20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kita sama-sama menunggu. Aku menunggumu datang, kamu menungguku menyerah."

Bukan lagi cahaya temaram yang didapatkan oleh setiap pasang mata saat memasuki SMA Merah Putih. Kerlap kerlip warna mulai dari parkiran sampai lapangan siap menyambut kebahagian para siswa-siswi dari seluruh sekolah menengah atas yang berada di kawasan Jakarta Selatan.

Cila bergumam takjub. Dia hanya meninggalkan sekolah sekitar dua jam lalu dan sekarang dekorasi outdoor sudah selesai. Sungguh kompak tim penyelenggara ulang tahun ini. Rekahan senyum, langkah pelan dengan mulut terus berdecak kagum menjadi bukti kebahagian gadis itu. Gasa sampai tergelak melihat tingkah sepupunya.

Bukannya mendatangi aula utama, Cila malah berlari riang ke tengah lapangan, menghampiri tiap tenda. Entah mengecek atau hanya mampir untuk memuaskan matanya saja padahal tiap lapak memiliki bentuk yang sama dengan warna putih mendominasi, bahkan tanpa hiasan dekorasi. Cila menyapa tiap anggota yang sedang bekerja, membuat Gasa sebal karena gadis itu terkesan sembrono saat berjalan.

"Dia gak tau apa kalau kebanyakan cowok tertarik sama cewek ramah, periang kayak dia." Gasa menyemburkan kekesalannya pada semilir angin. "Huft, gimana caranya gue move on kalau tiap tingkah dia selalu menarik di mata gue," keluh cowok itu.

Cinta memang bisa mengubah sudut pandang. Segala yang berhubungan dengan orang yang disukai menjadi hal menarik. Ini adalah hal tergila yang pernah Gasa rasakan. Cowok itu berhenti beberapa meter di belakang Cila, memperhatikan setiap lakuan gadis itu dari tempatnya berdiri.

Harus melakukan apa agar bisa terbebas dari perasaan candu yang sudah lama terendap di hati? Rasa ini sungguh manis, tetapi miris di saat bersamaan.

Gasa tergelak. "Kata orang kalau pengen sesuatu jangan terlalu berharap. Biasa-biasa aja biar gak terlalu sakit kalau yang diharapkan ternyata … gak mengharapkan kita juga." Miris, dia menyugar rambut ke belakang seraya merasakan ratusan jarum menghunjam jantungnya. Sebesar itukah perasaan yang dia pendam?

Sungguh, dia tidak menyangka apa yang dirasakannya beberapa tahun silam akan tertanam semakin dalam. Apa yang dia alami sekarang, jujur membuatnya geli sendiri, dan juga aneh. Akan tetapi, ini wajar saja, kan?

Mencintai seseorang sekalipun dia adalah sepupumu bukanlah sebuah kesalahan. Gasa yakin bukan hanya dirinya yang berada dalam zona seperti ini, ada banyak kasus serupa, tetapi tak pernah dia temukan. Tidak pernah gue temukan, batinnya berujar hati-hati.

Kalau banyak, mengapa dia tidak pernah berjumpa dengan kejadian serupa? Apakah dia kurang berteman? Perlukah menanyakan kisah percintaan teman sebayanya? Ah, memikirkan perasaan nano-nano ini sungguh memeras energi, membuat otak menjadi cepat letih, tetapi tidak dengan fisiknya.

Terlalu asyik bergumul bersama segala pemikiran, Gasa sampai tidak menyadari kehadiran seseorang di sampingnya. Seorang gadis ber-hoodie merah hati dipadu celana olahraga SMA Merah Putih tengah memandang objek serupa, Cila.

Jika perasaan iri bercampur sedikit amarah, dapatkah dikatakan cemburu? Kalau iya, berarti sekarang gadis itu tengah bergulat untuk pertama kalinya dengan cemburu yang berdasar karena suka. Gasa memandang Cila tanpa pernah berkedip. Bisakah Aritma berpendapat bahwa cowok itu menaruh rasa kepada sepupunya sendiri? Meskipun terdengar aneh, mungkin saja itu terjadi. Sama seperti halnya dengan dia, begitu cepat terjatuh ke dalam pesona seorang Dagasa.

Aritma meringis dalam hati. Jatuh cinta pada pandangan pertama di umur delapan belas tahun. Mengapa baru sekarang dia merasakannya? Namun, setelah dipikir-pikir, selama ini dia memang terlalu disibukkan dengan hobinya menonton anime, bahkan dia kerap disibukkan remedial ujian. Tidak ada waktu mengurusi perasaan saat nilai-nilai pelajarannya merusak mata.

Cukup lama terdiam seraya memandang wajah Gasa dari samping, berharap cowok itu sadar akan kehadirannya, tetapi sampai detik ini belum juga ada sapaan. Akhirnya, dia berinisiatif menyadarkan cowok itu saja daripada berdiri di sini, ikut memandangi Cila yang tengah repot menghias salah satu tenda dengan lampu warna-warni untuk bazar dagangan anggota OSIS besok.

"Hai, diem aja." Aritma menepuk bahu Gasa sekali dan membiarkan tangannya tetap berada di bahu cowok itu.

Terkejut, Gasa kontan menoleh dan mendapati kehadiran Aritma di sebelahnya. Bukannya menggerutu karena dibuat kaget, dia malah tertawa kecil dan tidak mengindahkan tangan Aritma dibahunya. "Eh, lo. Baru datang?" ucapnya basa-basi.

Meskipun tengah bersama gadis lain, Gasa sama sekali tidak mengurangi fokusnya dari Cila. Dari ujung mata, dia terus memantau sepupunya.

Aritma tersenyum kecil melihat tingkah cowok di hadapannya. Ingin hati menanyakan sesuatu yang sempat terlintas dalam benak, tetapi dia belum cukup yakin menanyakan hal itu. Jadilah dia kembali menelan bulat-bulat keinginannya.

"Gue dari tadi di sini, lho," ungkap gadis itu sambil terkekeh.

Lagi, untuk kedua kali Gasa kembali terkejut. "Dari tadi?" Saking terkejutnya, dia sampai lupa mengecilkan volume suara. Beruntung, pengeras suara di tengah lapangan sedang memutar lagu, menemani keseriusan dan senda gurau para anggota OSIS yang tengah menjalankan tugas masing-masing.

"Iya, dari tadi. Lo … mandangin siapa, sih, sampai gak sadar gitu?" Walaupun sudah tahu, Aritma tetap bertanya. Entahlah untuk apa, dia ingin saja melakukannya.

"Oh, itu. Gue ngawasin Cila, takut kenapa-napa."

"Ada gue sama teman-teman OSIS yang bisa jagain dia, kalau lo mau pulang gak papa, kok," tawar Aritma dan dengan senang hati Gasa menolak usul tersebut.

Gasa membuang napas panjang seraya berkacak pinggang, matanya menatap lurus ke arah sang sepupu. "Lo mau tau satu hal, gak?" tanyanya, tetapi kembali melanjutkan tanpa menunggu jawaban dari gadis di sampingnya. "Gue gak pernah kasih kepercayaan sama siapa pun buat jagain Cila, kecuali Elon. Ya, karena itu tadi. Lo gak mungkin lupa sama kejadian di aula tadi sore, betapa cerobohnya dia dan gak ada yang selalu siap sedia ada di belakangnya kecuali gue atau Elon," jelasnya panjang lebar.

Aritma termenung, dalam hati dia membenarkan perkataan Gasa. Selama ini dia memang selalu berada di samping Cila, tetapi jika sahabatnya itu sedang dalam kesulitan atau dalam bahaya, Elon sigap menghampiri Cila jika memang tempat dan kondisi mendukung. Akan tetapi, semenjak Gasa datang, cowok inilah yang selalu membuntuti ke mana Cila pergi.

Memikirkan itu semua, dia jadi iri sendiri. Betapa senangnya jika dia memiliki orang seperti Gasa atau Elon yang selalu siap siaga melindungi.

Gasa memandang lekat wajah gadis di hadapannya saat ini. Aritma gadis yang cantik dengan mata bulat, hidung mancung, pipinya tidak begitu berisi, tetapi terlihat cocok menyeimbangi bentuk wajah tirusnya. Aritma memiliki tubuh lebih tinggi, cocok menjadi model majalah remaja. Walaupun begitu, dia tetap saja tidak bisa menaruh rasa pada gadis ini. Gasa membuang napas panjang, benarkah Aritma menyukainya?

Merasa ditatap, cewek ber-sling bag hitam itu menoleh, melihat tepat ke arah mata Gasa. Tiba-tiba saja wajahnya memanas saat mata mereka beradu. Dia tahu cowok di hadapannya ini terlambat memalingkan muka, terbukti dari air wajahnya yang gugup. Ada rasa senang ketika Gasa memandangnya dalam diam, dia jadi penasaran apa yang sedang dipikirkan oleh cowok itu.

"Lo kenapa? Telinga lo merah," ungkap Aritma tidak sanggup menahan tawa.

Guna menetralkan kegugupan, Gasa berdeham singkat seraya tertawa remeh. "Muka lo juga merah, tuh," ejeknya lalu mereka sama-sama tertawa.

Setelah puas saling menertawakan, mereka kompak terdiam dan membiarkan keadaan menjadi canggung. Gasa tidak tahu harus berkata apa, dia masih terkejut karena tertangkap basah memandang wajah gadis itu, sedangkan Aritma sibuk menetralkan degupan jantung yang semakin menggila.

Dalam hati, Aritma meminta kepada pencipta agar bermurah hati memberi waktu tambahan untuknya supaya bisa berlama-lama bersama Gasa. Dia ingin menikmati kesempatan ini, menikmati indahnya mengabiskan detik demi detik bersama seseorang yang dia sukai.

"Sa … lo ingat hari di mana lo temenin gue ke-mall?" Baiklah, hari ini dia akan mencoba memperjelas lagi perasaannya. Setidaknya setelah ini perasaan lega 'kan menemani, tidak harus memendam dan menyiksa diri lebih lama. Toh, dia bisa saja berpaling jika Gasa terang-terangan menolak kehadirannya.

Namun, jujur, dia berharap agar cowok itu memberi kesempatan … dia sungguh berharap. Tidak mungkin berpaling semudah itu, 'kan?

Gasa mengangguk singkat. Kini ini dia memosisikan diri sepenuhnya menghadap Aritma. Sepertinya ada sesuatu yang penting ingin dikatakan oleh gadis itu.

"Kenapa?" tanyanya. Cowok itu memicing saat menangkap kegugupan dari mata Aritma.

Aritma yang ditatap, setengah mati menahan gedoran jantung. Dia bahkan memeras tangannya yang semakin mendingin dan mengeluarkan keringat. Ingin rasanya menangis, entah mengapa dia merasa sesak sekarang.

Melihat ketidaknyamanan Aritma, Gasa semakin penasaran. Pada akhinya dia tertawa kecil. "Kalau berat buat ngomong sekarang mendingan gak usah. Dari pada nyi—"

Aritma kontan memotong ucapan cowok itu. "Enggak. Gue mau ngomong sekarang aja, heheh biar lega," ringisnya dan tak lupa menampakkan senyum kaku. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro