08

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku barusan ketemu Rigel." Tatapan Luna terlihat tak tenang. Bunga yakin, terjadi sesuatu seblum luna bertemu dengannya. "Dia lihat aku masuk ruangan!" Bunga berseru kaget, hingga tas Luna yang berada di tangannya, jatuh tergeletak di tanah.

"Tas aku kotor jadinya." Bunga dengan cepat tersadar, kemudian mengambil tas itu. "Ya, maaf." Luna mengambil alih tas itu, menepuk-nepuknya sambil cemberut. "Kamu, sih!"

"Besok, kan, sabtu. Kita jalan, yuk?" Luna berbinar, tetapi hanya sebantar, setelah mengingat hari apa yang disebutkan Bunga. "Aku, kan, English Club!"

"Bolos, lah! Kali-kali. Aku juga ada ekskul tata boga." Luna mendelik, bukan itu masalahnya. Ia masih punya tanggung jawab untuk menghimpun uang yang anggota lain kumpulkan. "Pulang Ekskul aja gimana?"

"Call."

...

Walaupun uang yang anggota EC sekarang entah dimana rimbanya, namun Luna tetap bertanggungjawab. Hadir untuk mengumpulkan uang tabungan hari ini. rencananya uang tersebut akan mereka gunakan untuk kegiatan akhir tahun ajaran. Akhir pembelajaran juga. Karena mereka telah melewati tiga tingkatan kelas dari dua semester di ekstrakulikuer english club. Masih ada enam bulan lagi.

Setiap tanggal dua puluh, uang yang sudah ditamoung Luna akan di setorkan kepala guru koordinator ekskul. Tetapi bulan ini sepertinya Luna harus menunda, atau kabur saja, berupa lupa atau mangkir dengan alasan lain. sebelum tanggal 20 ia harus memiliki alasan itu.

Uang yang terkumpul sebesar tujuh puluh ribu, hanya setengah yang menabung. Sisanya biasanya mereka akan menyetor di hari-hari jam sekolah. Dan Luna memaklumi. Asalkan mereka tidak mengganggu proses belajar mengajar.

Sesuai janji. Luna dan Bunga jalan-jalan ke mall. Walaupun hati Luna terasa gundah. Beberapa kali, Bunga mendapati sahabatnya tengah melamun. Bunga menarik tangannya, memaksa untuk duduk di salah satu bangku di depan toko buku yang terkenal itu. "Kenapa?"

"Duit." Bunga faham arah pembicaraan Luna. Ia mengusap bahunya perlahan. "Udah bilang ke Ibu?"

Luna menghela napas, putus asa. "Nggak mungkinlah, Bung. Kasian Ibu harus menanggung kesalahanku. Aku harus tanggungjawab atas kecerobohanku sendiri." Bunga termenung ditempatnya. Ia memegang kening Luna dengan punggung tangannya. "Normal, kok."

"Kamu pikir aku kepanasan makanya jadi gini gitu?" Luna mengabaikan tangan Bunga bergerilya di tubuhnya. Kening, leher, pipi, ketiak. Uh, kurang kerjaan sekali. "Aneh aja, biasanya nyalahin orang?"

Luna mendengkus, menatap Bunga sinis. "Karena nyalahin orang kurasa nggak ada gunanya." Bunga mengulum bibirnya. Ada benih-benih senyuman di ujung bibirnya. Ia mengangguk-ngangguk, agar Luna yakin.

"Banyak orang lalu lalang liatin kita karena pakaian kita samaan. Baru pertama liat anak kembar kali, ya?" Alis Luna menukik, kepalanya bergerak ke kiri, menatap Bunga yang tengah menselonjorkan kakinya. Celana overall denim dan kaos belang hitam-putih. Juga sepatu putih. Luna baru menyadari itu semua. Pakaian mereka sama, hanya gaya rambut yang membedakan.

Luna dengan rambut pendek perponi tidak bisa di apa-apa, kan. Sedangkan Bunga menguncir rambutnya di kedua sisi.

"Jadi?" gadis berpipi gembil itu mengeluarkan sebuah map cokelat dari dalam totebagnya. "Aku mau cari duit."

...

Luna diterima di Gente Coffe and Cake di salah satu sudut mall lantai dua. Tugasnya mudah, hanya mengantarkan pesanan berupa kopi atau kudapan seperti cheesecake yang selalu membuatnya khilaf ingin memakannya. Terkadang ia menjadi kasir, jika pembeli membludak dan barista kewalahan meracik kopi. Dan saat sudah mulai sepi, ia akan mencuci gelas dan piring di dapur.

"Kerja kamu lumayan, walaupun agak kaku buat senyum. Jadi waitres harus banyak senyum biar pembeli nyaman, beda halnya kalau kamu Cuma di dapur. sambil nangispun nggak pa-pa." Barista dengan senyum menawan itu memberinya tips.

Awalnya Luna agak segan dengan pria yang sedang mengelap gelas-gelas bersih yang sudah Luna cuci itu. ia kira pria itu galak, salahkan saja matanya yang tajam, dan bakal-bakal brewok yang tumbuh di pipinya. Seperti singa sesudah cukur rambut.

Tetapi ternyata pria itu sangat baik. Panggilannya Bone. Baru duapuluh dua tahun. Terlihat lebih tua dari usianya karena badannya yang cukup tinggi dan besar. Mungkin dengan Takuya sejajar.

Selain itu, saat sesi wawancana, membuatnya berpikir ulang akan keputusannya. "Saya nggak yakin kamu bisa bekerja di sini." Baru saja bersalaman. Bahkan Luna belum menyebutkan nama. Dan pria itu belum melepaskan genggamannya.

"Tangan kamu terlalu halus. Yakin ingin bekerja di sini?" Tujuan awalnya melintas dipikiran. Luna segera tersadar, mengangguk yakin dengan wajah berbinar.

"Yakin seyakin-yakinnya. Walaupun ini pertama kalinya saya bekerja, saya akan belajar sebaik mungkin." Melihat binar keteguhan gadis di depannya. Bone, menerima Luna saat itu juga.

"Ini yang kerja Cuma kita berdua, Bang?" Luna mengeringkan tangannya dengan lap setelah selesai mencuci piring. Pria itu menaruh gelas ke rak piring. Lantas menatap Luna. "Ada satu orang lagi, dia yang bikin cake-cake menggiyurkan itu. Kebetulan hari ini izin." Luna mengangguk, faham. Ah, mungkinkan dia yang Bang Bone kerja di dapur sambil menangis? Tiba-tiba Luna penasaran seperti apa sosoknya.

Luna tak sabar bertemu dengan pembuat kue-kue cantik itu. sayangnya ia harus menunggu seminggu kemudian, karena besok Ujian Akhir Semester akan dimulai.

Harusnya Luna menyesal berekspektasi terlalu tinggi pada sesuatu. Tetapi ia melakukannya lagi. Ia kira yang seseorang yang berada dibalik kelezatan kue-kue cantik adalah seorang yang berwajah selembut krim bolu, senyum semanis cheesecake. Tetapi yang di depannya kini, yang tengah menatapnya penuh kecurigaan, seringainya lebih mengerikan dari coklat tanpa gula.

Dia rigel, si ketua osis gagal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro