03 |

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ibu, liat tempat pensil Luna nggak?" ibu terlonjak, hampir saja ia menjatuhkan spatula. Suara Luna terlalu tiba-tiba menyapa telinga. Ibu mematikan kompor dan memutar tubuhnya. "Tumben jam segini udah bangun? Alarm kamu juga belum bunyi."

Ibu mengambil mangkuk besar, memindahkan masakannya dari wajan. Memunggungi Luna . "Ibu juga jam segini kenapa udah masak? Nggak ngelindur?" ibu mendengkus, lantas menggeleng maklum. Luna kira ibunya suka tidur sambil berjalan, begitu?

Ia mengabaikan pertanyaan anaknya, lebih memiliih sibuk dengan beras yang akan ditanak. "Kamu kenapa udah bangun?"

"Bukan udah bangun, tapi belum tidur." Ibu reflek menoleh, hampir saja beras yang ada di panci itu tumpah. "Kamu begadang? Banyak tugas? Atau lagi kasmaran?"

Pipi Luna menggembung. Bibirnya mengerucut Lucu. "Aku nggak kasmaran, nggak punya gebetan lagian."

"Gejalanya hampir sama, kok." Bibir Luna semakin maju, jika ada perlombaan balap bibir, mungkin milik Luna sudah mencapai garis finish duluan.

Luna duduk di salah satu kursi di meja makan. "Mau cerita?" Ibu menyangga dagunya dengan telapak tangannya. Menunggu Luna membuka suara. "Nggak, aku Cuma mau nanyain tempat pensil aku, Bu."

Kening ibu mengkerut. Tangannya melepas dagu, kemudian melipat rok dasternya ke dalam sela-sela kakinya. Ia menyamankan posisi duduknya. "Yang pink? Yang minggu kemarin baru dibeli di syopi?" sebuah anggukan menjadi jawaban.

"Lah, mana Ibu tahu, kan itu punya kamu. Emang sebelumnya dititipkan di Ibu, gitu?" pertanyaan Ibunya benar juga. Luna berfikir ulang. "Tapi, kan, tadi tasku dibenerin sama Ibu."

Mata Ibu memicing. "Emang ada di sana, ya?" Luna kembali menggangguk.

"Tapi, tadi pas kamu pulang, Ibu nggak liat tempat pensil deh, Lun." Tangan Luna refleks menggebrak meja, membuat Ibu terlonjak. "Masa, sih, Bu?"

Anggukan ibu adalah jawaban yang tak diharapkan Luna. Jika tempat pensil itu tidak ada di dalam tas saat ia sampai di rumah, maka di manakah benda itu berada? Di angkot? Mana mungkin, ia ingat betul saat itu tak sedikitpun ia melepaskan pelukannya pada tas hitam legam tersebut. Di jalan menuju rumah? Bisa jadi. Atau di sekolah? Itu juga bisa menjadi kemungkinan.

Luna mendesah lelah. "Ibu beneran nggak liat?"

"Ngapain juga Ibu bohong, emang kamu pikir ibumu ini yutuber yang doyan ngeprank anaknya?" Benar juga. Ibunya tidak sekurang kerjaan itu untuk mengerjai anaknya sendiri.

Melihat anaknya murung, Ibu menepuk lengan Luna pelan. "Ketinggalan mungkin di sekolah." Luna mencoba mempercayai dugaan ibunya. Agar lebih tenang.

"Sekarang berangkat sekolahnya agak pagian aja. Takutnya keduluan orang. Terus dibuang, " Luna mengangguk, lantas mengulas senyum tipis. "Ibu, sih."

"Kok, Ibu?"

"Kalau saja ibu ngasih tahu tempat pensil aku nggak ada dari awal, mungkin aku udah nyari langsung saat itu juga."

"Kamu pulang maghrib, mau nyari kemana?" Ibu jelas tak terima disalahkan. "Salah kamu sendiri, teledor. Nggak ngeliat barang kamu dulu." Luna tak menjawab, karena kali ini ia menyadari kesalahannya.

"Yaudah, kamu salat, gih. Keburu siang." Luna patuh. Dan menjalankan kewajibannya. Dalam salatnya, ia memohon pada Sang Maha Kuasa, semoga tempat pensil itu berada di tempat yang aman.

...

"Astaghfirullah." Ibu terkejut melihat penampilan Luna. Selain seragam kusutnya, wajah Luna juga kusut, akibat kurang tidur. Kantung matanya yang hitam menambah kesan berantakan. "Serem kamu, Lun. Setrika dulu bajunya. Cuci muka yang bener. Pake skincare, yang cantik." Ibu merapikan poni rambut Luna yang lepek. Untung Luna tidak tumbuh melampaui dirinya. Jadi ia tidak perlu berjinjit.

"Aku buru-buru, Bu."

Ibu menghela napas, lantas menarik kursi di meja makan. "Biarpun penampilan kamu mengerikan, jangan sampai orang lain mengira kamu kelaparan. Makan dulu, baru ibu izinini berangkat sekolah." Ibunya memang selalu benar. Setiap kata-katanya tak bisa dibantah.

Luna makan terlebih dahulu, walaupun hanya beberapa suapan. Yang penting kuat menjalani pagi.

...

Matahari masih malu-malu menampakkan diri. Tukang angkotpun masih malu-malu untuk bekerja terlalu pagi. Dan nasib Luna, menamparnya tak tahu malu. Tukang angkot lemot, membuatnya mengantuk. Ingin sekali rasanya ganti peran sebentar saja dengan tukang angkot. Gara-gara tukang angkot itu, kini Luna menguap di sepanjang perjalanan menuju kelas.

Ia sesekali menggeleng, menyadarkannya dari kenyataan. "Bangun, woi!" sesekali juga ia menampar pipinya pelan.

Matanya harus ia fungsikan dengan baik, karena pencarian tempat pensilnya membutuhkan kejelian. Bisa saja benda itu bersembunyi diantara ring basket. Tetapi mustahil, karena ia bukan pemain ataupun anggota ekskul basket yang hampir setiap hari latihan.

Tinggal satu belokan lagi. Di depannya ada Surya yang sedang mengepel lantai dengan earphone menyumpal kedua telinga. Cleaning service itu terlalu fokus, hingga tak menyadari keberadaannya. Luna mengangkat kakinya, hendak menginjak lantai yang masih mengkilap basah oleh air. "Lo injek tuh lantai, Gue pastiin kaki lo nggak bisa digunain lagi."

Luna mengurungkan niatnya. Serem juga ancamannya. "Becanda, Bang."

Surya menghentikan kegiatannya. Menatap Luna sinis, "Mau ape lo?"

"Nggak ada ape-ape." Mata Luna membulat, ia tanpa sadar mengikuti logat bicara Surya yang khas betawi. "Malah ngeledek." Gadis itu cepat-cepat berlalu, meninggaalkan Surya sebelum terjadi bencana.

Di dalam kelas, ia tak menemukan tempat pensil itu di atas meja miliknya. Luna mendadak resah. Tetapi mencoba berfikir positif. Ia mencari di sudut-sudut ruangan. Siapa tahu ada yang menjatuhkannya. Sayangnya, benda itu tidak menampakan diri. Di kolong meja gurupun sama saja.

Tetapi, ada yang aneh dari ruangan ini. seingat Luna, kemarin sore kelas ini sangat berantakan, banyak sampah berserakan. Sekarang yang terlihat hanya jajaran kursi yang menangkup di atas meja. Tanpa sampah yang menghias dimana-mana. Gawat, ruangan ini sudah dibersihkan oleh Surya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro