Chapter 1: Awal dari kita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Laluna, gadis berkacamata itu mencoba menahan kejengkelannya pada Auris. Sejak ditelfon Auris yang memintanya datang ke perpustakaan padahal bel masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu, Laluna hanya bisa mendesis sebal seraya memperhatikan sahabat sejak TKnya itu menangis seperti bocah yang baru saja kecurian permen.

Auris menenggelamkan wajahnya di lipatan lengan di atas meja dan terus menangis tanpa jeda sedang Laluna memperhatikannya dengan malas.

"Suruh siapa nulis surat kaya gitu, alay banget sih." cibir Laluna.

Auris mendongkakan kepalanya dengan cepat "Bukannya ngehibur kok malah ngeledek sih! Jahat," Auris mengusap pipinya dengan kasar lalu melanjutkan kalimatnya "harusnya kamu salahin si Damar tiang listrik itu, siapa suruh dia nyuri surat cinta orang seenak jidatnya."

Hampir saja tawa Laluna pecah saat melihat wajah kusut Auris yang kini memerah karena marah, ditambah dengan bibir yang mengerucut dan mata bengkak serta pipi chubby yang lembab karena menangis terus dari tadi. Mata Laluna melirik ke bawah meja dan mendengus geli saat melihat kaki berbalut kaus kaki putih yang kini malah memakai sendal jepit entah dari mana.

"Kenapa pake sendal jepit? Dapet dari mana?" tanya Laluna beruntun.

Seketika cengiran sok polos terbit dari bibir Auris, gadis itu meletakan sebelah sepatunya yang tersisa di atas meja lalu menggeleng. "Kamu gak bakal mau tahu cerita lengkapnya. Dan soal sendal ini--aku minjem dari Mushola!"

"Kamu nyuri sendal Musho-hmmfft." dengan cepat Auris membekap mulut Laluna lalu matanya bergerak liar memeriksa keadaan. Walaupun perpustakaan sedang kosong, ditambah sang penunggu perpustakan -Bu Erdah- sedang sibuk dengan alam bawah sadarnya (baca: tertidur pulas) Auris tetap tidak mau ambil resiko.

"Aku bakal lepas tapi harus tenang, ok?"

Laluna mengangguk. Setelah bekapan itu terlepas Laluna benar-benar tak bisa menahan tawanya saat membayangkan Auris yang mengendap-ngendap ke Mushola  untuk mengambil sepasang sendal buluk yang entah sudah ada sejak kapan di sekolah mereka.

"Ketawa aja terus… Temen macam apa kamu?" gerutu Auris lalu membuang muka dari Laluna yang masih sibuk mengendalikan tawanya.

                                       
***

Setelah membolos selama satu jam pelajaran, kini Auris menarik Laluna menuju kantin dengan sendal jepit yang masih menghiasi kakinya dan sebelah sepatu yang dia tenteng di tangan kiri. Tak perduli penolakan Laluna, Auris tetap menyeret temannya itu hingga mereka sampai di kantin. Suasana kantin memang lebih ramai saat jam istirahat kedua di mana kebanyakan murid mulai berani menyantap makanan berat seperti bakso atau mie ayam untuk mengganjal perut mereka.

Auris menarik Laluna yang kini pasrah menjadi pusat perhatian karena berjalan dengan seorang gadis yang menenteng sebelah sepatu, sementara kakinya justru memakai sendal buluk yang langsung bisa ditebak dari mana asalnya.

"Kamu gak malu apa, Ris? Diliatin orang banyak nih…" rengek Laluna sambil menutupi wajahnya dengan tangan kiri yang bebas.

"Kamu pikir kenapa aku jalan cepet dari tadi? Aku malu juga tahu, makanya cepetan."

Akhirnya setelah sampai disalah satu penjual mie instan mereka berdua langsung memesan dua porsi mie goreng dan mengambil tempat duduk terdekat.

"Aku mau beli minuman dulu kamu mau gak?" tanya Laluna.

"Mau, pesenin es kelapa muda yah."

Laluna memutar bola matanya jengah lalu berujar "Es kelapa antriannya panjang, Ris. Keburu lumutan aku!"

"Laluna cantik deh…" rayu Auris lalu mengedip-ngedipkan matanya.

"Kenapa aku cuma cantik pas kamu ada maunya?" cibir Laluna lalu pergi memesan minuman.

                           
    ***

Jari-jari Auris mengetuk meja dengan tak sabar lalu melihat ke arah perginya Laluna tadi. Apa antrian es kelapa sepanjang jalan kenangan sampai Laluna begitu lama? Pikir Auris.

"Bu, mie gorengnya masih ngatri yah?" tanya Auris sambil menengok ke belakang. Melihat Bu Kantin mie goreng yang sibuk memasukan mie ke dalam panci.

"Baru ibu masukin, Neng… Sabar yah jangan di-Cancel dulu."

Auris berdecak sebal. Padahal perutnya sudah sangat keroncongan sekarang.

"Saya ke sana bentar yah, Bu. Mau nyusul temen bentar…"

Auris menyambar sebelah sepatunya lalu berjalan menuju pedagang es kelapa, saat melewati deretan meja kantin Auris mendengar beberapa orang yang menyebut-nyebut namanya. Tepat tiga meja dari tempatnya berdiri Auris bisa melihat kumpulan anak XI Ipa 1 yang tengah asik tertawa dan Albi ada di antara mereka.

"Sumpah yah tuh cewek yang namanya Auris absurd banget!" ucap seorang teman laki-laki Albi yang berambut keriting, Edo.

"Gue denger dia anak XI Ips 4, itu berarti pesona temen kita ini udah sampe ke kelas paling pelosok… Mantep lu, Bi." tambah Pras.

"Tapi tuh cewek masuk tipe lo gak, Bi? Secara menurut gue yah… Tuh cewek kependekan, kaya bocah, depan belakang rata semua, walau agak manis sih." Edo tertawa lepas diikuti teman-temannya yang lain, Albi hanya diam dan tersenyum kecil menanggapi guyonan Edo.

Sialan!

Auris memainkan jari jemarinya dengan gugup lalu melirik takut-takut ke arah Albi. Namun tiba-tiba mata gadis itu membulat seketika, di sana di antara teman-temannya yang sibuk tertawa Albi justru tengah menatap ke arahnya. Auris memejamkan matanya beberapa detik lalu kembali melirik Albi.

Tidak… Ini bukan khayalan apalagi fatamorgana di siang bolong.

Albian Ferlandinno memang tengah menatap dirinya dengan lekat. Hawa panas mulai menjalari pipi Auris dan detak jantungnya berpacu bagai genderang perang, kakinya terasa seperti agar-agar yang siap hancur kapan saja. Tidak berhenti di situ saja,  kini seperti dilempari granat yang siap meledak Auris melihat Albi tersenyum padanya.

Runtuh sudah.

Auris mengedarkan matanya dengan liar lalu mengipasi wajahnya dengan telapak tangan, nafasnya tersenggal-senggal lalu memilih kembali ke mejanya.

                             ***

Laluna kembali dengan segelas es kelapa dan es jeruk dikedua tangannya, ia mengerenyit saat melihat Auris melamun menatap dua piring mie goreng yang masih mengepulkan uap panas di depannya. Ditambah wajah Auris terlihat memerah padam.

"Kamu kenapa, kok mukanya merah gitu?" tanya Laluna sambil meletakan minuman di atas meja.

Auris tersentak dan terlihat salah tingkah, ditariknya sepiring mie goreng lalu berucap "Aku kenapa emang? Ini tuh karena mienya kepedesan makanya mukaku merah." bohong Auris.

"Kan mienya baru mau kamu makan? Ishhh… Kayaknya kepalamu kebentur deh. Bodo ah laper aku." Mereka pun hanya makan dalam diam.

Setelah membayar mereka berdua berjalan ke kelas dengan Laluna yang memilih menjaga jarak dari Auris karena malu menjadi pusat perhatian sepanjang jalan, Auris sendiri hanya menunduk dan mempercepat langkahnya memasuki kelas. Suasana kelas XI Ips 4 selalu ricuh seperti biasa, ada yang asik mengobrol, joget-joget tak jelas diiringi lagu dangdut koplo yang disetel dengan volume maksimal.

Inilah keuntungan mendiami kelas paling pojok di SMA Bina Bakti, tak ada yang akan terganggu seberapa bising pun kelas XI Ips 4 setiap harinya.

"Aku denger Damar izin pulang karena 'sakit', kok dia tiba-tiba yah?" ujar Laluna begitu duduk di bangkunya. Auris hanya menggelengkan kepala dan menggaruk tengkuknya sendiri.

Baru saja Auris berniat menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan dan tidur sejenak. Terdengar suara merdu yang mengalahkan dentuman musik dan suara Via Vallen yang awalnya mendominasi kelas. Auris mendongkakan kepalanya dari meja dan sekali lagi manik hitam gadis itu membulat kala melihat sosok Albi kini berdiri di ambang pintu kelasnya.

Hening.

Seketika musik dimatikan dan atensi seisi kelas kini memperhatikan Albi yang kembali berucap keras. "Apa Auris ada?"

Dengan serentak seisi kelas menunjuk ke arah Auris yang setengah menganga tak percaya. Dari samping terdengar Laluna berbisik, "Kayaknya dia mau bikin perhitungan sama kamu, secara kamu udah malu-maluin dia tadi."

Auris menelan ludah dengan gugup tak berani bergerak dari posisinya.

Albi kini berjalan ke arah dirinya dengan kedua tangan di belakang punggung. Sebelah tangan Albi menggeser single table Auris lalu berlutut di depan gadis itu, Auris tak tahu lagi bagaimana respon tubuhnya saat Albi menyunggingkan senyum tipis lalu mengulur sebuah sepatu dari tangan satunya.

Tanpa banyak bicara Albi meraih sebelah sepatu lagi dari kolong meja Auris lalu memakaikannya pada kaki gadis itu. Terdengar jeritan tertahan dari beberapa gadis dan decak kagum dari para laki-laki, mereka menatap adegan itu seperti lupa berkedip.

"Jangan mempermalukan diri sendiri dengan berkeliaran sambil memakai sendal jepit." suara Albi bagai pemicu adrenalin yang sukses membuat jantung Auris menggila di dalam sana. "Apa kamu mengerti?" tambah laki-laki itu.

Tanpa sadar Auris mengangguk patuh.

"Gadis pintar…" selanjutnya sebuah usapan kini mendarat di puncak kepala Auris.

Dunia seakan berhenti berputar bagi Auris. Hingga ia tak sadar bahwa Albi telah pergi dari kelasnya, meninggalkan Auris dengan serentetan pertanyaan dan bahagia yang siap meledak kapan saja.


***

Setengah jam berlangsung dengan sangat lambat jika Bu Titi yang mengajar. Tak jarang kesempatan ini dimanfaatkan beberapa anak kreatif untuk tetap melek di pelajaran Bu Titi. Seperti Khanza yang memanfaatkan jilbabnya untuk menutupi sepasang earphone yang mungkin sudah memutarkan satu album Opick dari tadi, atau Rian yang memanfaatkan bukunya untuk menutupi aksi memainkan Mobile legend di kelas. Yang terpenting saat pelajaran Bu Titi adalah harus mempertahankan mata terbuka lebar dan mulut tertutup rapat.

Saat Bu Titi sibuk menulis di papan tulis, Auris menempelkan pipinya ke meja dan menatap ke arah pintu kelas yang terbuka cukup lebar akibat hembusan angin.

Tadi Albi melewati pintu itu dan datang padanya bagai sang pangeran yang menyerahkan sepatu kaca pada Sang Puteri, memikirkan kejadian tadi saja sudah membuat Auris senyam-senyum tak karuan.

Pikiran gadis itu mulai berimajinasi liar membayangkan sosok Albi yang berlalu lalang di depan pintu kelas sambil menggenggam setangkai mawar, lalu tersenyum manis ke arah Auris dan tak lupa mengedipkan sebelah mata.

Khayalan itu kemudian berlanjut dengan sosok Albi yang kini memakai tuxedo sembari berlutut di ambang pintu. Tangan berbalut sarung tangan putih itu menyodorkan sebelah sepatu Auris lalu bayangan Albi mulai berucap mesra. "Will you marry me?"

Tanpa sadar Auris merentangkan kedua tangannya dan berseru dengan keras. "YES I WILL!!"

"AURIS HARMONIA! MAJU KE DEPAN KELAS!" Seketika imajinasi itu buyar dengan lengkingan nyaring Bu Titi.








Tasikmalaya, 16 Desember 2017.
Btw, semalem Jawa diguncang gempa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro