaja lain di luaran sana. Dia berbeda dan selalu berwaspada terhadap kondisinya. Jika berhati-hati saja dia bisa sakit, apalagi bertindak bagaikan seorang atlet!

Sehari saja, ingin sekali tungkainya berlari sekuat tenaga, merasakan ritme jantung bekerja lebih cepat karena terlalu kuat memompa oksigen. Namun, itu semua hanya dapat dilalui dalam mimpi. Dia cuma bisa melakukan senam agar tidak mendengar omelan dari orang-orang terdekatnya.

Dia mendengkus. Kedua kakinya berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu, siswa-siswi telah membubarkan diri dari lingkungan sekolah dengan kecepatan penuh. Akan tetapi, berbeda dengan Cila, dia malah sengaja memperlambat pergerakan untuk segera pulang. Alasannya karena ...

"Kirain lo pengen nginap di kelas." Karena si pemilik suara barusan.

Cila membuang napas lelah, kepalanya ikut lunglai. Pasrah adalah jalan ninjanya kali ini. "Anterin ke rumah gue aja."

Gasa kontan mengernyit, pasalnya dia telah mendapat arahan dari Dafina, tantenya, agar membawa anak gadis ini ke rumah. Gasa menyunggingkan senyum tipis, sudah lama dia tidak melihat wajah oval penuh daging itu. Mungkin sekitar dua tahun karena selama ini dia dimasukkan ke pesantren.

Alhasil di akhir tahun sekolah pilihan untuk keluar dari pondok bisa terealisasikan karena alasan tidak tahan lagi dan jangan lupakan rengekan maut beberapa minggu lalu sebelum pindah ke SMA MP.

Risih terus ditatap, Cila menyentil dahi sepupunya. Hal yang selalu dia lakukan saat kesal pada cowok itu. Iris kelamnya menatap sengit seolah Gasa adalah sesuatu yang perlu dimusnahkan. Bukan tanpa alasan mengapa dia begitu jengkel jika dihadapkan dengan sosok bertubuh tinggi dan kurus itu. Dari zaman sekolah dasar dia tidak pernah mendapatkan teman banyak karena sikap protektif Gasa, bahkan saat sekolah menengah pertama dulu hubungannya kandas bersama sang pacar karena Gasa juga.

"Manut, Cil. Tante Fina nungguin lo di rumah." Tanpa melunturkan senyum manis dari wajah, Gasa membuka helm, menyodorkannya pada Cila.

Gadis itu menatap heran benda hitam itu, tidak mengerti maksud si empu helm. Gasa berdecak, dalam hitungan detik pelindung kepala miliknya sudah dikenakan Cila hingga membuat cewek berambut hitam  sepinggang itu terlonjak.

"Kok sinting?" Sindiran terlontar setelah kaca helm tidak menutup wajah imut si gadis.

"Hah? Ngasih helm malah dikatain sinting? Udah, gak usah ngeyel. Buruan." Suara mesin motor matik berbunyi, bersiap meninggalkan sekolah.

Dalam keadaan terpaksa, Cila langsung mendudukkan diri di jok belakang, berusaha menjaga jarak agar tidak menyentuh punggung cowok di depannya. Sadar akan perbuatan sang sepupu, Gasa lagi-lagi berdecak gemas.

"Cil, kalau lo jatuh gue bisa diamuk sama nyokap-bokap gue, ditambah orang tua lo."

"Ya udah, gue naik angkot aja!"

"Heh! Dibilangin malah kayak gitu. Manut aja napa." Kendaraan roda dua pun melaju cukup kencang setelah merasakan tangan si penumpang memegang erat ranselnya.

Mereka berdua terlihat aneh karena bukan si pengendara motor yang mengenakan helm. Baik Cila maupun Gasa tidak pernah memedulikan sekitar walau sebenarnya gadis itu sedikit takut. Bagaimana jika nanti polisi menilang mereka karena Gasa tidak menggunakan helm? Namun, beberapa detik berlalu dia kemudian tersadar bahwa tak perlu khawatir. Gasa cukup andal mencari jalan tikus agar bisa terhindar dari masalah penilangan.

Setelah beberapa menit perjalanan, dua remaja itu tiba di halaman rumah bertingkat dua. Cila langsung melepas helm dan meletakkannya di kaca spion, padahal tangan Gasa sudah terulur meminta benda itu. Cila tidak peduli, dia meninggalkan sepupunya yang sedang tergelak, entah menertawakan apa.

"Asalamu'alaikum." Suara salam menggema, mengisi tiap sudut ruang tamu. Cila mengedarkan pandangan, menelusuri ruang cukup besar yang dia tapaki saat ini.

Sofa cokelat dilengkapi dua buah meja panjang yang mengisi ruang tamu tak menampakkan sosok yang dia cari. Cila memasang wajah masam, seketika tubuhnya lemas minta merebahkan diri. Jadilah kedua kakinya melangkah ke salah satu sofa panjang. Namun, nahas, belum sampai ke tempat tujuan, tangan seseorang langsung menariknya ke tempat lain.

"Ketemu sama Ibu, Mama lo dulu di dapur,  baru rebahan. Kalau pengen istirahat di kamar gue juga gak papa."

Mendengar itu, Cila refleks menimpuk kepala Gasa menggunakan bantalan sofa. "Sembarangan!" ketusnya, netra kelam gadis itu menatap tajam.

Merasa tak bersalah, Gasa menatap Cila, memicing. "Lah, emang kenapa? Kamar gue bersih, atau ... lo mikirin apa hayo?" godanya seraya menaikturunkan alis.

Lagi, Cila kembali menyiksa cowok itu. Kali ini menginjak kaki Gasa dengan keras. Wajah putih mulusnya berubah menjadi merah padam.

"Rese!" teriaknya, lantas meninggalkan cowok itu, mencari mamanya di dapur.

Selepas ditinggal pergi, Gasa tertawa kecil sembari melangkah ke kamar, hendak membersihkan diri dan kembali menganggu tamu yang seumuran dengannya. Garis berbentuk bulan sabit pada wajah tak bisa luntur semenjak kembali bertemu Cila. Banyak yang telah berubah, tetapi sikap tidak suka gadis itu untuknya tak pernah pudar.

Gasa tahu penyebabnya, semua karena dia terlalu protektif dan posesif. Dia melakukannya karena sebuah alasan. Pemuda berambut quiff itu tidak ingin sepupu sekaligus teman kecilnya terluka.

Sementara di dapur, suasana yang mulanya tak begitu ramai seketika riuh ketika Fina mendapati kehadiran anaknya.

"Akhirnya datang juga anak Mama." Fina menyambut kedatangan putrinya dengan senyum lebar, begitupun Zania—ibu Gasa.

"Baru dua minggu lalu ketemu masa kamu tambah manis aja, Cil. Curang!" Rajukan Zania berhasil membuat ibu dan anak itu tergelak meski sebenarnya tidak ada hal lucu yang patut untuk ditertawakan.

Ya, keluarga Cila memang sering menyambangi rumah keluarga ini. Selain karena ayah Cila bersaudara kandung dengan ayah Dasaga, dua keluarga tersebut memang selalu saling mengunjungi satu sama lain.

"Siapa dulu, dong. Mamanya, kan, manis kayak gula aren," celetuk Fina.

Cila meringis kecil, sikap narsis mamanya kembali tersulut. "Cila manis karena pemberian Tuhan, Ma."

Tak terima, Fina mendelik tak suka. "Tapi, Mama berkontribusi untuk itu."

Zania terkekeh menyaksikan interaksi itu, sangat terhibur jika ada mereka di rumah ini. Rumah yang biasanya sepi karena hanya berisi tiga orang itu, tiba-tiba terasa penuh karena kehadiran mereka.

"Bu, Gasa lapar!"

Ketiga perempuan itu sontak berbalik ke arah tangga, mendapati sesosok cowok berkaos abu-abu serta celana jins panjang hitam berjalan ke arah mereka. Kedua wanita berumur di sana tentu menyambut hangat, berbeda hal dengan Cila, gadis itu malah menampakkan wajah masam.

"Makanan emang udah siap. Ayo, ayo makan bareng," ajak Zania seraya menggiring putranya ke meja makan, diikuti pergerakan Fina, menyuruh putrinya duduk bersebelahan dengan Gasa.

"Aku pengen di sebelah Mama, aja," pinta Cila, terdengar memohon.

"Kok, gitu. Gasa bau, ya?" tanya Zania sambil mengulum bibir, menahan tawa.

"Enak aja. Gasa wangi, kok!" Pernyataan tak setuju langsung terlontar. Jelas saja, sebelum turun ke lantai dasar cowok itu menyempatkan diri berganti pakaian dalam, bajunya pun berbau molto seribuan.

"Udah. Duduk aja di situ, Cil. Sama calon suami, kok, gitu banget," seloroh Fina.

Dua ibu itu sontak mengembungkan pipi, berusaha menahan tawa akibat ekspresi yang dihasilkan oleh dua remaja di hadapannya, terlihat sangat menggemaskan. Entah mengapa Gasa merasakan hangat pada relung hati, walaupun dia tahu ucapan itu hanyalah bualan. Tanpa bisa dicegah, dia melirik gadis di sebelahnya. Rona merah menyembul di kedua pipi gadis itu.

Gasa tidak tahu apakah semburat merah Cila berarti malu atau marah, tetapi apa pun itu dia tetap merasa bahagia.

"Ngaco!" Seruan jengkel gadis berumur delapan belas tahun tersebut kontan membuat mereka bertiga tertawa, tidak sanggup menahan geli.

Note:
*ITP: Idiopathic Thrombocytopenic Purpura atau Purpura Trombositopenik Idiopatik adalah penyakit autoimun. Sistem kekebalan tubuh menganggap trombosit adalah benda asing sehingga menyebabkan trombosit menurun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro